Gek kesenian kuwi blangkrah apa, ta!

Trenggalek, adalah sebuah kabupaten yang tergolong tertinggal di Jawa Timur. Berbagai kelemahannya: angka kemiskinan, hutan yang nyaris habis dibabat secara sempurna, dan tradisi-tradisi/ritual warisan kebudayaan lama seperti bersih desa, larung sembonyo, tiban (tarian/pertarungan dengan cambuk dari sada aren), dan lain-lainnya, seharusnya dibaca sebagai tantangan (baca:peluang). Masyarakatnya masih menjunjung tinggi nilai-milai persaudaraan, solidaritas, dan kegotong-royongan, berbeda dengan manusia-manusia kota (metropolitan) yang semakin kukuh individualitasnya. Di Trenggalek ada kesenian rakyat ”Jaranan” yang dikenal dengan nama ”Turanggayaksa” (sering ditulis secara salah: ”Turonggoyakso”. Kalau di tempat lain ada seni-jaranan yang dikenal dengan nama ”Jaranan Buta” (artinya sama dengan turanggayaksa (: jaran = kuda | yaksa = buta = raksasa) pastilah tampilan/gerak tariannya jauh berbeda dengan ”Turanggayaksa” yang khas Trenggalek itu.

Saya bisa bercerita secara khusus mengenai Turanggayaksa karena saya pernah menjadi pemain Jaranan Sentherewe oleh dua orang kreator ”Turanggayaksa” itu, yakni Pak Mu’an dan Pak Pamrih (keduanya tinggal di Kecamatan Dongko). Kedua orang kreator Turanggayaksa itu, menurut keterangan yang saya terima, pernah menjadi pemain ludruk juga. Pak Mu’an, juga terampil menciptakan perlengkapan tarian Turanggayaksa, dari slompret (terompet) ”turangga”, hingga barongan (caplokan)-nya. Turanggayaksa yang diciptakan untuk menghidupkan tradisi bersih desa di Desa Dongko itu kemudian menjadi populer, dan bahkan pernah dijadikan materi tarian yang wajib dipelajari di sekolah-sekolah di seluruh Kabupaten Trenggalek.

Beberapa kali Festival Turanggayaksa pun digelar. Sayangnya, dalam rembug kesenian di Sanggar Tari Joyo Anggodo, Desa Parakan, Kecamatan Trenggalek, yang dihadiri para pelaku, guru, pemilik sanggar, dan para pemerhati kesenian (15 Januari 2012) terungkap bahwa Festival Turanggayaksa sudah tidak lagi digelar dalam beberapa tahun belakangan ini.

Mendengar kabar menyedihkan itu, saya lalu teringat kawan-kawan, para perempuan pekerja migran di Hong Kong yang dengan bangga dan penuh antusiasme mempromosikan kesenian jaranan di negeri penggemar Barongsai itu.

Kabar sedih itu juga seperti nyaris memupuskan harapan saya, untuk suatu ketika ada delegasi kesenian dari Trenggalek (tidak perlu rame alias banyak orang) bisa menampilkan Turanggayaksa di Hong Kong, sekaligus memberi kursus kilat kepada perempuan pekerja migran asal Trenggalek yang ada di Hong Kong. Beberapa di antara mereka mengaku pernah mempelajarinya sewaktu di sekolah. Maka, alangkah Indahnya jika setelah tampil jam-session dengan sebuah Grup Barongsai dari Kecamatan Wan Chai, Kelurahan Causeway Bay, atau Kabupaten Kowloon Tong, lalu perlengkapannya dihibahkan kepada para ”duta budaya” yang selama ini hanya lebih banyak dikenal dengan sebutan bernada menghina: ”TKW” itu.

Impian mengenai delegasi kesenian dari Trenggalek ke Hong Kong itu sesungguhnya bukan impian ngayawara, jika saja kita bisa membaca seberapa penting, apa dampak positif, dan keuntungan non-finansial dapat diraih, baik oleh seniman yang terlibat, para pekerja migran yang ada di Hong Kong, terutama yang diwarisi ketrampilan-seni-jaranan, maupun yang dapat dipetik dari silaturahmi antarnegara: Indonesia – Hong Kong.

Makin masuk akal lagi, tanpa berpretensi untuk mengajak ber-KKN, mengingat ada dua sosok yang menjadi pejabat penting di bidang ini di Provinsi Jawa Timur, berasal dari Trenggalek: Kepala Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Provinsi Jawa Timur, dan seorang lagi Kepala Taman Budaya Jawa Timur.

Tetapi batin saya kembali menjadi kecut ketika dalam sarasehan tadi pagi itu sempat terlontar celetukan, mengabarkan bahwa dalam sebuah pertemuan dengan Dewan Perwakilan Rakyat (Daerah) Trenggalek, sempat meluncur sebuah kalimat pendek, ”Gek kesenian kuwi blangkrah apa, ta!”

Jangan-jangan yang ada di Jakarta juga punya simpanan kata-kata senada itu? Dan oleh karenanya, kita tidak perlu heran, kalau di ruang sidang pun mereka bisa saling mencaci, berdiri di atas meja, dan kemudian saling adu jotos. Mereka tak pernah nonton/mendengarkan siaran wayang kulit, yang, bahkan seorang raksasa menantang berkelahi patih dari kerajaan yang didatangi dengan, ”Heh, patih murang tata, metua njaba, takladeni apa abamu!” Raksasa itu pun keluar, meninggalkan ruang pertemuan, dan menunggu Sang Patih di alun-alun depan istana kerajaan untuk bertarung.” –Sedangkan anggota dewan kita, kalau sudah menyala amarahnya, mengamuk tak pandang tempat. Apalagi kalau diminta adu mulut di layar televisi, jan kemaruk-nya minta ampun! (catatan 1/15/2012)

Artikel Baru

Artikel Terkait