Ramadan merupakan bulan jeda. Di mana manusia diberi waktu interval selama satu bulan sebelum lanjut sebelas bulan lain. Selama sebelas bulan itu kita, manusia telah diberi keleluasaan bekerja dan memikirkan duniawi; fisikal dan material. Maka, dengan kemurahan dan kuasa-Nya, kita diberi waktu jeda untuk berkontemplasi; evaluasi diri.
Seolah mendapat jatah waktu khusus satu bulan penuh, manusia bermunajat dan mendekatkan diri kepada Sang Khalik meningkatkan ketakwaan dan kadar keimanan kepada-Nya. “Waktu khusus” berada di bulan ke-9 di tahun hijriyah atau biasa kita menyebutnya dengan bulan Ramadan atau bulan bagi umat muslim diwajibkan berpuasa; menahan diri dari hawa nafsu (lapar, haus dan nafsu lainnya) mulai dari terbitnya fajar sampai terbenamnya mahatari, dan dari segala perbuatan yang membatalkan ibadahnya.
Saya berasumsi, jika tak ada tombol analog “jeda”, yaitu bulan Ramadan, maka manusia tak akan pernah belajar, instropeksi, evaluasi diri dan peningkatan kadar ibadahnya. Jika tak ada waktu jeda maka mudah dipastikan dan terkesan datar-datar saja 12 bulan yang kita lalui ini.
Untuk itu, Ramadan bagi umat manusia sebagai bulan pengendali, bulan instropeksi maupun evaluasi. Keberadaan 1 bulan di antara 11 bulan itu sangat penting: terkandung nilai hikmah dan penuh berkah. Robert Frager, Ph.D dalam buku Psikologi Sufi (2014) mengatakan bahwa puasa merupakan salah satu latihan yang amat penting dilakukan oleh seorang darwis. Puasa merupakan momentum yang tepat untuk transformasi diri ke tingkat yang lebih tinggi.
Lantas, ada beberapa peneliti yang bilang bahwa puasa merupakan media latihan atau belajar. Sebab, pada hakekatnya puasa itu hanya pindah atau ubah jam makan. Bila di hari biasa kita makan malam cukup satu porsi dan minum secukupnya. Di bulan puasa bukan sekadar memaksa kita untuk ngempet sejenak lantas dan memuaskan segala hasrat lapar di penghujung Magrib dengan menu yang lebih banyak dan mewah dari biasanya.
Tapi lebih menjadikan kita sebagai manusia yang manusiawi. Manusia yang memiliki empati karena merasa lapar. Namun manusia sepertinya tidak puas makan dan minum untuk menghilangkan lapar dan dahaga atau pengganjal perut saja. Makanan dan minuman pun beralih fungsi jadi ajang prestise dan gengsi sosial.
Orang dulu sangat betah menahan lapar. Tidak hanya lapar, mereka juga nyuda porsi makan dan pilihan menu makanan. Hingga orang-orang dahulu sangat jarang sekali sakit-sakitan. Usianya pun relatif lebih panjang. Sebab, orang-orang dahulu lebih suka laku tirakat dan menu makanannya juga tidak terkontaminasi dengan zat-zat kimia. Yang jelas, orang-orang tua kita dulu itu gemar sekali nglakoni tirakat, seperti puasa Senin-Kamis, puasa Dawud, shiyam sittin min Syawwal, dan puasa-puasa sunnah lainnya.
Sementara orang sekarang, saat berbuka tak menggambarkan laku tirakat. Tidak hanya menu yang sudah disediakan oleh orang rumah, menu-menu dari luar juga menghiasi daftar berbuka. Tidak jarang menu-menu cepat saji (fast food), makanan kemasan, makanan kaleng dan makanan sampah (junck food). Makanan tersebut tidaklah sehat dan mengandung pengawet yang membutuhkan waktu lama untuk mengurainya.
Di sisi lain, puasa menggiring manusia untuk berperilaku konsumtif. Menggiring untuk berbelanja mulai dari kebutuhan sehari-hari seperti sembako dan lain-lainnya. Sudah menjadi tradisi bahwa harga-harga sembako melonjak naik saat Ramadan, apalagi menjelang Lebaran. Saya sepakat dengan mas Moddie Alvianto Wicaksono yang bilang “Toh, ada THR dan gaji ke-13. Jadi, tak masalah kalau harga sembako naik. Asalkan jangan harga baju, celana, tas, dan sepatu yang ikutan naik.”
Lapar bukan semata urusan biologis, lapar juga kerap membangkitkan kenekatan dan perilaku agresif yang irasional. Misalnya, di pengujung Ramadan pemerintah sangat gemar mengaspal jalan raya. Karena perilaku yang agresif—tidak manusiawi—sampai-sampai jalan itu pun ikut dilahapnya: dikorupsi.
Agaknya soal makanan atau lapar itu bukan sekadar perkara sepele. “Urusan perut” kerap menunjukkan dan mendekatkan seseorang pada laku culas, curang dan licik. Sejarah mencatat perut pernah menggerakan manusia untuk melakukan berbagai rupa kekejian.
Ingat tragedi beberapa waktu lalu tentang 156 narapidana teroris di Rutan Mako Brimob Jakarta. Bermula dari makanan yang kurang atau lapar, para tahahan itu mendobrak pintu sel lantas mengoyak-oyak anggota polri. Mereka bukan saja memukul hingga tewas. Tapi menembak hingga menggorok leher anggota polri Mako Brimob. Alhasil lima anggota polri tewas dalam insiden berdarah itu.
‘Lapar’ bukan saja soal makanan, tapi lebih pada apa yang sering orang-orang miskin rasakan. Mereka terbiasa dengan lapar. Dengan membuat kita lapar, kita bisa saling berbagi. Bukan sekadar membeli banyak makanan dan bervarian lantas tak ada yang dihabiskan. Bukan sekadar menggelontorkan hasrat pribadi kita untuk memperkaya diri sendiri. Hingga menyunat kepentingan banyak orang.
Sejatinya puasa Ramadan itu adalah laku untuk menahan segala bentuk amarah dan mengendalikan semua tindak dan tanduk. Puasa merupakan sarana efektif untuk menajamkan akal kognitif, juga memiliki makna sufistik. Akal kognitif tidak hanya diperoleh dengan banyaknya pengetahuan lewat belajar, tetapi juga membutuhkan aktualisasi melalui jalan refleksi. Aksi refleksi adalah salah satu metode penguatan dalam memperoleh pengetahuan.
Puasa adalah media refleksi yang sangat efektif. Sejarah membuktikan; orang-orang cerdas adalah mereka yang memiliki tradisi puasa yang kuat. Sehingga di akhir puasa, akhir Ramadan, mencapai tampilan dengan tingkat tawakal yang lebih baik. Tidak berlebih jika Ramadan menjadi arena bagi umat muslim untuk berdiplomasi dengan perut masing-masing. Berdialog, berempati supaya perut tidak menguasai atau berwatak manusia yang bengis. Tetapi berempati kepada orang yang setiap hari kekurangan serta menjauhkan sifat yang serakah. Semoga di akhir Ramadan ini kita jadi manusia dalam derajat takwa.