Kabupaten Trenggalek selama kurun waktu 2017 – 2019 mendapatkan predikat WTP, singkatan dari Wajar Tanpa Pengecualian. Predikat ini didapatkan ketika lembaga negara bisa mempertanggungjawabkan penggunaan uang secara administratif. Artinya, semua pendapatan, belanja dan aset tercatat atau teradministrasikan dengan baik. Tentunya ini hal yang bisa dibanggakan karena bisa menunjukkan tingkat profesionalitas birokrasi dalam administrasi keuangan.
Tapi apakah ketika mendapatkan WTP secara otomatis lembaga tersebut tidak korupsi? Jawabannya, belum tentu. Apakah ketika sebuah lembaga mendapatkan predikat WTP, sebuah lembaga dinyatakan tidak boros? Jawabannya juga belum tentu. Lalu apakah ketika sudah WTP, sebuah lembaga dinyatakan berpihak kepada kesejahteraan masyarakat? Jawabannya lagi-lagi, belum tentu. Apakah ketika sudah WTP pelayanan sebuah lembaga negara sudah maksimal? Sekali lagi jawabannya belum tentu.
Ada dua jenis audit lain yang dilakukan oleh BPK, namun belum dilaksanakan secara regular, yaitu audit kinerja dan audit dengan tujuan tertentu. Saat ini audit kinerja yang dilakukan oleh BPK masih bersifat parsial, belum regular. Standar auditnya pun berbeda dengan audit keuangan. Jadi, opini WTP BPK yang selama ini diberikan kepada daerah bukan atas kinerja, tetapi atas pengadministrasian keuangan.
Lalu apa artinya predikat WTP jika ternyata sebuah lembaga belum tentu tidak korupsi, belum tentu berpihak pada masyarakat, belum tentu tidak boros juga belum tentu memberikan layanan yang prima kepada masyarakat?
Ketika sebuah lembaga mendapatkan predikat WTP kita bisa melihat bahwa lembaga tersebut sudah tertib secara administratif. Ketika sebuah lembaga tertib secara administrative, maka peluang untuk melakukan manipulasi jauh lebih rendah. Tetapi saya di sini ingin menegaskan bahwa WTP ini tidak ada kaitannya dengan keberpihakan terhadap masyarakat atau dalam hal pelayanan.
Jujur saya kaget ketika ada pernyataan dari salah seorang anggota DPRD Kabupaten Trenggalek yang menyatakan bahwa pihaknya akan dipertanyakan jika pada saat pembahasan LKPJ, DPRD menolak laporan Bupati karena BPK saja sudah memberikan predikat WTP. Pernyataan ini disampaikan pada acara Mangobar Kedua yang digelar nggalek.co di Galeri Djoeang. Dari pernyataan ini saya melihat ada yang kurang tepat dalam menafsirkan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK yang menghasilkan opini BPK dengan peran pengawasan yang dimiliki oleh DPRD.
LHP BPK dan fungsi monitoring DPRD adalah dua ruang yang berbeda. BPK melakukan pemeriksaan/evaluasi atas penggunaan keuangan pada lembaga negara berdasarkan administrasi. Sedang DPRD dan juga publik secara umum melakukan evaluasi atau monitoring atas hasil yang dicapai, dan basis evaluasinya adalah kinerja. Tentunya ini akan menggiring pada pertanyaan yang berbeda. Jika BPK akan bertanya bagaimana teknis APBD dibelanjakan dan dilaporkan, sedang DPRD dan masyarakat harusnya bertanya untuk apa dan siapa APBD dibelanjakan. Apa yang ingin dicapai dari belanja APBD tersebut, bagaimana belanja daerah berdampak terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat dan banyak pertanyaan lain yang tidak ada kaitannya dengan administrasi.
Saya ingin menegaskan ketika sebuah lembaga negara mendapatkan predikat WTP dari BPK, tidak lantas membuat kita beranggapan tidak perlu lagi mengawasi dan memberikan kritik terhadap eksekutif/pemerintah.
Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menegasikan prestasi atau kebanggaan kita atas predikat WTP yang didapat oleh Pemkab Trenggalek. Saya ingin mengingatkan, bahwa opini atas LHP BPK hanya ruang kecil dalam penyelenggaraan Negara, bukan ruang substansi seutuhnya dari tujuan keberadaan sebuah lembaga negara.
Saya akan mencoba memberikan ilustrasi bagaimana kita bisa membedakan “posisi” BPK dan rakyat, tentunya juga anggota DPRD sebagai wakil rakyat. Saya akan mengambil contoh program di sektor pertanian. Pengembangan pertanian menjadi salah satu misi dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Trenggalek. Menurut saya, ini cukup relevan untuk dijadikan contoh. Mari kita ambil contoh pembangunan demplot pertanian terpadu yang sekarang menjadi Agro Park. Anggaran untuk pembangunan Agro Park tersebut sangat besar menurut pemberitaan yang dirilis media news.detik.com, anggaran yang diusulkan sebesar 2,8 Milyar.
Jika diambil dari sudut pandang audit keuangan, maka saya akan mulai dengan bertanya berapa anggaran yang dialokasikan dan berapa anggaran yang dibelanjakan/direalisasikan? Lalu saya akan mulai dengan pertanyaan teknis seperti bagaimana mekanisme pengerjaannya, swakelola atau pihak ketiga? Lalu jika pihak ketiga bagaimana proses tendernya: lelang terbuka atau penunjukan langsung? Lalu saya akan melihat spesifikasi teknis yang direncanakan dengan yang dilaksanakan. Kemudian saya akan menghitung pengeluaran disandingkan dengan bukti-bukti pengeluaran. Lalu secara random saya akan menguji validasi bukti-bukti pengeluaran tersebut.
Jika semua bukti-bukti dan proses penggunaan anggaran sesuai dengan sistem administrasi Negara, maka saya akan mengeluarkan opini Wajar Tanpa Pengecualian (atau WTP). Jika ditemukan adanya ketidak-wajaran atas pelaporan namun dalam batas toleransi, maka opini yang diberikan adalah wajar dengan pengecualian disingkat WDP. Jika ditemukan banyak kejanggalan atas bukti dan tidak menunjukkan kondisi sebenarnya, maka opini yang diberikan adalah tidak wajar. Opini tidak wajar ini banyak yang digunakan oleh aparat penegak hukum untuk melakukan penyelidikan lanjutan karena patut diduga ada penyimpangan penggunaan anggaran.
Nah, sekarang dengan program yang sama yaitu pembangunan demplot pertanian terpadu, saya mengambil sudut pandang sebagai rakyat atau wakil rakyat. Saya akan mulai bertanya seberapa besar manfaat pembangunan demplot pertanian terpadu ini untuk petani? Jika dilihat dari pernyataan di media demplot ini merupakan bukti keberpihakan pemerintah terhadap petani, lalu seberapa besar dampaknya terhadap kesejahteraan petani? Apakah dengan adanya demplot ini terjadi peningkatan pengetahuan dan peningkatan keterampilan petani (berapa orang yang keterampilannya naik)? Apakah dengan adanya demplot ini mampu meningkatkan Nilai Tukar Petani (NTP)? Berapa besar? Apakah hasilnya sebanding dengan anggaran yang digunakan? Dan banyak lagi pertanyaan yang berorientasi pada hasil yang dicapai. Jika ternyata hasilnya tidak sesuai dengan anggaran yang digunakan, maka kita bisa mengatakan bahwa ini adalah pemborosan anggaran.
Dari ilustrasi di atas, saya ingin menunjukan bahwa opini WTP dari BPK atas laporan hasil pemeriksaan keuangan belum tentu menunjukkan sebuah lembaga tersebut efektif dan efisien dalam menggunakan anggaran. Jadi, sekali lagi, sekalipun pemerintah kabupaten mendapatkan predikat WTP, bukan berarti pemerintah sudah baik sepenuhnya. Masih ada banyak ruang yang harus dikritisi, terutama oleh para wakil rakyat.