Di zaman yang nyaris tak menyisakan waktu senggang ini, sadar atau tidak, yakinlah kita (anak muda) masih butuh buku dan langgam membaca. Ketika waktu luang kerap tersia dan melulu terserap demi menu yang disediakan gadget dan obrolan di grup-grup medsos yang kurang penting dan tanpa ujung-pangkal lagi tidak produktif, betapa baru terasa kita butuh sesuatu yang baik, sekadar untuk memperlambat waktu. Aktivitas yang meski tak berkala tapi bermutu. Sesuatu itu adalah waktu luang untuk ”membaca”.
Ketika kita sering teperdaya oleh persoalan remeh yang baru kita sadari tak berharga. Dan sebegitu banyak keinginan rewel yang sungguhnya tak penting, namun masih terus saja kita ladeni. Dan kita baru sadar telah kehilangan sekian kesempatan dan waktu. Kita sebetulnya perlu ruang jeda dan waktu senggang. Ruang dan waktu yang setidaknya dapat kita gunakan untuk menghayati hidup, yang salah satunya melalui buku-buku. Bisa buku sastra atau buku jenis lain.
Buku-buku sastra yang terjual di toko buku, kata Octavio Paz pada suatu kesempatan, bukanlah burung-burung terbang, melainkan buku-buku yang dalam perjalanan. Barangkali benar, dewasa ini orang-orang membaca lebih banyak dan cepat dari zaman-zaman sebelumnya. Tetapi apakah mereka membaca lebih baik? Transformasi bahasa—dari sisi pragmatisnya—yang hanya permukaan, sering sekadar menyisakan pendangkalan. Tak pernah meninggalkan apa-apa kecuali residu polah bahasa yang membebani, terlalu nyinyir dan berputar-putar (rentan mengulang-ulang pikiran).
Dalam ranah menulis, kian membludak sekaligus minimnya kemampuan (teknik) menulis yang baik hingga pada persoalan-persoalan elementer tentang bahasa, sedikitnya, membikin narasi-narasi yang kita produksi minim tuah: tak lagi membuat pembaca (pengonsumsi) merinding atau menginspirasi saat dibaca. Barangkali benar apa yang pernah diresahkan Paz dulu, pembaca puisi selalu sedikit walau banyak. Dan ungkapan itu saya ganti serta analogikan ke persoalan membaca buku: pembaca buku selalu sedikit walau banyak. Tentu di sini, yang dimaksud adalah mereka yang membaca sebagai laku menghayati dan memahami obyek secara lain dan mendalam. Bukan sekadar membaca dangkal, massal, latah atau sekadar urusan membaca (gerakan literasi) untuk membranding kota misalnya.
Lagi pula masyarakat kita sepertinya masih lemah integritas dalam menjunjung dunia kreatif. Budaya meniru (maksudnya adalah budaya mengambil secara instan) bukankah masih selalu diberi ruang lebih luas ketimbang budaya pengembangan kreativitas. Budaya kumpulan lebih digemari dari budaya (peningkatan) kapabelitas individu. Kadang pribadi yang berkendak maju rentan dikebiri, entah oleh keluarga, masyarakat, lingkungan atau mulanya oleh diri sendiri. Kebenaran direlatifkan, kemajuan yang bertolak dari pribadi-pribadi di-sruduk berbagai ketidakpastian yang menggamangkan. Padahal momentum kemajuan itu sebenarnya banyak terletak pada pribadi-pribadi yang baik. Pada individu-individu yang bertalenta dan cukup diperhatikan lagi disuapi wawasan dan pengertian bahwa mereka berarti; mereka berguna lagi bermakna.
Afrizal Malna dalam ”Pinsil-pinsil Menulis yang Berjatuhan” dengan penuh pengertian pernah menggoret sajak begini: Aku berlari dari rumah ke sekolah. Pinsil berjatuhan dari dalam tasku… ia heran orang tidak hanya bisa membaca, tetapi juga menulis./ Ia heran tubuhnya mulai berubah setelah berkenalan dengan gergaji, tang, palu, paku dan obeng. Ia mulai merangkai/ sebuah dunia di antara pensil dan gergaji. Paku yang ditanamkan/ ke dalam kayu dan kayu terkait dengan kayu yang lain. Saling/ berjanji untuk membuat lemari buku kecil… Sungguh sajak ini amat korelatif jika ditarik ke dalam pemaknaan tentang pentingnya bakat dan kemampuan (individu) untuk jangan dimatikan, dengan alasan apapun. Pembawaan alam dan talenta, harus disemaikan dengan berbagai cara yang baik. Lebih penting lagi adalah soal bagaimana metode dan teknik masing-masing kita untuk mengembangkannya. Seorang pribadi yang baik adalah orang yang mengerti tentang dirinya sendiri: kelebihan dan kelemahan yang ia punya. Dan mereka yang lebih baik adalah mereka yang memperbaiki kelemahannya itu. Sebab, pribadi-pribadi kreatif yang tak berhenti di tengah jalan, yakinlah akan menemukan muaranya yang baik.
Tan Malaka dalam buku brosur tentang pendidikan, Serikat Islam Semarang dan Onderwijs, pada poin pertama tujuan pengajarannya menekankan akan betapa pentingnya pendidikan keterampilan bagi anak-anak pribumi, yang kala itu bertujuan agar generasi bangsa bisa mandiri. Dengan terlebih dahulu mampu bekerja sesuai anleeg alias minat dan bakatnya, hingga mampu menghidupi diri mereka sendiri dengan kemampuan yang mereka punya tersebut. Meski tujuan awalnya adalah hidup mandiri tanpa bergantung pada orang, namun gagasan ini berorientasi ke depan untuk membebaskan diri (individu) dari ketergantungan terhadap bangsa bangsa kolonial: saat itu Belanda.
Saya kira poin ini masih tetap relevan hingga sekarang. Bahwa pendidikan keterampilan itu penting. Seorang anak harus mengembangkan bakatnya untuk masa depan kehidupannya yang lebih cerah. Sebagaimana kata Tan, ”Kalau cukup modal segera akan kita ajarkan bertukang pada anak yang besar-besar. Anak-anak Jawa yang cukup anleeg dalam bertukang dan ukir-mengukir itu akan bisa membikin bangku, meja kursi, dan lain-lain. Maka hasil pekerjaan itu akan dijual oleh murid sendiri.”
Saya di sini sebenarnya menekankan akan pentingnya memaksimalkan kemampuan daya individu. Dengan memakai psikologi humanistik Maslow misalnya, ia pernah berpendapat bahwa manusia harus diteliti sebagai organisme integral dan secara khusus memusatkan pada individu yang sehat dengan aspek-aspek positif perilakunya: di antaranya kebahagiaan, kedamaian, kegembiraan dan ekstase jiwa. Di situ, Maslow mempunyai perhatian yang dalam pada pertumbuhan pribadi yang disebutnya ”aktualisasi diri” (dalam Capra, 1997: hlm. 523).
Bagi Maslow, pada manusia ada tahap tinggi yang dinamainya pengalaman puncak. Tahapan itu adalah momen penting dalam perjalanan aktualisasi diri. Secara sederhana psikologi humanistik dan psikologi-psikologi eksistensial lain memaknai diri personal sebagai jalan aktualisasi. Dengan mula-mula mengerahkan potensi-potensi individu dengan pemantik kesadaran mengada dalam kosmik; mengada dalam dirinya. Dan akhirnya mengada secara komprehensif untuk memaknai hakikat tentang diri secara baik, lebih baik dan sepenuh-penuhnya.
Dan, pendidikan yang baik, saya kira adalah membantu anak-didik menemukan dirinya sendiri. Dan di titik inilah, saya setuju dengan Einstein, ”Prestasi berharga dapat muncul dari masyarakat manusia hanya manakala masyarakat itu cukup longgar untuk memungkinkan berkembangnya kemampuan-kemampuan pribadi secara bebas.” Begitu.