Sesaat setelah Setya Novanto memenangi perebutan kursi ketua umum Partai Golkar dalam Munaslub beberapa hari lalu, saya menjadi berpikiran bahwa konstelasi politik Kabupaten Trenggalek adalah miniatur politik nasional.
Kemenangan Setnov (panggilan Setya Novanto) secara resmi mengawali merapatnya Golkar ke pemerintahan Pak Jokowi (KIH), setelah sebelumnya PPP, PAN, dan PKS mendahului. Praktis, KMP yang sedari awal mentahbiskan diri sebagai opisisi hanya menyisakan Gerindra. PDIP, NASDEM, PKB, kemudian PPP, PAN, PKS, dan GOLKAR berada di dalam, sedang Gerindra di luar sendirian sebagai oposisi. Jangan tanya Demokrat. Anggap saja partai ini menjadi “penyeimbang” seperti yang dikatakan mereka.
Bangunan politik Trenggalek kekinian memiliki atmosfer yang mirip dengan politik nasional, bahkan kemiripan tersebut dapat dirunut sejak proses pergantian rezimnya. Pak Jokowi dan Mas Emil yang sama-sama mempunyai popularitas yang tinggi saat kampanye kemarin, wakil mereka berdua juga sama-sama berlatar belakang pengusaha, selain Pilpres dan Pilkada Trenggalek yang sama-sama diikuti oleh hanya dua calon. Makanya, tegas, yang menang menjadi penyokong pemerintahan, yang kalah menjadi oposisi. Disini, Mas Emil dan Pak Jokowi kokoh karena disokong oleh hampir seluruh parpol, sehingga sama-sama menguasai Parlemen.
Superioritas pemerintah dibandingkan dengan pihak oposisi mempunyai dua konsekuensi yang berlawanan. Di satu sisi, stabilitas politik—yang diperlukan untuk “memudahkan” pelaksanaan pembangunan dan mendatangkan investor asing—lebih mudah dijaga. Namun di sisi lain, check and balance sulit terwujud: kontrol yang kuat terhadap pemerintah sulit terwujud.
Dalam sistem demokrasi sebagaimana dianut negara kita, peran oposisi penting adanya—untuk tidak mengatakan istimewa. Bukan demokrasi namanya jika tanpa oposisi. Tanpa adanya oposisi, ia totaliter dan bisa-bisa menjadi gaya fasis. Demokrasi juga bukan theokrasi yang kebenarannya absolut. Dalam demokrasi, kebenaran terletak pada konstitusi, aturan dasar yang disepakati bersama. Bukan titah Sang Kaisar sebagai perwujudan Tuhan. Itulah sebabnya, oposisi dalam demokrasi adalah keharusan. “Power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely“.
Keberadaan oposisi, selain menjadi syarat mutlak tegaknya prinsip demokrasi, juga penting untuk mewujudkan berbagai kebijakan yang benar-benar memihak rakyat yang nota bene pemilik kedaulatan. Namun, model oposisi bagaimana yang akan diperankan? Apakah oposisi ideologis yang ingin mengganti ideologi negara macam HTI, ataukah ISIS yang mengangkat senjata? Ataukah oposisi yang waton sulaya: salah-benar pokoknya menentang dan mengritik pemerintah? Ataukah oposisi jadi-jadian, yang tak lebih dari lipstik demokrasi belaka? Atau, oposisi yang konstruktif-demokratis: senantiasa kritis demi tercapainya tujuan pembangunan yang sudah disepakati bersama (sebagaimana telah diamanatkan konstitusi)?
Yang harus dipahami, oposisi adalah peran bukan persona. Oposisi adalah verba (kata kerja), bukan noun (kata benda)—sebagaimana kita dapati dalam KBBI, serta secara kaprah dipahami sekarang. Oposisi adalah peran suatu lembaga atau individu, dengan hasil kajian atau penelitiannya bertujuan untuk mengubah, membatasi, atau menghalangi tingkah laku (kebijakan-kebijakan) tertentu pemerintah. Karena definisnya adalah peran, oposisi tidaklah permanen, sehingga dimungkinkan adanya pertukaran peran antarpihak dalam waktu tertentu. Misalnya, PDIP yang selama 10 tahun pemerintahan SBY berada di luar pemerintah, dengan terus melakukan kritik terhadap kebijakan-kebijakan SBY, mulai saat ini, ia yang memegang pemerintahan.
Namun demikian, peran opisisi bukan melulu milik parpol. Peran tersebut juga bisa dimainkan oleh masyarakat sipil, seperti kelompok (CSO atau NGO/LSM), gerakan, media(?), hingga masyarakat secara individual. Terlebih, jika keberadaan parpol oposisi tak berfungsi sebagaimana mestinya—seperti pada masa Orde Baru, masyarakat sipil mampu menjalankan peran oposisi secara efektif.
Peran opisisi oleh parpol, sebagai contoh teranyar, pernah dilakukan PDIP dan PKS pada tahun 2013 kemarin dengan membuat APBN-P tandingan (PDIP bahkan menerbitkannya dalam bentuk buku saku dan disebarkan ke publik). Sementara tumbangnya Orde Baru merupakan bukti efektifnya oposisi—yang mengarah ke “revolusi”—oleh masyarakat sipil, dengan kalangan mahasiswa sebagai penggeraknya.
Aksi-aksi oposisi yang merupa dalam berbagai bentuk, seperti kritik kebijakan publik hingga demonstrasi sah-sah saja dilakukan, asal bersifat konstruktif. Tentu bukan dengan model asal-asalan (waton sulaya) serta, tentu harus tetap menjaga nilai-nilai demokrasi dan aturan dasar yang sudah disepakati (konstitusi).
Walhasil, meskipun dalam sejarahnya, oposisi sangat rentan di-“bully”dengan intimidasi bahkan hingga aksi represi—kecuali pasca era reformasi sekarang ini—peran tersebut, sekali lagi, penting adanya. Maka, semoga Gerindra, di tingkat nasional, tetap konsisten untuk tidak mélék kue kekuasaan, dengan terus melakukan kontrol terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah. Dan semoga, di Trenggalek, PKB dan PKS (serta NASDEM), aktif memainkan peran oposisi, sebagai kontrol pemerintahan Mas Emil-Arifin. Tak ketinggalan, dan yang terpenting, semoga kalangan intelektual-mahasiswa kritis (karena konon suara mahasiswa adalah suara Tuhan), tak terkecuali di Trenggalek, terjaga kesadarannya akan peran mereka sebagai agent of control terhadap penguasa.
Jangan sungkan-sungkan untuk beroposisi. Mari, turut membangun Trenggalek (dan Indonesia secara umum) bersama-sama, sesuai peran kita masing-masing.