Kang Suwardi, Pendidikan di Trenggalek Seharusnya Bagaimana?

Melewati kantor Kecamatan Gandusari pagi kemarin (Senin, 2/5), saya dikejutkan oleh keberadaan beberapa personil polisi dan satpol pp yang memberi isyarat kepada pengendara, termasuk saya, untuk menepi atau belok gang kecil yang melingkari kantor. Karena penasaran, saya pun memilih menepi dan berhenti.

Rupanya di halaman kantor kecamatan ada kegiatan upacara bendera yang tampak diikuti oleh ratusan pegawai. Saya segera sadar kenapa banyak pengendara diberhentikan atau dialih-jalurkan. Ternyata sedang berlangsung proses pengibaran bendera merah putih dalam rangka memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas).

Untung saya pernah ikut pramuka, sebagai pengurus dewan galang lagi (ehmmm…). Coba kalau tidak, tak bakal paham kenapa diberhentikan. Dengan tetap berada di atas motor, saya menundukkan kepala. Menunduk sekhidmat mungkin untuk menghormati Merah Putih yang dikibarkan. Semestinya saya turun dari motor dan ikut menghormat. Tapi rasanya tak enak, jika harus berdiri tegap dengan sikap hormat bendera di antara lalu lalang. Percayalah, darah yang mengalir dalam tubuh saya ini merah dan tulang yang menopangnya adalah putih,. Sewarna dan semakna dengan bendera kebangsaan.

Memperingati Hardiknas dengan upacara bendera sebagaimana kita saksikan kemarin, tak lebih dari sekadar agenda simbolik yang akan selesai begitu upacara usai. Lebih dari itu, Hardiknas mestinya dijadikan sebagai momen refleksi sebagai upaya mewujudkan tujuan pendidikan nasional: mencerdaskan kehidupan bangsa, mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan, berbudi pekerti luhur, dan seterusnya. Sebuah retorika bagus yang tampak terus akan diulang-ulang tiap tahun.

Siapa yang tidak tahu bahwa tanggal 2 Mei merupakan tanggal kelahiran Ki Hajar Dewantara, tokoh pejuang pendidikan Indonesia yang giat menanamkan semangat anti-kolonial dan jiwa nasionalisme kepada rakyat. Pendiri sekolah Taman Siswa yang berkarakter nasionalis dan menjunjung tinggi budaya lokal dengan semboyan: “Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani.” Semboyan ini dikenal oleh masyarakat luas bahkan digunakan sebagai simbol pendidikan nasional. Tapi siapa yang tahu bahwa Raden Mas Suwardi Suryaningrat, nama asli beliau, adalah seorang santri, yang kerap ngaji bandongan dan murid dari seorang Kyai Sulaiman Zuhri?

Biarlah sejarah kesantrian Denmas Suwardi selama ini disembunyikan. Toh, akhir-akhir ini sudah banyak pihak yang menuliskan fakta tersebut. Nanti dikira berusaha mengglorifikasi pondok pesantren dalam sejarah Indonesia. Meski faktanya memang demikian.

Yang jelas melalui tulisan ini, saya bukan ingin melakukan justifikasi terhadap pendidikan nasional ataupun pendidikan di Trenggalek. Saya hanya ingin mengadu, bukan kepada Raden Ajeng Kartini, istri ketiga Bupati Rembang, melainkan kepada Denmas Suwardi, tentang pendidikan di Trenggalek.

***

Jadi begini, Denmas, jika dilihat dari data (Evaluasi Pelaksanaan RKPD Kab. Trenggalek Triwulan II Tahun 2015), pendidikan di Trenggalek terus mengalami peningkatan dibanding dengan 5 tahun lalu. Anak-anak Trenggalek sudah bersemangat untuk sekolah. Orangtua pun makin sadar akan pentingnya pendidikan bagi anak-anaknya. Setidaknya, hal tersebut tecermin dari angka putus sekolah yang semakin menurun, disertai dengan meningkatnya angka partisipasi sekolah. Indikator angka putus sekolah yang pada tahun 2010 mencapai 0,15 untuk SD; SMP 0,72; dan SMA 0,96, pada tahun 2014 menurun menjadi hanya 0,01 untuk SD; SMP 0,27; dan SMA 0,28.

Untuk angka partisipasi murni, dari 97,77 untuk SD; SMP 80,62; dan SMA 48,59 pada tahun 2010, pada tahun 2014 meningkat menjadi 93,76 untuk SD; SMP 81,86; dan SMA 58,93.

Indeks pendidikan Trenggalek juga selalu di atas rata-rata Jawa Timur, meski dari tahun ke tahun kualitasnya makin menurun sehingga mendekati angka rata-rata. Pada tahun 2010, indeks pendidikan Trenggalek sebesar 77,98 dibandingkan dengan 74,98 rata-rata Jatim, yang berarti selisih 3 poin. Dan pada tahun 2014, indeks pendidikan Trenggalek sebesar 78,47, selisih hanya 1,41 poin disbanding dengan 77,06 rata-rata Jatim.

Begitulah Denmas, pendidikan di Trenggalek tiap tahun selalu mengalami peningkatan. Namun laju peningkatannya kalah dengan rata-rata Jatim. Jika terus begitu, Denmas, dalam beberapa tahun ke depan, indeks pendidikan Trenggalek akan sama, bahkan di bawah rata-rata Jatim, bukan? Terus kita harus bagaimana?

Satu lagi Denmas, mumpung ini musim tahun ajaran baru. Saya lihat banyak orangtua sibuk mencarikan sekolah baru buat anak-anaknya. Saya  lihat pula sekolah yang mereka inginkan untuk anak-anak begitu-begitu saja. Banyak yang tahu lah selain saya, sekolah mana saja yang saya maksud. Sekolah-sekolah tersebut dianggap sekolah bonafid dan favorit. Wajar sih, jika dilihat gedung-gedung sekolah yang dimaksud memang megah-bertingkat.

Belum lagi tembok pagar yang kokoh menjulang (kadang terpikir, “Ini sekolah atau penjara?”). Meskipun kualitas lembaga pendidikan tak hanya terukur dari megah atau  tidaknya gedung; bertingkat atau tidaknya bangunan ruang kelas, namun indikator paling mudah ya soal itu: bangunan fisik. Dan, nyatanya masyarakat atau orangtua siswa selama ini juga beranggapan demikian.

Yang membuat saya garuk-garuk kepala alias tak tahu harus bagaimana, ketika melihat obsesi para orangtua tersebut (bangunan fisik) adalah kualitas lembaga pendidikan di Trenggalek secara keseluruhan. Tak terpikir jika ada orangtua ingin menyekolahkan anaknya ke lembaga pendidikan yang kualitasnya asal-asalan. Artinya, jika sekolah obsesi atau setidaknya pilihan orangtua untuk anaknya begitu-begitu saja (yang megah bangunannya)–karena hanya itulah yang dianggap berkualitas. Lantas bagaimana kualitas lembaga pendidikan yang tak megah bangunannya?

Seandainya dari 564 lembaga pendidikan SD (428 berstatus negeri dan 136 swasta) yang ada di Trenggalek hanya 100 lembaga yang berkualitas (bangunannya) baik, bagaimana dengan kualitas 464 lembaga lain (yang bangunannya kurang bagus)? Demikian halnya 101 SMP/MTs (55 negeri dan 46 swasta), 32 SMA (14 negeri dan 18 swasta), dan 31 SMK (5 negeri dan 26 swasta) di Trenggalek (dari kemdikbud.go.id), berapa lembaga dari tiap jenjang yang dianggap berkualitas, bahkan favorit?

Saya teringat ketika melakukan penelitian tentang pelayanan publik bidang pendidikan di Trenggalek 3 tahun lalu. Kecuali di daerah pelosok dan masih terpencil, tak ada sekolah dasar yang tak terjangkau secara mudah dengan akses yang mudah pula. Namun demikian, banyak dari orangtua yang bukannya menyekolahkan anaknya di lembaga terdekat, melainkan justru di lembaga yang letaknya jauh dari rumah. Apalagi alasannya kalau bukan soal kualitas (bangunan)?
Singkatnya, ketersediaan (availability) dan keterjangkauan (accessabilty) yang sudah baik tak didukung keberterimaan (acceptability) yang baik pula.

Oh ya, terakhir Denmas Suwardi. Terus terang saya heran, kenapa sementara sekolah yang dianggap favorit di Trenggalek tidak mempunyai perencanaan yang transparan dalam penerimaan siswa baru? Lazimnya, penerimaan siswa baru dilakukan dengan berberapa metode, seperti jalur PMDK, jalur minat/bakat, jalur prestasi, dan jalur reguler. Jalur reguler jelas tak boleh ditiadakan. Masalahnya, sementara sekolah favorit tersebut tak menyediakan jadwal yang pasti. Jalur PMDK misalnya, tak dipublikasikan akan dilakukan berapa tahap dan dengan berapa kuota. Apa karena……?

Sudahlah, Kang Suwardi—Kang, panggilan akrab-hormat di kalangan santri—saya bukan siapa-siapa. Mumet sendiri jika terus memikirkan persoalan pendidikan di Trenggalek ini.

Artikel Baru

Artikel Terkait