Salah satu aspek yang perlu dikaji di suatu daerah adalah tentang kebudayaan yang hidup dan berkembang di sana. Sebab, kebudayaan adalah hasil dari rangkaian aktivitas. Dalam lingkup tertentu daerah memang kerap dihidupi oleh tradisi dan keseharian yang berbeda, yang menyebabkan kesenian dan adat istiadat suatu daerah juga berbeda.
Trenggalek merupakan salah satu daerah yang memiliki banyak corak kebudayaan, baik yang ditunjukkan melalui upacara adat, kesenian yang kerap ditampilkan dari rumah ke rumah maupun melalui pagelaran seni daerah. Di Trenggalek, salah satu kesenian yang kerap menjadi pertunjukan atau tontonan masyarakat, di antaranya adalah seni tari jaranan. Tari jaranan ini oleh masyarakat akrab disebut “jaranan”. Jaranan merupakan kesenian yang dewasa ini masih sanggup menarik animo masyarakat untuk menonton, bahkan sebagai salah satu tontonan dalam hajatan keluarga.
Jaranan merupakan salah satu seni tari lokal yang hidup dan berkembang di daerah Jawa Timur dan Jawa Tengah. Di daerah Kediri, Blitar, Tulungagung, Trenggalek, Ponorogo dan Pacitan misalnya, kesenian ini konon lahir atau diolah oleh masyarakat karena terpengaruh oleh kisah-kisah yang berlatar kerajaan masa lampau.
Seni tari jaranan sebagaimana namanya, merupakan seni tari yang memakai asesori tari berupa material menyerupai jaran atau kuda. Asesori tari yang dimaksud adalah anyaman bambu yang disusun menyerupai kuda, yang kemudian dipakai oleh para penari untuk peragaan tunggangan. Secara umum, seni tari ini dimainkan oleh beberapa kelompok penari, baik itu penari laki-laki maupun perempuan. Tidak jelas kemudian mengenai pakem tarian yang dipakai oleh penari merupakan tarian sakral yang berkaitan dengan kisah kerajaan atau hasil olah kreativitas seni dari pelaku kesenian tari sendiri. Sejauh yang penulis amati, ada satu dua tari dari beberapa paguyuban jaranan yang kerap berbeda.
Dalam suatu pertunjukan, tari jaranan sering disertai iring-iringan dan seperangkat gamelan Jawa. Dalam sebuah pagelaran, seni tari jaranan membutuhkan sesaji yang harus disediakan dari dalang jaranan atau yang biasa disebut “gambuh”. Sesaji itu antara lain berupa dupa kemenyan yang dicampuri minyak wangi kemudian dibakar; lalu buceng, yang terdiri atas ayam panggang jantan dan beberapa jajan pasar, satu buah kelapa dan satu sisir pisang raja; kembang boreh, dari kembang kantil dan kembang kenanga; kendi (istilah untuk wadah air dari tanah liat); kinangan, berupa satu unit gambir, suruh, tembakau, dan kapur sirih yang dilumat menjadi satu. Selanjutnya, sang gambuh akan membaca mantera sambil duduk bersila di depan sesaji. Kegiatan ini dilakukan sebagai sebuah ritual untuk berkomunikasi dengan roh leluhur yang diminta agar menyusup ke dalam raga para penari jaranan.
Melalui proses tersebut, kemudian beberapa pemain atau penari mengalami keserupan masal atau dalam istilah Trenggalek disebut ndadi. Beberapa penari yang mengalami kesurupan kemudian menari di bawah alam sadar; memakan kembang kenanga atau meminum air dari kendi. Pemandangan itu merupakan rangkaian dari pertunjukan jaranan yang hanya dapat dihentikan oleh sang gambuh sebagai tetua yang mampu mengusir roh leluhur dari para penari yang kesurupan. Tidak jarang ini melahirkan persepsi sempit, yang memaknai sebagai kesenian berunsur magis dan klenik. Padahal jika ditinjau dari segi yang lebih luas, kesenian merupakan bagian dari entitas kebudayaan ciptaan dan kreasi manusia.
Pelestarian kebudayaan daerah ini merupakan pekerjaan rumah kita bersama. Upaya nyata yang melibatkan banyak elemen masyarakat, baik itu pelaku seni, penikmat seni, masyarakat luas maupun peran pemerintah. Karena itu, penting adanya apresiasi nyata dari berbagai pihak untuk meninggikan semangat pelaku kesenian daerah. Khususnya, pemerintah sebagai pemangku kebijakan dengan segala wewenangnya yang diharapkan akan menyediakan ruang serta membuat regulasi kebijakan yang tepat. Di antaranya, dengan memperhatikan sanggar-sanggar tari dan sekolah yang memberi ekstrakurikuler tari jaranan. Lewat upaya bersama ini, diharapakan nanti mampu meningkatkan minat generasi muda terhadap kesenian daerah, mengingat laju kebudayaan asing yang juga masuk secara masif.
Di Desa Ngembel, Watulimo, desa asal saya, para pemuda masih banyak yang giat mempelajari kesenian tari jaranan sebagai sebuah kesenian daerah. Lebih jauh, digelarnya pertunjukan tari di rumah-rumah penduduk yang memiliki hajat, merupakan upaya masyarakat untuk memberikan ruang aktualisasi bagi para pemuda pelaku seni dan paguyuban tari. Setidaknya, di Desa Ngembel masih ada dua paguyuban tari jaranan besar. Selain itu, mereka juga masih melakukan latihan rutin di lingkungan balai desa serta upaya nyata mereka melalui siswa-siswi sekolah dasar yang menjadikan seni tari jaranan sebagai salah satu jenis ekstrakurikuler, selain bermain gamelan.
Sudah seharusnya kita sebagai generasi daerah merawat kebudayaan sebagai upaya menjadi masyarakat yang sadar akan sejarah dan menghormati kebudayaan tradisional. Sebab, kesenian daerah adalah warisan leluhur yang menandakan sejarah-sosial masyarakat setempat dari sejak masa lampau.