Di suatu malam saya terjebak di stasiun televisi Kompas. Ayah saya, yang saya kira biasa-biasa saja menyikapi isu politik, ternyata cukup tertarik dengan pemilihan gubernur Jawa Timur. Akhirnya saya juga ikut-ikutan nimbrung.
Menarik juga ternyata melihat drama politik di provinsi saya ini. Merasa program-programnya dirasa kurang bergaung, di debat tersebut, kedua calon kelihatan sekali sangat memanfaatkan kesempatan itu untuk menjual diri. Sebenarnya, gaung program yang kurang terasa juga tidak bisa disalahkan sepenuhnya kepada mereka. Mengingat media kita yang terlalu Jakarta–sentris.
Tapi saya tidak berminat membahas tentang program mereka. Saya lebih berminat mengulik tentang generasi saya, generasi millenials, yang berulangkali disuarakan itu. Konteksnya ada di Kabupaten Trenggalek.
Jadi, seberapa “millenials”-kah Kabupaten Trenggalek? Untuk menjawabnya, mari kita awali dengan melakukan riset kecil-kecilan tentang demografi Trenggalek melalui situs BPS. Sebagai catatan, yang saya tulis di sini harap dipakai sebagai pengetahuan saja. Jangan dipakai sebagai referensi ilmiah. Termasuk rujukan skripsi.
Pertama-tama tentang rentang umur, karena banyak definisi tentang rentang umur millenials. Tetapi rata-rata para ahli mengamini bahwa rentang umur millenial berada di usia 20 hingga 30-an. Maka, kalau kita hitung dari situs BPS Trenggalek ini, sayang sekali, “hanya” 138 ribuan orang, atau 20,2% masyarakat Trenggalek yang berada di rentang umur millenials.
Artinya apa? Bahwa segala kelebihan anak-anak millenials yang katanya melek internet, suka update dan tantangan itu, kira-kira hanya dimiliki oleh seperlima warga Trenggalek. Ah, sayang sekali kan? Sepertinya sasaran program millenials job center salah satu calon nomero uno itu akan sulit diserap oleh warga Trenggalek.
Tunggu dulu. Itu hitung-hitungan secara teori. Kadangkala realitasnya berbeda di lapangan. Sekarang mari kita lihat sebentar jejak digital anak muda Trenggalek di sosial media yang katanya membuat depresi, tetapi tetap saja sering yang dibuka: instagram.
Ketika tulisan ini dibuat, ada 45 ribuan foto dengan hashtag exploretrenggalek. Tentu saja hashtag itu tidak murni foto-foto tentang Trenggalek. Pasti ada banyak foto-foto iklan yang muncul.
Jumlah tadi mungkin terlihat sedikit. Tetapi saya pikir tidak bisa kita asumsikan kalau hanya 45 ribuan netizen aktif asal Trenggalek di sosial media. Jadi mari kita beralih untuk melihat akun yang paling banyak follower-nya di Trenggalek, yakni akun ilovetrenggalek.
Terlepas dari rahasia umum tentang keberpihakan politis akun ini, tak bisa dipungkiri, akun ini paling banyak follower-nya di jagat instagram. Angka 94 ribu terhitung besar. Kalau kita lihat statistiknya pun tak perlu diragukan lagi. Follower terus bertambah tiap harinya. Dari sini kita bisa tahu kalau eksistensi millenials lebih besar dari angka 45 ribuan.
Yang terakhir, mari kita serius. Sekarang kita lihat seberapa “efektif-kah” eksistensi millenials di Kabupaten Trenggalek ini dalam mempengaruhi indeks pembangunan manusianya. Karena bagaimanapun juga, millenials lah penggerak masa depan suatu daerah. Bahkan negara.
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) diukur dengan menggabungkan tiga komponen: usia harapan hidup, indeks pengetahuan dan indeks pengeluaran. Dengan melihat ketiga indikator tersebut, bisa kita lihat bahwa dua dari tiga faktor sangat bisa disetir oleh anak mudanya. Namun sayang sekali, Trenggalek harus puas menduduki klasemen nomor 25 di Jawa Timur dengan skor 68. Turun satu peringkat dari tahun lalu.
Jika kita lihat lebih detail pun, ada data yang menarik. Bahwa angka harapan hidup Trenggalek (73,03 tahun) itu tergolong tinggi. Bahkan lebih tinggi dari jawara IPM, Kota Malang. Artinya koefisien umur dalam penghitungan IPM untuk Kabupaten Trenggalek masih menang. Sayang sekali, untuk dua faktor sisa yang semestinya dapat disetir oleh kaum millenials, tergolong rendah. Yang ujung-ujungnya menurunkan peringkat IPM Trenggalek.
Dari sini, saya tidak berani menyimpulkan apa-apa. Biar-lah sedulur sekalian yang punya kesimpulan sendiri-sendiri. Saya cuma menghimpun data-data yang bersebaran di internet untuk pengetahuan pribadi saya. Tapi yang jelas, saya bisa menutup tulisan ini dengan sebuah rasa syukur bahwa dengan hidup di Trenggalek, kemungkinan kita akan memiliki harapan hidup lebih lama.