Di tengah-tengah pandemi global Corona Virus Disease (COVID-19) yang menyita perhatian dunia, bangsa Indonesia sempat disuguhi perdebatan elit tentang model penanggulangan wabah, yaitu tindakan preventif dan kuratif. Tindakan preventif mengacu pada pembiasaan menjaga kebersihan, kesehatan, meningkatkan imunitas, memakai masker, tidak mudik, tetap di rumah, menghindari kerumunan, dan cuci tangan. Upaya preventif dalam pencegahan wabah covid-19 juga termasuk kebijakan social distancing, physical distancing, Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), karantina wilayah atau lebih dikenal dengan istilah lockdown.
Sedang tindakan kuratif lebih pada serangkaian tindakan penanganan melalui pengobatan secara medik. Meskipun ini masih menyisakan persoalan serius yang banyak memakan korban tenaga medis karena keterbatasan APD (Alat Pelindung Diri), di samping tidak adanya keseimbangan jumlah tenaga medis, rumah sakit dan pasien.
Paramater kualitas pemimpin dan kepemimpinannya terletak pada kemampuannya dalam menyelesaikan masalah secara tepat, cepat dan akuntabel. Karut-marut dan perdebatan tentang model pendekatan penanggulangan Covid-19 telah menghabiskan energi besar yang tidak diperlukan, menunjukkan bahwa problematika besarnya terletak pada kapasitas managerial dan leadership seorang pemimpin.
Bias penyelesaian persoalan sering tidak menyentuh langsung kepada substansi masalah. Bahkan cenderung menjadi perseteruan politis, seperti yang terjadi pada kebijakan pemerintah pusat dalam menyikapi upaya penanganan yang dilakukan Pemerintah propinsi DKI Jakarta. Sementara angka prevalensi pandemi covid-19 cenderung mengalami eskalasi semakin meningkat yang tidak diketahui kapan akan berakhir.
Pada mulanya ketika belum terkonfirmasi adanya gejala penyebaran hingga ke Indonesia, pemerintah terlihat sangat abai dan terkesan meremehkan. Tetapi pada perkembangan selanjutnya, panik, gagap dan tidak siap membendung penyebaran arus wabah Corona yang begitu cepat dan masif. Rasa percaya diri para elit di negeri ini menjadikan terkikis. Mereka menganggap enteng bahaya dan acaman virus yang berasal dari Kota Wuhan, Provinsi Hubei, China, tersebut.
Hal ini tecermin pada silang sengkarutnya statemen para penentu kebijakan negara. Mereka cenderung menjadikan Covid-19 sebagai bahan bercanda, berbicara sendiri-sendiri tanpa ada koordinasi, saling kontradiktif dan tidak jarang menimbulkan polemik di masyarakat. Polemik antara mudik vs pulang kampung, relaksasi PSBB, dan pernyataak kontroversi lainnya, adalah sederet contoh yang memperkeruh suasana. Akibatnya, rakyat mengalami kecemasan kolektif dan dihantui ketidakpastian.
Terlepas dari kegaduhan dan perdebatan elit dalam menghadapi Covid-19, tulisan ini akan memberikan perspektif model pendekatan penanggulangan yang seimbang dari berbagai dimensi. Pernulis melihat bahwa model pendekatan yang selama ini telah dilakukan pemerintah hanya bersifat reaktif. Reaksi itu pun sangat terlambat, baru dilakukan agak serius ketika aksi pademi wabah corona menimpa salah satu anggota kabinet menteri perhubungan Budi Karya Sumadi (BKS).
Padahal berjangkitnya suatu virus di suatu wilayah berlangsung melewati mata rantai panjang yang bisa diantisipasi sebelumnya. Sehingga tanpa ada penyebaran wabah pun sebenarnya setiap anak bangsa wajib melakukan antisipasi terhadap terjangkitnya suatu penyakit. Pola hidup sehat dengan menjaga kesehatan jasmani, rohani, dan lingkungan, perlu menjadi gaya hidup masyarakat luas agar tidak terjadi ketidakseimbangan yang bisa mengancam salah satu sisi kehidupan.
Keseimbangan Jasmani
Sejak diketahui menjangkitnya Covid-19 di Indonesia, publik tersentak dan dipaksa untuk membiasakan hidup sehat. Seakan Corona menjadi media pembelajaran paling kongkrit untuk mengubah cara hidup masyarakat. Memakai masker dan hand sanitizer biasanya hanya digunakan ketika keluar masuk ruang inap di rumah sakit. Demikian juga mencuci tangan hanya kita gunakan pada waktu sebelum dan sesudah makan. Saat ini, arti pentingnya masker, hand sanitizer, dan cuci tangan telah menjadi bagian dari kesadaran masyarakat. Hampir semua orang di penjuru negeri ini belomba-lomba untuk meningkatkan daya tahan tubuhnya dengan makan makanan bergizi seimbang, berjemur, olah raga dan mengubah pola hidup agar kesehatannya lebih baik.
Meningkatnya kesadaran masyarakat untuk menjaga ketahanan jasmani harus terus menerus dilakukan agar menjadi habitual action (kebiasaan), meskipun pandemi Covid-19 telah usai. Karena manusia diciptakan Alloh memang terdiri dari dua unsur, yaitu jasmani dan ruhani. Merawat kesehatan jasmani merupakan salah satu bentuk bersyukur atas anugerah Alloh yang diberikan kepada kita.
Tetapi tidak cukup berhenti pada perawatan dimensi jasmaniah saja. Dominasi pola pikir materialisme pada kehidupan modern yang hanya melihat manusia dari perspektif jasmaniah telah mengaburkan dimensi ruhaniah yang bersifat metafisik. Padahal sesungguhnya antara jasmani dan ruhani adalah dua substansi berbeda dan saling membutuhkan yang tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan umat manusia.
Artinya bahwa kedua hal tersebut merupakan kebutuhan integral dalam diri manusia, di mana ruhani tidak mungkin terwujud tanpa adanya jasmani. Begitu juga sebaliknya, jasmani tidak akan bisa bekerja tanpa adanya ruhani. Menurut Ibnu Sina atau di Barat lebih dikenal Aviccena (980-1037) seorang filsuf, ilmuan dan ahli kedokteran kelahiran Bukhara Uzbekistan, ruh adalah kesempurnaan awal bagi jasad sehingga manusia mampu bergerak. Sedangkan jasad adalah kesempurnaan kedua sebagai alat yang memiliki fungsi menjalankan aktivitas. Dalam konteks inilah kehidupan jasmanai dan ruhani perlu dijaga keseimbangannya agar tidak terjadi disequilibrium di antara keduanya.
Berangkat dari pendekatan pola pikir positivistik, bahwa penanggulangan suatu wabah penyakit harus diselesaikan dengan tindakan-tindakan medik yang terukur. Di mana aspek fisik-jasmaniah menjadi objek yang harus diatasi agar kesehatannya bisa segera pulih kembali. Hal ini berpijak pada suatu teori yang dicetuskan seorang Pujangga Romawi, Decimus Iunius Juvenalis, dalam karyanya bertajuk Satire X pada abad kedua Masehi, ia mengatakan dalam bahasa Latin: “Mens Sana in Corpore Sano (Di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat)”. Atau dalam bahasa Arab teori itu berbunyi: السليم الجسم في السليم العقل (akal yang sehat terdapat pada tubuh yang sehat).
Teori tersebut tidak sepenuhnya keliru, karena bergeraknya perkembangan peradaban manusia yang begitu cepat, menempatkan jarak pola komunikasi kehidupan di era kekinian berada pada posisi “Close to Zero”. Kondisi ini memaksa setiap orang berpacu dengan gerak cepat perubahan untuk meraih capaian hasil dari apa yang dikerjakannya. Sehingga tujuan itu hanya bisa dicapai apabila kita memiliki daya tahan tubuh yang sehat dan terbebas dari penyakit. Jika kondisi fisik kita sehat dan sangat mendukung, maka produktivitas pun akan semakin meningkat.
Menjaga kesehatan daya tahan fisik yang kuat sangat diperlukan untuk menghadapi pandemi Covid-19. Kesehatan fisik yang prima secara otomatis memiliki self defense mechanisme yang selalu siap siaga dalam menangkal segala bentuk serangan penyakit dari luar.
Keseimbangan Psikologis
Kesehatan jasmani sangatlah penting. Sehat secara pikiran juga sama-sama penting, tetapi keduanya belum cukup. Manusia adalah makhluk Alloh yang paling sempurna dan termulia di jagat raya ini. Ia memiliki berbagai potensi dalam dirinya yang harus diasah ketajamannya untuk menyelesaikan problematika yang mengancam kesehatan dirinya. Doniel Goleman, seorang Doktor Psikologi dari Harvard University dalam bukunya Emotional Intelligence, menemukan satu jenis potensi diri manusia di samping IQ/Intelligence Quotion (Kecerdasan Intelektual), yaitu EQ/Emotional Quotion (Kecerdasan Emosional). Menurutnya, IQ baru dapat bekerja secara efektif apabila seseorang mampu memfungsikan secara optimal EQ-nya. Sebaliknya potensi IQ akan tidak bisa bekerja optimal, jika EQ mengalami gangguan.
Dalam kaitan ini, merebaknya pandemi Corona yang terus meningkat, dibarengi dengan infodemic dan feardemic menjadi teror yang menimbulkan efek kepanikan tersendiri di tengah-tengah masyarakat. Untuk menghadapi situasi dan kondisi demikian, Ibnu Sina menawarkan resep menjaga diri agar tetap sehat dan segera sembuh dari sakit sebagai berikut: pertama الداء نصف الوهم (Kepanikan adalah separuh penyakit); kedua, الدواء نصف والاطمئنان (Ketenangan adalah separuh obat); dan kertiga, الشفاء خطوات أول الصبر (Kesabaran adalah awal dari kesembuhan).
Kepanikan dalam menghadapi pademi Covid-19 dipicu adanya wabah infobesitas yang turut menginfeksi masyarakat. Gempuran informasi tentang Corona yang begitu masif tidak terkendali, sangat sulit dbedakan antara fakta dan opini. Kabar dan hasutan menjadikan kebenaran tidak menjadi rujukan. Belum lagi statemen para pejabat yang mengalami syndrom post truth era (era pasca kebenaran), di mana perasaan atau keyakinan pribadi lebih berpengaruh dalam pembentukan opini dibanding fakta objektif. Inilah suatu era matinya kepakaran yang menambah kepanikan di masyarakat. Semua elit pemerintah cenderung berbicara tentang penanggulangan virus Corona dalam perspektif masing-masing, meskipun saling kontradiktif satu dengan yang lainnya.
Reproduksi kepanikan melalui informasi pandemi Covid-19 yang begitu menakutkan telah mengancam tekanan psikologis masyarakat. Kondisi demikian menyebabkan imun tubuh akan semakin menurun dan pada gilirannya mengakibatkan tubuh rentan terkena virus corona. Dalam perspektif teori fisika kuantum ada hukum LOA (Law of Attraction), yaitu hukum tarik menarik. Menurut hukum LOA bahwa segala sesuatu akan melakukan tarik menarik dengan sesuatu lainnya yang memiliki satu sifat dengannya.
Menurut Dr. David R. Hawkins, seorang psikiater periset kesadaran, dalam penelitiannya tentang Map of Consciousness (Peta Kesadaran) yang kemudian dibukukan menjadi “Power VS Force” mengungkap bahwa manusia akan berada pada lower consciousness yang memiliki frekuensi getaran terendah ketika dirinya mengalami perasaan panik, takut, sedih, khawatir, marah dan putus asa, serta malu. Sedang menurut hasil research Andre Simoneton, seorang ilmuwan Perancis tinggal di Amerika tentang partikel terkecil atom hingga cosmos ditemukan bahwa virus memiliki frekuensi getaran paling rendah di bawah 5000 angstrom.
Berdasarkan hasil riset tersebut bahwa frekuensi getaran virus yang rendah akan mencari inang pada sesuatu yang memiliki kesamaan frekuensi getaran. Posisi frekuensi getaran rendah dimiliki manusia ketika dalam keadaan panik. Maka temuan ini mengkonfirmasi teori Ibnu Sina bahwa “kepanikan memberikan kontribusi separuh penyakit”. Seseorang yang dilanda kepanikan akan sangat mudah terjangkit Covid-19.
Bersambung…