Basa dalam masyarakat Jawa adalah ukuran. Ia mendefinisikan unggah-ungguh (baca: sopan-santun). Tidak semena-mena. Ada proses lama. Sehingga begitu kau serampangan memakainya, kau akan dituduh orang asing: ndak jawa.
Sistem tingkat tutur berbahasa dalam masyarakat Jawa memang tersusun kompleks. Terdiri dari bahasa ngoko, madya, krama dan kasar. Di dalamnya masyarakat dibagi-bagi, menurut status sosial, usia, lalu diletakkan dalam susunan yang berbeda-beda. Rumit dan tidak asyik.
Saya sendiri memiliki banyak cerita soal ber-basa ini. Saya sebetulnya berharap bisa menampilkan sudut pandang orang tua yang berdiri marah sambil menunjuk-nunjuk kelakuan bocah—meminjam bahasa film—“buatan tangan modernitas”. Hanya saja, saya bukan itu. Saya adalah generasi “cah saiki” yang ditunjuk-tunjuk itu, yang harus mempertanggungjawabkan keterasingan saya dengan budaya tempat saya menyusu.
Suatu kali ibu pernah mengomel pada saya. Ibu bercerita bahwa baru bertemu dengan anak SMA yang dengan santainya menggunakan bahasa ngoko ketika mengobrol dengannya. Ia juga tanpa beban mengobrol dengan tetangga kami yang sudah memiliki cucu. Saya hanya diam. Dan entah kenapa…, merasa ditelanjangi. Saya pun tidak bisa ber-basa yang baik!
Meskipun tidak separah bocah tersebut, tapi kemampuan “basa” saya juga tidak memadai. Tidak cukup untuk menyandang predikat njawani (kalau kekinian sih, iya). Ibu saya sebenarnya telah memperingatkan agar saya selalu “basa” dengan orang tua. Tentu, saya sadar harus ber-basa yang baik. Dan ibu juga selalu siap untuk menjadi tutor bahasa bagi saya.
Nah, yang ini, saya selalu merasa bahwa basa saya baik-baik saja, padahal sebaliknya. Pernah beberapa kali saya belepotan mengobrol dengan orang tua karena kurangnya perbendaharaan basa krama. Sesampai di rumah, saya bertanya kepada ibu, “Bahasa krama-nya marem apa, Bu?” “Bingah.” “Kalau kedadeyan?” “Kedadosan.” Besoknya, ketika saya harus menggunakannya lagi, saya sudah tak ingat apa-apa.
Saya kira ini karena ibu tidak intensif mengajari saya sejak kecil. Hanya nggeh, dalem, mboten, tilem, dhahar… Di keluarga kami juga tak diharuskan utuh ber-basa. Begitu juga ketika saya di SD dan SMP. Guru saya tidak memperhatikan betul penggunaan “basa” yang baik sebagai ukuran kesantunan.
Kasus saya di atas, dan mungkin juga kasus kamu-kamu yang tidak bisa “basa”, adalah konfirmasi atas wacana globalisasi di mana manusia Jawa memudar jati dirinya. Kesantunan ber-basa yang mestinya di-uri-uri malah diremehkan. Banyak orang Jawa yang lebih menyukai bahasa Indonesia atau bahasa Inggris (saya sendiri suka nyanyi lagu-lagu bahasa Inggris dan juga menonton film dengan headset di telinga, karena saya pikir bahasa Inggris itu terdengar merdu dan unik). Ungkapan nggalek.co is the best misalnya, terdengar keren, ‘kan?
Penggunaan basa ini juga tidak hanya berkurang di kalangan generasi muda, teman dan kolega, tetapi juga di ranah lembaga-lembaga pendidikan dan keluarga. Banyak orangtua dan pendidik yang lebih menyukai anak-anak dan murid-murid sekolah berbicara dengan bahasa Indonesia.
Ternyata, toh di luar sana banyak pula yang bermasalah seperti saya. “Basa” seringnya hanya sayup-sayup terdengar di acara mantenan atau kendurian. Sementara berada di tempat-tempat umum, bahkan di lembaga pendidikan sekalipun, saya hanya akan mendengar sebentuk keakraban ganjil antara mereka yang tua dan yang muda. Padahal sejarah panjang masyarakat Jawa yang identik dangan andap-ashor, tepa slira melekat di sana. Ya, memang jaman berkembang cepat. Ia sering menggusur apapun yang kuno dan tidak asyik.
Kondisi ini berbeda dengan orangtua dan para guru zaman dahulu. Orangtua dahulu, yang dianggap orangtua yang tahu unggah-ungguh, menginginkan anaknya agar ber-basa. Baik terhadap orang tua atau sanak saudara yang berusia lebih tua. Bila seorang anak tidak bisa “basa”, maka orang akan berkata, “Anake sapa ora duwe unggah-ungguh?” atau menyimpulkan bahwa orangtuanya tidak berpendidikan.
Tapi, setahun belakangan saya membiasakan “basa” di rumah, kok. Iya, benar. Kamu percaya deh sama saya. Saya mencatatnya di kertas setiap basa sulit. Seringkali amburadul, kelupaan, campur aduk. Duh, ribet pokoknya. Apalagi ingatan saya ini ‘kan rapuh. Tidak bisa menopang banyak bahasa: Jawa, Inggris, Arab.
Meski begitu, saya tetap mencoba (aduh, terdengar seperti Mario Teguh, ya?). Saya ‘kan memang ingin melestarikan basa Jawa. Saya juga mau jadi manusia Jawa yang otentik. Dan tentu saja, alasan yang paling menentukan dari semuanya adalah “karena saya disuruh ibu.”
Kalau basa kamu bagaimana? Baik-baik saja?