Cerita tentang Dongke

Seperti malam-malam biasanya, di rumah saya—yang sekaligus juga sebagai tempat kerja—banyak kawan-kawan duduk bercengkrama di halaman rumah. Bersosialisasi sambil modus ngopi sudah menjadi kebiasaan. Sejak hari mulai beranjak gelap, bersanding kopi dan tembakau-cengkih yang telah terkombinasi menjadi rokok, kartu remi, dan gadget di tangan masing-masing. Mereka akan betah saja berada di halaman itu hingga tengah malam dan bahkan mungkin hingga menjelang pagi.

Ocehan-ocehan konyol yang kadang lucu dan tidak, sudah biasa terlontar dari mulut. Seperti yang sering saya tulis, ngopi kadang memang menghadirkan “keajaiban”. Yang semula adalah manusia-manusia tak peduli dengan apa yang terjadi di negeri ini, bisa saja tersulap jadi orator, pengamat, peneliti, ilmuwan dan ahli di berbagai bidang, meski kelasnya warung kopi. Tentu sebab secangkir kopi dan cangkruk, yang kebetulan diselingi obrolan dengan berbagai orang dengan segala macam pengalamannya.

Malam itu saya sedang membaca sebuah artikel di nggalek.co, lalu terhenyak ketika mendengar salah seorang dari mereka mengatai temannya dengan sebutan dongke. Istilah (dan gelar) tersebut diberikan untuk mereka yang dianggap sok tahu suatu hal. Seperti pada malam itu, ketika seorang dari mereka mengatakan bahwa musim tanam padi tahun ini akan mundur dari jadwal juga hasil pertanian di Watulimo tidak akan bagus, karena jagat yang sedang tak baik. Langsung saja dia diserang oleh kawan-kawannya dengan sebutan dongke karena dianggap sok tahu perkara tanam-menanam. Sok tahu perkara baik dan tak baiknya jagat. Kawan-kawannya bilang tak usah ndongke. Iku urusane wong tuwa.

Alun-alun Nggalek ae kowe kuwi durung weruh, kok arep ndongke!?

Dongke adalah sebutan untuk pelakunya; sedang ndongke adalah kata kerjanya. Di Watulimo, daerah kami, menurut orang-orang sepuh, yang diberi gelar dongke adalah orang yang memiliki kemampuan memprediksi apa yang akan terjadi di kemudian hari. Meski bagi saya gelar tersebut sekarang, tak seperti yang orang-orang sepuh itu katakan. Bagi saya, orang yang diberi gelar dongke adalah mereka yang memiliki kemampuan mengenal sesuatu lebih baik dari orang kebanyakan. Dongke biasanya adalah mereka yang menguasai pengetahuan dalam hal hajatan, bangunan, dan perjalanan. Dongke ini biasanya akan ditanya kapan hari yang tepat untuk melaksanakan hajatan, mendirikan bangunan, ke mana arah bangunan menghadap, kapan hari yang tepat untuk bepergian atau harus menunda perjalanan, dan lain sebagainya.

Dulu, orang sering berkunjung kerumah dongke, yang saya pahami, sekadar meminta bantuan untuk melaksanakan hajatnya. Tapi sekarang ada nilai yang lebih dari sekadar berkunjung. Ada kearifan lokal yang terkandung di dalamnya. Berkunjung adalah menunjukkan bahwa mereka menghormati orang yang lebih tua. Bersilaturahmi, yang saya yakin ketika Nabi belum men-sunnah-kan hal tersebut, moyang kita dahulu sudah saling-kunjung untuk menjalin persaudaraan yang bernuansa kekeluargaan.

Menghormati orang yang lebih tua dan bersilaturahmi adalah sebagian saja makna yang tersimpan di balik kata dongke. Sayangnya, generasi kini hanya melihat ndongke tak lebih dari sekadar kegiatan lawas yang sudah usang dan ketinggalan jaman. Dan seorang dongke dianggap seorang yang kolot, ketinggalan jaman, tak modern lagi tak berpendidikan.

Sekarang ini banyak sekali dongke dalam wujud modern. Tak susah untuk mencari dongke modern. Wujudnya kecil, setiap hari dari kita selalu bersamanya ke manapun dan di manapun, sebagian dari kita sudah menganggapnya seperti bagian dari tubuh keseharian kita. Ya, ia adalah gadget atau handphone. Tak perlu repot, tinggal unduh aplikasinya, beres! BMKG adalah salah satu nama dongke modern itu.

Selain kata dongke, ada hal yang sebenarnya membuat saya tertarik untuk menulisnya, yaitu tentang apa yang diucapkan oleh seorang kawan yang baru saja mendapat gelar dongke malam itu. Yup, tentang jagat, tentang alam. Mungkin dia memang bukan ahli dalam ilmu pertanian atau ilmu hitung-hitungan Jawa soal tanam-menanam, tapi bagi saya dia adalah seorang yang mempunyai pengamatan terhadap apa yang terjadi pada alam saat ini. Di saat remaja seumurannya banyak yang memikirkan gadis-gadis cantik di televisi, cabe-cabean. Tentang bagaimana harus memodifikasi motor, tentang klub sepakbola andalan, juga tentang bagaimana menyelesaikan PR-nya, tapi ia memiliki pemikiran lain.

Seperti beberapa judul artikel di nggalek.co yang saya baca; sebagian berkaitan dengan sampah, tentang pertanian, tentang berbagai kondisi alam yang sekarang ini, semua menunjukkan keprihatinan terhadap alam. Begitu pula dengan tema yang diusung oleh portal ini bahwa bulan April terdapat hari bumi. Mungkin Mas Trigus bisa menjelaskan panjang lebar dan lebih gamblang apa yang dimaksud dengan hari bumi. Sudah beberapa kali ia meminta saya mengeluarkan uneg-uneg tentang alam, mumpung bertepatan dengan hari bumi di bulan ini.

Pernah kawan ngopi yang berasal dari luar kota yang kini tinggal di Watulimo mengatakan bahwa Watulimo tak seperti dulu lagi. Ia berkisah saat pertama kali datang ke Watulimo, bagaimana hawa dinginnya sangat terasa: kesegaran udaranya, kejernihan dan kondisi air sungai di belakang rumah, serangga-serangga pencipta musik di sore hari. Kini ia merasakan semuanya sangat jauh berkurang. Ia sadar bahwa  ada perubahan alam yang disebabkan oleh manusia didukung perkembangan jaman. Pembangunan fisik yang terus menerus tanpa memedulikan pembangunan dari dalam (spirit). Ia sering mengatakan bahwa manusia harus sadar posisi, di alam ini.

“Kita ini adalah tamu, alam adalah tuan rumah.”

Sebagai tamu, sudah seharusnya kita sebagai manusia harus punya unggah-ungguh terhadap tuan rumah: alam. Bagaimana sopan santun, etika, dan adab dalam bertamu pastinya kita sudah memahami itu. Apalagi pendidikan di negara ini sudah sangat memberi “penghargaan” kepada generasinya dengan sudah menghapuskan pelajaran Pendidikan Moral Pancasila. Pemerintah dengan kebijakannya beranggapan bahwa pelajaran tersebut sudah usang dan tak relevan bagi generasi muda saat ini. Mereka menggantinya dengan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan. Pemerintah berharap manusia-manusia Indonesia nanti menjadi bangsa yang ahli dalam ilmu kenegaraan. Soal moral, “biar kami cari sendiri”.

Di Trenggalek, mungkin kata pembangunan menjadi primadona bagi pemerintahan baru dan mungkin sebagian masyarakat. Tapi mari kita berharap bahwa pembangunan selain bermanfaat untuk masyarakat, dipastikan juga tak merusak alam. Itu hal yang paling utama, meskipun kita sangat mengerti bahwa hal tersebut sangat sulit.

Hingga menjelang tidur, saya masih memikirkan kata-kata kawan saya. Jika saja sebagian besar remaja dan pemuda memiliki pandangan dan perhatian terhadap alam seperti dia, mungkin alam  Trenggalek, khususnya Watulimo, sedikit banyak bisa lebih terjaga.

Salam Lestari!

Artikel Baru

Artikel Terkait