Sudah pernah menonton film Laskar Pelangi?
Barangkali para pembaca semua sudah pernah nonton film yang diangkat dari sebuah novel berjudul sama, seperti karya Andrea Hirata. Sebuah novel yang berlatar sebuah pulau kaya raya, namun terpencil—meski bertolak belakang dengan kondisi masyarakatnya. Berkat tulisan Andrea, pulau tersebut makin dikenal, tidak hanya oleh bangsa Indonesia sendiri, namun juga terkenal hingga mancanegara.
Lantaran karya Andrea Hirata, kondisi ekonomi masyarakat pulau yang bernama Belitung itu kini berubah lebih baik. Masyarakat yang dulunya hanya bergantung pada perusahaan timah, kini Belitung menjadi destinasi wisata para pelancong, baik dari dalam maupun luar negeri. Di sana ada bermacam lapangan pekerjaan baru. Betapa luar biasanya efek dari sebuah tulisan.
Kembali ke film. Selain membuat saya trenyuh, ketika menonton adegan Lintang pamit kepada Bu Muslimah dan kawan-kawannya untuk tidak melanjutkan sekolah, ada banyak pesan yang disampaikan melalui film tersebut. Yang paling mengena adalah ketika film mencapai akhir. Di situ muncul sebuah kutipan dari Undang-Undang Dasar Negara 1945 Pasal 31 Ayat 1 yang berbunyi: “Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan.”
Sejak menontonnya, pesan yang disampaikan di akhir film itu sering terngiang menghantui pikiran. Mungkin beberapa dari kita—meskipun tidak seluruhnya—setelah menonton film Laskar Pelangi, menyimpulkan bahwa pada era itu terjadi ketidakadilan pendidikan di negeri ini. Oke. Setelah berganti era, masyarakat Indonesia dianggap sudah berkembang dalam banyak hal, termasuk di sektor pendidikan.
Di era kini, pendidikan juga turut berkembang. Bermacam inovasi dimunculkan oleh mereka yang bertanggung jawab untuk memajukan pendidikan di negeri ini. Setelah bertahun-tahun, seharusnya sudah tidak ada lagi ketidakadilan pendidikan di negeri ini. Semoga saja.
***
Beberapa bulan yang lalu adalah masa-masa tahun ajaran baru. Masa-masa di mana sekolah-sekolah berlomba mendapatkan murid baru. Bermacam prestasi yang diraih oleh murid-muridnya ditampilkan guna menarik minat calon murid. Mereka berpacu menunjukkan diri dan gengsi sebagai sekolah yang paling unggul dan mampu menjadikan setiap muridnya, begitu lulus dari sekolahnya, menjadi siswa yang unggul dibanding siswa yang lain.
Tapi sayangnya, dari sekian banyak tawaran dari sekolah-sekolah itu, tidak semua anak-anak yang ingin belajar ke sekolah yang diinginkannya dapat terwujud, karena untuk bisa terdaftar menjadi murid di suatu sekolah, haruslah melewati tes dan harus terpilih. Jadi, seperti BPJS, pasien tak bisa menentukan di Rumah Sakit mana ia ingin dirawat, tanpa melewati bermacam prosedur yang ribet bin mbulet.
Sungguh heran terhadap sekolah-sekolah berstatus negeri dan sekolah-sekolah bergengsi itu. Katanya sekolah ada untuk memenuhi hak warga negara mendapatkan pendidikan. Tapi nyatanya, tidak semua anak di negeri ini bisa mendapatkan pendidikan di sekolah-sekolah tersebut. Anak-anak yang tidak lolos seleksi dan atau bernilai rendah (baca: bodoh—mereka menyebutnya begitu), tidak diperkenankan mendapatkan fasilitas pendidikan yang mereka inginkan. Itu, sekolah apa audisi?
Jadi, ketika mereka gembar-gembor bahwa murid-muridnya berprestasi, ya nggak heranlah! Lha sebelum masuk ke sekolah saja mereka sudah pinter-pinter. Dan sekolahnya bisa numpang tenar keberhasilan muridnya untuk mendapatkan murid yang lebih banyak lagi di tahun depan. Semakin banyak murid, semakin banyak dana yang didapat.
Tapi sayangnya, masyarakat pun kini demen dengan gebyar-gebyar semata. Pola pikir yang menganggap bahwa pendidikan hanyalah sekadar nilai-nilai yang tertera di rapor. Kebanggaan orangtua “sekadar” terdapat pada FOTO anaknya yang menenteng trofi dan piagam.
Justru, saya salut dan bangga jika ada sekolah yang minim fasilitas dan sumber daya yang dimiliki, namun konsisten dalam memenuhi hak setiap anak Indonesia untuk mendapatkan pendidikan.
Tapi sayangnya, tak banyak sekolah seperti itu yang sadar bahwa mereka luar biasa. Mereka masih beranggapan bahwa sekolah mereka adalah sekolah terpinggirkan, sekolah tak diunggulkan dan sekolah di bawah standar. Diubah dong cara pandangnya!
Mereka adalah sekolah-sekolah yang luar biasa. Menerima semua anak negeri ini yang ingin belajar tanpa “mengaudisinya”, dengan alasan pengelompokan kemampuan siswa. Mereka memenuhi hak anak-anak untuk belajar tanpa pandang bulu. Cerdas-kurang cerdas, kaya-kurang kaya, semuanya tak masuk hitungan, semua berhak belajar, semua berhak diterima. Pola pikir seperti ini yang harusnya dimiliki oleh sekolah-sekolah tadi.
Sekolah-sekolah ini tidak hanya menjadi sekolah yang sebenar-benarnya bagi anak didik, tapi juga bagi orangtua murid. Bahwa pendidikan bukanlah hanya perkara nilai di atas kertas rapor. Pendidikan bukanlah yang menyamaratakan kemampuan anak-anak didik, tapi memunculkan dan menumbuhkan setiap potensi yang dimiliki anak. Bukankah kita semua sudah mafhum bahwa setiap anak memiliki kemampuan berbeda-beda?
Burung harus menjadi burung, mangga harus menjadi mangga, bebek harus menjadi bebek, apel harus menjadi apel. Singa harus menjadi singa, jeruk harus menjadi jeruk, ayam harus menjadi ayam. Pohon kelapa ya segitu itu, janganlah dibandingkan dengan pohon kopi. Bayam ya begitu itu, janganlah diharapkan menjadi pisang. Padi ya begitu itu, berbeda dengan tebu. Harus menjadi diri sendiri, bukan menjadi yang lain dan sama dengan yang lain.
Salam lestari!