Saya cukup kaget dengan pemberitaan Radar Trenggalek terkait pernyataan Ketua Bawaslu Trenggalek, mengenai saran penundaan penetapan DPS oleh KPU Trenggalek. Mengingat, bahwa secara tahapan, proses penetapan DPS telah dilakukan pada 9 September 2020, dalam sebuah rapat pleno yang juga dihadiri oleh Ketua Bawaslu beserta jajarannya. Logika macam apa yang digunakan Bawaslu untuk menganalisa sebuah proses penetapan (yang sah secara aturan), lalu tiba-tiba direkomendasikan untuk ditunda, sesudah penetapan itu dilaksanakan. Jika yang dimaksud adalah pembatalan, untuk melakukan rapat pleno ulang, secara akal sehat saya masih bisa menerima.
Link radar Trenggalek: bawaslu temukan identitas orang yang sudah meninggal masuk dalam dphp
Bagaimanapun, logika macam ini kemungkinan besar adalah logika yang umumnya sampai di pikiran jajaran pejabat level kabupaten. Sedangkan saya, sebagai penyelenggara tingkat kecamatan, tidak mampu untuk menganalisa logika tersebut secara gamblang. Lha mana mungkin pejabat tingkat kecamatan menganalisa pikiran pejabat tingkat kabupaten.
Melalui pemberitaan Radar Trenggalek tersebut, Ketua Bawaslu membangun narasi yang cukup mengejutkan. Ia mengatakan bahwa berdasarkan laporan, ada tiga PPK yang mengabaikan saran tersebut. Mereka adalah PPK Kecamatan Kampak, Pule, dan Panggul. Sedangkan kronologis di tingkat kecamatan, Panwaslucam telah mengirim surat saran perbaikan kepada PPK, dan surat tersebut sudah dibalas oleh PPK kepada panwas masing-masing desa.
Jadi, jika ditinjau secara aturan, tidak ada pengabaian saran, namun sudah sesuai prosedur. Jika panwas merasa jawaban tertulis itu tidak sesuai dengan kehendak Bawaslu, tentu saja dipersilakan untuk kembali mengirimkan surat. Surat telah berbalas surat dan sudah terjadi komunikasi yang baik di tingkat kecamatan. Bahkan melalui komunikasi lisan, PPK dan Paswaslucam menyekapakati bahwa data-data hasil saran perbaikan itu akan ditindaklanjuti pada proses DPSHP berlangsung.
Saya heran, di tingkat kabupaten perkara ini malah dipersoalkan kembali. Apa bisa ini disebut sebagai bentuk komunikasi terputus antara Panwaslucam dan Baswaslu? Umumnya, masalah yang ada di kecamatan jika mampu diselesaikan di tingkat kecamatan berarti dianggap selesai. Tingkat kabupaten dinilai bisa cawe-cawe jika persoalan di tingkat kecamatan tidak selesai. Nah ini memang menjadi wilayah kabupaten.
Penundaan tahapan memiliki implikasi yang serius, karena menyangkut tahapan lain yang diatur PKPU. Maka jika Bawaslu memberikan rekomendasi atas temuannya, seharusnya disertai anlisis dan kajian mendalam secara komprehensif. Rekomendasi tersebut harus masih dalam tahapan sesuai hasil temuan pada tiap level penyelenggara. Jika Bawaslu hanya melakukan kompilasi dari temuan di level bawah, yang sebenarnya telah diselesaikan, kemudian diungkit kembali di tingkat kabupaten, maka perlu dipertanyakan profesionalisme kinerja Bawaslu.
Apalagi Ketua Bawaslu lebih menampilkan performence sebagai selibriti di media masa daripada menuntaskan kinerja pengawasan kongkret tahapan Pilkada. Sehingga Bawaslu lebih tepat disebut sebagai badan pengawas pengawas penyelenggara pemilu dari pada pengawas pemilu. Karena realitanya, jika pelanggaran itu dilakukan oleh peserta pemilu maupun parpol dan tim kampanye, Bawaslu terkesan abai. Lebih-lebih lagi jika pelanggaran itu bersifat pidana, pasti Bawaslu tidak sekencang terhadap pelanggaran yang dilakukan penyelenggara.
Di PKPU sudah jelas, Bawaslu tidak punya kewenangan menunda tahapan. Seharusnya jika ada pelanggaran, diperiksa, kemudian menetapkan apakah pelanggaran ini masuk kategori pelanggaran administratif, pelanggaran pidana atau pelanggaran etik. Atas bukti-bukti dan saksi dugaan pelanggaran tersebut Bawaslu melakukan pemanggilan pemeriksaan dan persidangan terhadap dugaan pelanggaran lalu memutuskan pelanggaran. Jika pelanggaran pidana diteruskan ke Polisi, jika pelanggaran etik diterusksn ke DKPP, dan jika pelanggaran administratif Bawaslu merekomendasikan ke KPU untuk ditindaklanjuti.
Namun menyoal sikap Bawaslu Trenggalek C.Q ketua tersebut, sebenarnya bukan hal baru. Tanggal 21 Juli 2020 lalu, melalui media yang sama, Bawaslu menyatakan bahwa ada empat orang PPDP belum bertugas melakukan pencocokan dan penelitian (coklit) data pemilih. Diketahui empat petugas PPDP tersebut berasal dari Kecamatan Kampak, Trenggalek, Watulimo, dan Pule. Ketua Bawaslu mengakui bahwa informasi tersebut ia dapatkan dari panwaslu kecamatan. Padahal dari hasil komunikasi antara panwaslucam dan PPK terkait kinerja PPDP (termasuk kecamatan Trenggalek yang menjadi wilayah kerja saya), mereka melaporkan bahwa PPDP telah bekerja saat tahapan masa pencocokan dan penelitian (coklit) berlangsung sejak hari pertama. Kenapa bisa berbeda penyikapan seperti ini?
Link Radar: empat orang ppdp belum bekerja
Dari dua hal yang telah telah dinyatakan oleh ketua Bawaslu tersebut, jika terus berlanjut akan menimbulkan konflik antara kelembagaan yang berada di tingkat bawah (Kecamatan). Di sisi lain, antara PPK dan Panwaslucam telah melakukan kerja-kerja sesuai dengan tusi (tugas dan fungsi) masing-masing serta melakukan koordinasi. Namun di sisi lain, ditingkat kabupaten, hasil komunikasi mereka “tidak dianggap” sebagai proses melakukan pekerjaan dan malah membuat opsi baru, yang jika dirunut lagi, masalahnya ada ditingkat kecamatan.
Dari Daftar Pemilih ke Daftar Pemilih Hasil Perbaikan (DPHP) Menuju Daftar Pemilih Sementara (DPS)
Berdasarkan Pasal 8 PKPU Nomor 19 Tahun 2019 tentang perubahan atas PKPU Nomor 2 Tahun 2017 tentang Pemutakhiran Data dan Penyusunan Daftar Pemilih dalam Pemilihan, setelah menerima DP4, KPU melakukan analisis dan sinkronisasi DPT Pemilu atau Pemilihan terakhir dengan DP4 hasil analisis. Dengan cara menambahkan pemilih pemula, pemilih baru dan memutakhirkan elemen data pemilih.
Adapun alur sinkronisasi dimulai dari penyerahan DP4 tanggal 23 Januari 2020, Sinkronisasi I tanggal 14 Februari 2020, Sinkronisasi II tanggal 19 Februari 2020, Sinkronisasi III tanggal 3 Maret 2020 dan Sinkronisasi IV tanggal 13 Maret 2020. Kemudian, hasil analisis dan sinkronisasi DP4 dengan DPT Pemilu Terakhir disampaikan pada tanggal 23 Maret 2020, sesuai dengan PKPU Nomor 5 Tahun 2020 tentang perubahan ketiga atas PKPU Nomor 15 Tahun 2019 tentang Tahapan, Program, dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota Tahun 2020.
Data DP4 ini diberikan oleh Kemendagri kepada dua lembaga penyelenggara, yakni KPU dan Bawaslu. Lalu dari data ini masing-masing lembaga seharusnya mengolah sesuai dengan kebutuhan. KPU mengolah DP4 dengan mensinkronisasikan data tersebut dengan DPT (Daftar Pemilih Tetap) pemilihan/pemilu terakhir. Dari hasil sinkornisasi ini kemudian menjadi Daftar Pemilih yang dalam istilah KPU disebut dengan A-KWK.
Lantas bagaimana dengan Bawaslu? Sesuai dengan penjelasan Panwaslucam, data ini tidak sampai kepada mereka untuk dipakai sebagai alat pengawasan. Kemudian yang terjadi, berita dari mulut ke mulut yang bisa dipertanggungjawabkan bertutur tentang bagaimana Panwaslucam atas perintah Bawaslu, meminta data A-KWK kepada KPU dan jajaran di bawahnya secara masif. Namun karena KPU Trenggalek mempedomani Keputusan KPU RI NOMOR 335/HK.03.1-Kpt/06/KPU/VII/2020, mengimbau kepada PPK untuk tidak memberikan data tersebut kepada panwas.
Tentu ini menjadi rentetan masalah pada tahapan selanjutnya, bagaimana ini terjadi? Bawaslu sebagai lembaga pengawasan penyelenggan pemilihan bupati dan wakil bupati Trenggalek seharusnya lebih cerdas 2 kali lipat dari pada KPU. Kalau yang mengawasi tidak lebih tahu dari yang diawasi, maka ini menjadi masalah serius. Harusnya mereka sudah mengolah DP4 yang diberikan oleh Kemendagri guna dijadikan sebagai alat pembanding atas kinerja-kinerja PPK, PPS dan PPDP, di tingkat masing-masing wilayah. Jika mereka tidak memiliki data pembanding, maka yang terjadi adalah kemungkinan salah dalam memberikan saran. Misalnya begini, ada banyak Panwaslucam memberikan saran perbaikan kepada PPK yang kemudian setelah diperiksa saran tersebut datanya telah masuk di DPS hasil pemutakhiran. Jadi masukan tersebut sifatnya hanya sebagai kegiatan formal atau bisa disebut “tinimbang tidak ada masukan”.
Pleno DPS bukan tahapan terakhir pada proses pemutakhiran data. Sebelum menjadi DPT, ia akan tetap dianggap sebagai data bergerak. Ia hanya dianggap data 100% pada tahapan pemutakhiran data pemilih melalui coklit tapi tidak dianggap final pada proses pemutakhiran data pada pemilihan bupati dan wakil bupati Trenggalek. Jadi, masih ada waktu untuk melakukan perbaikan, tanpa memandang rendah atas temuan-temuan PPS, PPK, KPU atau temua PKD, Panwaslucam dan Bawaslu, melainkan ada hal penting yang menjadi prioritas penyelenggara pemilihan ini.
Saya beri contoh begini, pada saat coklit, PPDP menemui warga dan melakukan proses coklit sebagaimana mestinya. Kemudian seminggu setelah itu, warga tersebut meninggal dunia, kabar meninggalnya ini bisa saja terdengar oleh PPPD, jika ia tahu maka PPDP akan melakukan perbaikan selama masih dalam tahapan coklit. Tapi, jika tidak, maka warga tersebut tidak akan di TMS-kan (tidak memenuhi syarat). Sedangkan tahapan yang lain harus segera diselesaikan, seperti pleno data di tingkat desa, kecamatan dan kabupaten, berikut dengan tahapan lain, misalnya menyiapkan data tersebut menjadi beberapa bagian yang dibutuhkan sesuai aturan.
Lalu bagaimana penyikapan ini dilakukan? Dibutuhkan kebijakan menetapkan yang paling prioritas terlebih dahulu dari beberapa persoalan ini. Data-data yang baru saja diketahui, entah ada yang TMS atau baru, bisa disikapi dalam tahapan pemutakhiran selanjutnya, yakni tahapan Pemutakhiran Data Sementara Hasil Pemutakhiran/Perbaikan (DPSHP). Jika masih sempat dibetulkan pada saat penyusunan DPHP, maka dibetulkan, jika tidak sempat, bisa di-listing sebagai daftar warga yang akan dieksekusi di tahapan selanjutnya. Maka bagi yang mengetahui tahapan-tahapan ini dengan benar, akan bisa memakai kebijaksanaannya untuk lebih memprioritaskan yang paling prioritas. Namun bagi yang memiliki cacat logika (logical Fallacy), hal ini akan menjadi sulit dimengerti.
Nah, dari narasi ini kemudian saya bertanya, bagaimana jalan logika yang dipakai oleh ketua Bawaslu Trenggalek dalam menyikapi temuan-temuan yang sebenarnya tidak subtansial amat dalam hal pengawasan. Apakah memang ia terlalu cerdas sehingga kecerdasannya tidak bisa saya ikuti, atau memang ia doyan sekali memanggil wartawan kemudian membuat pernyataan-pernyataaan yang mengejutkan seperti ini, kemudian dalam waktu bersamaan membuat jajaran di bawahnya menjadi seakan tidak berguna karena kebijakan di tingkat bawah selalu dikonfrontasi dengan kebijakan yang berlawanan.
Ah mungkin saya cuma kurang pintar saja.