Desa yang Kehilangan Karakternya

“Rasa kehilangan hanya akan ada
Jika kau pernah merasa memilikinya”

Karena semua hal di dunia ini sering terkait terhubung, anggap saja tulisan ini juga ada kaitannya dengan tulisan Mbak Dian Meiningtias, seorang penulis asli Desa Ngembel, Watulimo, beberapa hari lalu. Sebab, ketika saya membaca tulisannya yang berjudul “Hidup yang Tidak Kenal Tetangga” di portal ini, saya menyadari bahwa sebenarnya saya juga memiliki kekhawatiran seperti Mbak Dian, si jomblo kece ini, sejak jauh-jauh hari.

Apa yang dia tulis memunculkan kembali sesuatu yang kadang tidak disadari oleh kebanyakan masyarakat kita. Pola pikir apa adanya dan sederhana yang terus ditumpuki oleh kebiasaan-kebiasaan baru menjadikan kita kadang lupa apa yang sebenarnya begitu berharga buat kita. Tulisannya, setidaknya “menampar” diri kita agar tidak lupa siapa dan bagaimana kita.

Sabrang Mowo Damar Panuluh atau yang lebih kita kenal sebagai Noe (vokalis Letto), pernah menulis lagu berjudul “Memiliki Kehilangan” terinspirasi dari peristiwa saat ia kehilangan handphone yang belum genap seminggu dimilikinya. Saat itu perasaannya campur-aduk di antara sesal dan sedih oleh kehilangan.

Namun setelah beberapa saat terjadi pergolakan dalam batin dan pikirannya. Kenapa harus merasa sedih, pikirnya, jika sebelumnya ia tak memiliki handphone dan kini kembali lagi tak memilikinya. Bukankah seharusnya itu hal biasa? Hingga dijawabnya sendiri bahwa ia sedih bukan karena urusan handphone hilang, namun karena kebiasaan baru. Dari sebelumnya tak ada handphone, lalu memiliki handphone, dan kembali lagi tak memiliki handphone. Yang membuat sedih adalah pola-pikir dan tingkah-laku yang dimanjakan oleh gadget yang hilang.

Kebiasaan-kebiasaan (kearifan) di desa yang, kini seperti sedang megap-megap ditenggelamkan oleh kebiasaan-kebiasaan baru, yang kita sebut lebih maju. Kebiasaan-kebiasaan yang secara tidak langsung menyebut bahwa kebiasaan-kebiasaan masyarakat desa adalah perilaku kuno dan terbelakang. Dari segi profesi, ditanamkan pula dalam pikiran kita bahwa tak ada yang lebih menghasilkan dan mulia daripada profesi yang menjadi simbol di perkotaan; tampilan nyleneh yang sering dibilang necis khas anak-anak muda zaman now di antaranya.

Tidak ada yang salah dengan kebiasaan-kebiasaan modern, namun akan tidak tepat jika kebiasaan-kebiasaan baru tersebut tidak mengindahkan kebudayaan, kebiasaan, perilaku dan kearifan lokal yang sudah begitu melekat kuat di hati masyarakat.

Kelebihan dan keunggulan sebuah kultur di pedesaan bukanlah hasil karya manusia dalam waktu lima atau sepuluh tahun, namun sudah sejak lama. Anugerah Tuhan Yang Maha Esa berupa alam yang luar biasa disyukuri oleh masyarakatnya dengan sikap dan perbuatan yang memuliakan alam sekitar, diwujudkan dengan budaya menghargai alam, menghargai sesama makhluk hidup yang berada di sana. Masyarakat desa tak hanya hidup berdampingan dengan alam dan makhluk hidup lainnya, namun hidup dari keberadaannya yang lestari.

Mengharapkan pemerintah untuk peduli akan keberlangsungan karakter khas warganya, adat istiadat, dan keluhuran seni budayanya sepertinya hanya tertulis di program kerja. Sama halnya mengharapkan Watulimo panen durian ketika musim hujan seperti saat ini. Orangtua yang kerja mencari nafkah jauh dari anak, tak peduli siang dan malam ,terus menggelontori anaknya dengan uang dan kebutuhan material semata tanpa mempedulikan perkembangan psikologis dan karakter anaknya, seperti itulah, bagi saya, perumpamaannya.

Desa saya yang wilayahnya paling sempit di Kecamatan Watulimo, saya rasa kini juga terbawa euforia pembangunan. Dengan dana desa yang luar biasa besar, hampir tak ada waktu untuk tidak membangun. Apapun yang bisa masuk rencana pembangunan, pasti masuk ke proposal pengajuan dana, khususnya infrastruktur jalan. Di desa saya, tidak ada jalan desa yang tidak mulus saat ini. Semuanya disemen.

Dari yang saya tahu, dari setiap dana desa terdapat anggaran yang dialokasikan untuk pembangunan non-fisik. Maksudnya bukan sekadar membangun sarana prasarana dan fasilitas umum bagi masyarakat desa, namun lebih kepada membangun manusianya. Pembangunan yang lebih mengutamakan kepada penguatan sumber daya manusia, menumbuhkan kreativitas dan keterampilan masyarakat. Tapi sepertinya hal tersebut belumlah masuk dalam kriteria yang paling menjadi kebutuhan di desa menurut perangkat-perangkat desanya.

Tapi alhamdulillah, saya bersyukur, bahwa desa saya setidaknya sudah menyadari bahwa membangun manusia, masyarakatnya, lebih penting daripada terus-terusan membangun gedung dan bangunan. Beberapa waktu yang lalu pemerintah desa dengan karang taruna-nya membeli seperangkat gamelan, setidaknya hal tersebut bisa membangun masyarakat desa saya melalui kesenian, menumbuhkan cinta akan seni dan budaya karya leluhurnya. Namun saya berharap lebih dari itu.

Setelah mengetahui latar belakang terciptanya lagu “Memiliki Kehilangan”, dan membaca liriknya yang berbunyi “Rasa kehilangan hanya akan ada/ Jika kau pernah merasa memilikinya”, saya tiba-tiba terpikir bagaimana jika saya merasa sedih karena kehilangan karakteristik desa saya, jika nantinya benar-benar tergoda budaya kapital melalui pembangunan misalnya. Kebiasaan-kebiasaan (laku) yang bukan berasal dari kebiasaan masyarakat di desa-desa di Trenggalek, akan tergusur oleh budaya baru yang lahir dari gerak industrialisasi yang merangkak ke desa-desa.

Salam lestari.

Artikel Baru

Artikel Terkait