Demokrasi: Ruang Publik yang Hidup
Sejak runtuhnya kekuasaan Orde Baru tahun 1998 yang melahirkan Era Reformasi, negara Indonesia mengalami demokratisasi (Demokrasi seperti apa tentunya masih menimbulkan perdebatan di kalangan intelektual?). Di dalam demokrasi, masyarakat memiliki kekuatan untuk memilih langsung pemimpin serta wakilnya di berbagai level dan teritori, baik pusat, provinsi dan kabupaten/kota. Masyarakat juga mempunyai kewenangan melakukan kontrol (check and balance) terhadap kinerja pemerintahan di ruang publik. Yang tentunya di masa lalu, kegiatan seperti ini tidak sebebas seperti di era sekarang.
Kontrol ruang publik inilah yang kemarin (9/3/2019) diinisiasi komunitas nggalek.co. Bertempat di “Galeri Djoeang” dengan tajuk yang cukup tendensius dan provokatif “Trenggalek di Masa Emil: Benarkah Lebih Baik?”. Pada pertemuan tersebut dihadiri berbagai elemen di antaranya perwakilan pemerintah daerah Kabupaten Trenggalek, perwakilan partai politik, akademisi, mahasiswa serta elemen-elemen lain yang peduli akan kemajuan Kabupaten Trenggalek. Saya sendiri hadir tidak mewakili siapa-siapa dan apa-apa. Sebagai warga negara biasa atau bapak rumah tangga. He…
Melihat judulnya, diskusi yang dilaksanakan di Galeri Djoeang tersebut tentunya menarik untuk ditelaah lebih lanjut. Diskusi tersebut menimbulkan berbagai pertanyaan di benak saya. Mengapa diskusi tersebut dilaksanakan setelah Mas Emil sudah mengabdi di level provinsi? Mengapa “menyasar” pada sosok personal? Bukankah kinerja pemerintahan daerah merupakan tanggung jawab dan wewenang bupati beserta wakilnya (beserta jajarannya)?. Lebih baik apanya? Dari periode sebelumnya atau dari kebupaten tetangga? Atau dari wakilnya… He…
Capaian Kinerja Pemerintah Daerah
Acara di Sabtu malam tersebut diawali dengan paparan dari Kepala Bidang Sosbud Bappedalitbang sebagai perwakilan pemerintah daerah terhadap visi kepala daerah beserta capaiannya. Paparan diawali dengan apa yang direncanakan dan akan dicapai selama 5 tahun masa pemerintahan yang tertuang dalam RPJMD. Kemudian dijelaskan pula bagaimana capaiannya yang didasarkan pada indikator-indikator yang terukur.
Mengacu pada Laporan Kinerja Pemerintahan Daerah (2016-2018), maka dapat diketahui capaian kinerja kepala daerah. Visi Kabupaten Trenggalek yang “Terwujudnya Kabupaten Trenggalek Yang Maju, Adil, Sejahtera, Berkepribadian, Berlandaskan Iman dan Takwa” diterjemahkan menjadi 12 Indikator Kinerja Utama (IKU). IKU inilah yang menjadi tolok ukur keberhasilan dan kemajuan kinerja pembangunan daerah. Berdasarkan IKU tersebut, paling tidak sampai dengan akhir tahun 2018, capaiannya selalu lebih baik daripada tahun sebelumnya. Hanya ada beberapa indikator yang tidak sesuai dengan harapan seperti Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) yang meningkat setiap tahunnya.
Berbagai capaian tersebut akhirnya diapresiasi oleh berbagai pihak seperti pemerintah pusat, provinsi, lembaga-lembaga non pemerintah maupun swasta. Masyarakat millenial menuntut adanya reformasi terhadap pelayanan publik yang dianggap lambat, korup, enggan berubah, dengan jargon melekat: “Kalau bisa diperlambat mengapa harus dipercepat”. Melalui berbagai kompetisi yang ada diharapkan setiap pemerintah daerah berlomba-lomba untuk melakukan inovasi pelayanan publik dan inovasi penyelenggaraan pemerintahan. Inovasi dalam pemerintahan juga menjadi krusial karena: 1) Menarik investasi sebesar-besarnya ke daerah; dan 2) Mengembangkan daya tarik ekonomi (Muluk, 2008).
Berbagai penghargaan yang berhasil disandang oleh Kabupaten Trenggalek di antaranya: Indonesia City Awards tentang promosi hak anak (Detik, 2018); Indonesia Visionary Leader (2018); Swasti Saba Wiwerda untuk Kabupaten Sehat (Tagar.id, 2017); Piala Natamukti untuk memajukan UMKM (Tagar.id, 2017); WOW Public Services Excellence Award Jawa Timur 2017 (Tabloid Bintang, 2017); Juara 2 Penghargaan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappedalitbang, 2018) dan masih banyak lagi.
Di akhir sesi, Mas Akbar (sebagai perwakilah pemerintah daerah dari Bidang Sosbud Bappedalitbang) sangat menyayangkan bahwa waktu paparan yang sangat sempit sehingga permasalahan-permasalahan yang dihadapi dan PR-PR yang belum tertuntaskan selama ini belum tersampaikan dengan baik. Hal tersebut dapat dimaknai sebagai bentuk “pengakuan” kelemahan-kelemahan yang selama ini dihadapi pemerintah daerah era Mas Emil. Sebut saja pertumbuhan ekonomi yang masih di bawah target, kenaikan tingkat pengangguran terbuka dan masih banyaknya bencana alam (terutama banjir dan longsor). Tentunya kelemahan-kelemahan tersebut harus mendapatkan masukan perbaikan dari berbagai stakeholder terkait.
Beberapa Tanggapan
Setelah selesai dilakukan paparan atau presentasi oleh Mas Akbar, maka pembawa acara yang disebut-sebut sebagai “Karni Ilyas”-nya Trenggalek (Mas Indra Setiawan) “melemparkan” kesempatan kepada sebagian peserta yang hadir untuk melakukan tanggapan atau respon. Saya sebenarnya ingin menanggapi tetapi karena akan sangat panjang, saya lebih memilih menuliskannya saja.
Kesempatan pertama jatuh kepada Pak Budi Santoso (politisi senior PDIP). Kegagalan beliau nyaleg selama 4 kali menjadi guyonan tersendiri bagi peserta. Pertama-tama beliau menyoroti letak geografis Trenggalek yang tidak menguntungkan secara ekonomi. Lebih dari 50% lahan di Trenggalek merupakan milik Perum Perhutani. Parahnya, menurut Pak Bonari Nabonenar (budayawan), pengelolaan hutan oleh Perhutani mengarah pada pengrusakan. Hal inilah yang menjadi penyebab mengapa Trenggalek susah maju sebagaimana kota-kota besar di Indonesia yang dijadikan parameter.
Bagi saya, pernyataan tersebut sebenarnya tidak sepenuhnya tepat tetapi juga ada benarnya. Peradaban-peradaban besar dunia awalnya tumbuh dan berkembang di lokasi yang memiliki keunggulan. Pada waktu itu peradaban muncul karena berada pada tempat produksi makanan hasil domestifikasi. (Diamond, 1998 dalam Guns, Germs, and Steel). “Kota-kota” yang dianggap maju di Indonesia memang memiliki keunggulan lokasi dibandingkan dengan daerah “terbelakang”, mulai dari luasnya daya dukung dan daya tampung lingkungan untuk pembangunan (fisik) dan lengkapnya infrastruktur ekonomi (jalan, pelabuhan, bandara). Dari aspek ini saja maka tepat jika Trenggalek susah maju karena kendala lokasi.
Kelemahan lokasi Trenggalek menurut saya bukanlah “kiamat” bagi geliat pembangunan daerah. Setiap daerah pasti menginginkan daerahnya berdaya saing. Mengacu pada pakar daya saing (Porter, 1990) bahwa salah satu elemen yang bisa meningkatkan daya saing daerah adalah factor condition yang meliputi input faktor produksi (tenaga kerja, sumber daya alam, modal dan infrastruktur). Kunci utama dari faktor produksi adalah diciptakan bukan diwariskan. Kelangkaan faktor produksi seringkali membantu daerah menjadi kompetitif. Keterbatasan tersebut akan mendorong inovasi.
Maraknya desa wisata yang sebagian besar berada di kawasan Perhutani merupakan contoh konkret bagaimana inovasi diciptakan (lewat MoU). Lebih lanjut, Pak Bonari juga sepakat memandang kemiringan lahan di Trenggalek sebagai potensi. Bahkan, keterbatasan tempat tinggalnya (Desa Cakul, Kecamatan Dongko) tidak menyurutkan semangatya menciptakan even “Festival Sastra Jawa dan Desa” pada tahun 2009. Sekali lagi, inovasi adalah kunci.
Factor condition juga dikeluhkan oleh salah seorang mahasiswa IAIN Tulungagung yang pernah tinggal di Munjungan. Ia menganggap bahwa banyak anak Munjungan yang tidak bangga dengan daerah asal. Salah satu faktor krusial yang menjadi penyebab adalah aksesibilitas (jalan) yang buruk. “Apakah tidak ada upaya memperbaikinya?” katanya. Sebagaimana diketahui, berbagai upaya sudah dilakukan Trenggalek melalui kegiatan pemeliharaan dan pembangunan akses Kampak-Munjungan bahkan telah dirancang jalan alternatif karena dianggap jalan eksisting terlalu curam elevasinya.
Menurut saya hal tersebut tidaklah cukup. Musuh utama jalan adalah air. Selama limpasan air permukaan (dari lereng kiri kanan jalan) tidak mampu “ditahan” dan sisanya dibuatkan saluran drainase di kiri kanan jalan, masalah kerusakan jalan tidak akan pernah terselesaikan.
Pernyataan menarik lainnya menurut saya adalah konsep Wilayah Pengembangan Selatan (WPS) Jogja – Prigi – Blitar– Malang yang dilontarkan oleh Pak Budi Santoso. “Konsep tersebut sekadar teori belum optimal implementasinya” katanya. Pernyataan tersebut tidak sepenuhnya tepat tetapi sudah ada upaya untuk merealisasikan konsep dari pemerintah pusat tersebut. Salah satunya adalah pembangunan pelabuhan perintis di Kecamatan Watulimo yang sedang dalam proses serta Jalan lintas Selatan (JLS). Harapan dari WPS adalah majunya Yogyakarta dan Malang (sebagai kutub pertumbuhan) akan berdampak positif pada 11 kabupaten yang ada, salah satunya Trenggalek.
Konsep WPS oleh pemerintah pusat ditindaklanjuti Mas Emil dengan gagasan “Segitiga Pembangunan Wilayah” yaitu “kota” Trenggalek sebagai pusat pemerintahan; Panggul sebagai pusat perdagangan baru; dan Watulimo sebagai kota maritim baru. Menurut hemat saya, kedua konsep nasional dan daerah tersebut jika benar-benar terimplementasi dengan baik akan mendorong kemajuan Trenggalek.
Pertumbuhan tidak tumbuh merata di sembarang tempat, tetapi pada lokasi-lokasi tertentu yang memiliki keunggulan di sektor tertentu (Perroux,1955). Teori tersebut dikenal sebagai teori pusat pertumbuhan (growth pole) yang menjadi tren pembangunan di negara maju. Pengembangan WPS dan segitiga pembangunan wilayah merupakan strategi meningkatkan intensitas kegiatan-kegiatan ekonomi terutama untuk menciptakan economies of concentration.
Teori inimemfokuskan investasi pada sektor tertentu, yakni kutub pertumbuhan, atau sektor pertumbuhan, untuk memulai perputaran roda pembangunan. Ketika kutub ini mulai berkembang, maka ia akan manarik sektor yang ada di belakangnya dan mendorong sektor yang ada di depannya (kecamatan-kecamatan sekitarnya sampai level desa). Menurut Ibu Titin, salah satu peserta yang mewakili Radar Trenggalek (Jawa Pos), Trenggalek membutuhkan investasi yang bisa menyerap tenaga kerja. Penjelasan mengenai kutub pertumbuhan sebelumnya juga bisa digunakan untuk menjawab pertanyaan Bapak Dr. Suripto mengenai orientasi pembangunan Trenggalek mengapa berkonsentrasi di “kota”.
Pernyataan selanjutnya yang cukup menggelitik bagi saya adalah kritik dari Bapak Dr. Suripto mengenai Musrenbang dan kritik dari Mas Trigus terhadap beberapa program strategis RPJMD. Bapak Dr. Suripto memandang forum perencanaan bottom-up lewat Musrenbang hanya formalitas dan seremonial semata. Tidak ada penjaminan hasil partisipasi dan menjadi kekuasaan para “elit lokal” yang seringkali “menghilangkan” usulan-usulan hasil Musrenbang (masyarakat bawah) dalam pembahasan APBD.
Menurut hemat saya, esensi dari partisipasi publik adalah penjaminan hasil partisipasi (dalam hal ini Musrenbang). Ketika tidak ada penjaminan maka disebut sebagai partisipasi semu yang diwarnai dengan hegemoni dan manipulasi. Pemerintah harus berani menjamin hasil partisipasi tersebut dalam wadah perencanaan bergaransi (guaranted planning). Perencanaan bergaransi akan menjamin menurut kriteria tertentu terhadap usulan dan aspirasi Musrenbang untuk diakomodasi hingga APBD ditetapkan.
Kriteria tertentu ini dapat dijabarkan dalam skema jumlah nominal tertentu atau kegiatan (project) tertentu, misalnya setiap kecamatan diberi penjaminan akomodasi usulan dan aspirasi senilai Rp. 1, 2, atau 5 Milyar sesuai kemampuan anggaran. Skema lain melalui jumlah kegiatan, misalnya setiap kecamatan diberi penjaminan 5, 6 atau 10 kegiatan pasti diakomodasi dalam APBD. Tentunya jaminan anggaran hasil Musrenbang ini sudah mempertimbangkan anggaran untuk OPD dan anggaran untuk mengakomodasi pokok-pokok pikiran atau Jasmas DPRD.
Di akhir sesi, Mas Trigus memberikan kritik pedasnya. Kritik itu “menyasar” pada program-program strategis RPJMD yaitu “Trenggalek Gemilang” dan “Pertanian Terpadu Plus”. Menurutnya, program Trenggalek Gemilang hanya fokus pada communal branding dengan produk yang terbatas. Hal tersebut tidak-lah salah, communal branding merupakan salah satu output program yang berguna untuk memudahkan pemasaran, memudahkan perijinan, memberikan jaminan kontinuitas produksi serta memberi bargaining power produk. Ke depan memang perlu peng-communal branding-kan produk unggulan lainnya. Tetapi jangan lupa, berbagai “rumah” komoditas (susu, durian, coklat) juga masuk program Trenggalek Gemilang termasuk pembangunan Science Techno Park berbasis atsiri organik di Kecamatan Bendungan.
Mas Trigus juga menyoroti pembangunan pertanian terpadu (agro park) yang pada tahap perencanaan sempat ditolak oleh DPRD (dibuktikan dengan berbagai berita di media online). Namun, pada akhirnya proyek tersebut terealisasi. “Pelaksanaan program pertanian terpadu (agro park) juga bermasalah karena berubah fungsi menjadi kawasan wisata,” imbuhnya.
Menurut saya, pertanian terpadu yang berlokasi di jalan utama Trenggalek-Ponorogo memang sebuah demplot (proyek percontohan) bagaimana seharusnya pertanian berlangsung. Temuan berbagai riset menunjukkan bahwa petani bersedia mengembangkan komoditas tertentu jika sudah ada contoh suksesnya (local champion). Nah, agro park harus menunjukkan kisah sukses proses hulu-hilir kegiatan pertanian. Menjalankan fungsi inkubator bisnis layaknya technopark. Lalu, bagaimana jika berubah fungsi menjadi pariwisata.
Sekali lagi menurut saya tidak masalah. Bukankah pariwisata merupakan tren yang sedang mewabah negara kita tercinta. Saya malah berharap bahwa apapun pembangunan di Trenggalek harus menjadi daya tarik bagi wisatawan baik secara langsung maupun tidak langsung mengingat keuntungan multiplier efeknya bagi perekonomian rakyat.
Kesimpulan
“Trenggalek di Masa Emil. Apakah Lebih Baik?” Semua stakeholder yang hadir di Galeri Djoeang bersepakat iya lebih baik walaupun sejak awal acara belum disepakati apa saja indikator-indikator yang digunakan untuk menilainya. Secara gagasan dan konsep, cita-cita pembangunan lima tahunan yang tertuang dalam RPJMD sangat prestisius dan mengagumkan. Bahkan, saya secara pribadi menganggap capaian keberhasilan beberapa program strategis secara 100% membutuhkan waktu yang lebih dari lima tahun.
Visi lima tahunan tersebut membutuhkan seorang pemimpin eksekutor di berbagai level/tingkatan. Tentunya harus didorong jajaran yang mau dan mampu untuk berubah. Bukan yang konservatif dan mempertahankan status quo-nya.
Trenggalek, 11/3/19