Desa dan Alam yang Bersahabat

Begitu mendengar tentang desa, maka akan banyak pikiran yang muncul, dari daerah terpencil hingga orang-orangnya yang ndesit. Sebagai orang desa, saya cukup memahami ini. Di sisi lain saya juga bangga menjadi orang desa. Bagi saya desa adalah surga: surga ketenangan dan keindahan alamnya yang nyata ada. Hanya di desa-lah kehidupan yang adem ayem dan keindahan alam yang luar biasa nyata ini disuguhkan. Meskipun saya hidup di kota dengan segala kemewahan, namun suasana desa tetap mampu melongsorkan sebongkah kerinduan.

Desa Terbis yang berada di Kecamatan Panggul, Trenggalek, adalah desa saya lahir. Desa ini berada di ujung kulon kota Trenggalek, tepatnya berbatasan dengan Kabupaten Pacitan. Sebuah desa yang sederhana dan menenangkan, setenang suasana yang ada di desa itu. Apalagi kampung halaman saya berada di desa yang lumayan pelosok, suasananya tenang, karena jauh dari hiruk-pikuk dan riuh-rendah manusia. Untuk menjangkau tetangga dekat pun harus melewati perbukitan dan persawahan. Jika malam tiba, di perkotaan biasanya lampu-lampu menyala menyemarakkan suasana, baik lampu rumah atau kendaraan. Di desa saya, khususnya di kampung halaman, sinar lampu tetangga tidak bisa kita saksikan karena terhalang bukit dan pepohonan. Terlebih suara jangkrik dan angin malam yang berhembus menghiasi suasana malam. Semua itu tidak jadi soal. Bahkan menjadi suasana yang menggugah kerinduan untuk pulang jika saya lama tidak di rumah.

Banyak hal menarik dari kehidupan desa yang begitu jarang ditemukan di antara kemewahan kehidupan di kota-kota. Salah satu yang paling menonjol adalah tentang romantika bertetangga. Bagaimana bersikap dan bersosialisasi ini, saya sungguh banyak belajar dari orang-orang di desa, terutama kedua orangtua dan kakek nenek saya sendiri. Seakan orang satu desa hafal semua, karena memang mereka pernah mengenal satu sama lain dan hubungan itu tetap terjaga dengan sangat baik hingga turun temurun. Maka, sebagai orang desa, saya harus banyak belajar tentang bersikap dan cara bersosialisasi ini. Dengan begitu, ketika tinggal di kota sekali pun, romantika itu tetap ada.

Tentang pesona alamnya? Tidak perlu dipertanyakan. Bukankah desa identik dengan alam yang sangat bersahabat? Di desa, saya bisa berteman dengan kehijauan yang asri dan udara yang masih segar sepanjang hari. Dan hamparan sawah yang begitu hijau nan subur berpadu dengan aliran sungai yang membelah di antara persawahan. Undakan terasering beserta gemericik air yang mengalir melalui pipa-pipa bambu sederhana menambah eloknya pemandangan persawahan di desa. Air jernih alami juga masih melimpah, yang langsung keluar dari sumber-sumber mata air pegunungan.

Sungguh, saya kagum dengan suasana di desa. Selain memang menjadi kampung halaman, saya juga merasa bersyukur betapa banyak orang kota yang ingin pergi ke desa, hanya untuk menikmati udara yang menyegarkan ini. Dan tidak dipungkiri pula bahwa udara segar dan hamparan kehijauan pemandangan pedesaan menjadi daya tarik tersendiri bagi orang kota. Sementara untuk menyaksikan pemandangan itu, saya tidak perlu repot. Selalu disuguhkan pemandangan alam gratis dan tak perlu keluar biaya sepeser pun untuk menikmati indahnya alam pedesaan, hamparan sawah yang luas, sungai dengan aliran air yang jernih, udara segar, pegunungan dan masih banyak lagi. Beruntung sekali, bukan?

Alam yang masih bersahabat memang menjadi nikmat karunia Tuhan yang luar biasa bagi orang desa. Selain karena panoramannya, kebergantungan kebanyakan orang desa dengan alam masih sangat kuat. Kebanyakan orang desa adalah sebagai petani, termasuk orangtua saya. Saya menyaksikan rasa syukur orang desa, salah satunya bisa dilihat dari semangat mereka untuk selalu melakukan kegiatan rutin sebagai petani di sawah dan kebun. Terkadang hanya berbekal serantang nasi dengan sayur dan lauk seadanya. Mereka begitu menikmatinya. Mereka tetap bisa menjalani kehidupan dengan normal dan santai. Keikhlasan pengabdian terhadap alam membuat mereka bekerja tanpa keluh kesah. Karena itulah, alam memberikan sebongkah keberkahan baginya.

Tidakkah ini juga nikmat yang tak terkira? Saya kira hanya orang desa yang mendapatkannya. Kebanyakan orang desa memanfaatkan alam untuk mendapatkan kebutuhan pokoknya. Bahkan, banyak juga bahan makanannya gratis tanpa perlu biaya untuk mendapatkan. Kebanyakan orang desa menanam sendiri padi, cabai, singkong, sayur, dan berbagai bahan pokok makanan lainnya, entah di sawah, di ladang, ataupun pekarangan rumah. Jadi, ketika membutuhkan tinggal ambil tanpa membeli.

Hujan deras rupannya mengguyur desa saya. Bapak menelpon, ia menceritakan kalau di rumah habis diguyur hujan deras. Kalau misalnya ingin pulang, saya diminta menyiapkan jas hujan. Ia juga bercerita kalau beberapa bagian tanggul sawah kami longsor karena hujan yang terlalu deras dan padi yang masih baru tumbuh bijinya banyak yang roboh. Sayuran sawi yang tumbuh subur seketika rusak karena terendam air. Namun, di sisi lain hujan membawa sebongkah keuntungan. Salah satunya, jika sawi yang ditanam rusak, ada tumbuhan singkong yang semakin tumbuh lebat, yang bisa dimanfaatkan menjadi menu masakan yang begitu lezat. Dengan hanya merebusnya lalu dicocol bersama sambal bawang dan cabe merah segar, sudah bisa menjadi lauk yang nikmat. Bagi kehidupan di desa, alam memang begitu bersahabat.

Artikel Baru

Artikel Terkait