Wakil Kita: Diminta Pokok Pikiran malah Kasih Nasihat

Beberapa hari lalu dumadakan Mastrigus ngabari saya bahwa ia berada di Dongko. ”Ini ada musrenbang, sampeyan nggak datang, Mas?” tanya Trigus. Saya sempat menangkap itu sebagai pertanyaan aneh. Soalnya, kalau menyangkut urusan yang hendak dibahas di Musrenbang Kecamatan Dongko itu, jelas-jelas saya bukan siapa-siapa.

Saya yakin musrenbang itu tidak bakalan menyinggung urusan puisi atau cerita pendek. Bahkan, bisa jadi istilah literasi pun tak bakal muncul di sepanjang musyawarah. Tapi, kemudian saya sadar bahwa saya adalah bagian dari awak nggalek.co yang selama ini dirundung dua persoalan besar. Pertama, persoalan napas yang nyenen-kemis dan selalu tersendat setiap hendak membayar perpanjangan sewa domain. Kedua, dan ini persoalan terbesarnya: tak setiap bulan banyak naskah masuk.

Nah, akhirnya saya meluncur ke Dongko, menempuh jarak 10 km di bawah cuaca mangsa sanga yang mirip-mirip tampang politikus pada umumnya: susah dipercaya. Kadang matahari terbit dengan riang-gembira, langit cerah, tetapi bisa saja dalam hitungan detik bagaikan panggung yang tiba-tiba layarnya ditutup dan lampu dipadamkan. Lalu turun hujan deras. Atau sebaliknya, kadang tiba-tiba matahari menyibak dan menyengatkan panasnya ke aspal dan rumput yang masih kuyup oleh hujan deras yang berhenti mendadak.

Acara sudah dimulai ketika saya datang. Saya melewatkan separuh atau mungkin dua per tiga pidato  Wabub yang PLT Bupati Trenggalek, Mas Ipin. Di sini saya agak menyesal. Sebab, bagi saya selalu menarik mengikuti pidato Mas Ipin. Jika pada umumnya pejabat berbicara secara normatif, formal, kaku, dan banyak memanfaatkan retorika untuk mengaburkan persoalan, Mas Ipin tidak demikian. Kesan yang selalu muncul dari pidato-pidatonya adalah watak progresif, visi yang tajam, dan sayap-sayap kalimat-kalimatnya justru memperjelas persoalan dan menyegarkan suasana. Kata-katanya selalu mengalir deras tetapi jelas, mantik, gamblang. Nah, tetapi, ini tampaknya berpotensi jadi masalah.

Sabar dulu, nggih? Ini semua hanya sebatas asumsi saya. Yang soal berpotensi jadi masalah itu tadi, lho! Selama ini kesan saya secara umum atas piadato para pejabat adalah, kebanyakan hanya lamis. Hanya formalitas. Kalau bersifat informatif, ia tidak akan pernah disampaikan secara utuh. Seolah ada semacam pikiran di baliknya, bahwa jangan sampai rakyat tahu semuanya.

Nah, maka untuk itulah perlu ada seruan mengenai transparansi. Bukan hanya yang berkaitan dengan persoalan-persoalan keuangan, tetapi juga untuk hal-hal lain. Sekarang, soal kegamblangan Mas Ipin yang saya bilang berpotensi menimbulkan masalah tadi, paragraf berikut ini akan memberikan ilustrasinya.

Begitu Mas Ipin turun dari podium, tampil-lah seorang anggota DPRD Trenggalek, yang disebut pembawa acara akan menyampaikan pokok-pokok pikiran, terkait musrenbang-cam itu tentunya. Saya langsung membayangkan akan ada sekian pokok pikiran terkait pembangunan di wilayah Kecamatan Dongko. Ternyata, dugaan saya meleset sakkayange.

Ternyata, yang disampaikan bukanlah pokok-pokok pikiran, melainkan pesan-pesan, misalnya, bahwa nanti jangan sampai program pembangunan di Kecamatan Dongko didominasi oleh gagasan-gagasan yang bersifat top-down. Melainkan, harus mengutamakan arus aspirasi dari bawah atau yang bersifat buttom-up. Beberapa menit dihabiskan untuk muter-muter pada dua istilah yang tampak keren tersebut. Lalu, ada beberapa paragraf lagi yang menurut saya juga masih lebih pas dimasukkan ke dalam kategori saran atau pitutur daripada pokok pikiran.

Kemudian tampil seseorang angkat bicara. Saya tidak tahu persis siapa namanya, apakah benar ia (juga) seorang anggota DPRD Trenggalek. Tetapi, menilik isi dan gaya bicaranya, ia mengesankan sedang bertindak sebagai wakil rakyat. Dipertanyakannya, mengapa pembangunan lapangan dan pasar yang sudah direncanakan dan bahkan sudah pula diputuskan besaran anggarannya tidak kunjung terealisasi. Mengapa pula anggaran yang besarannya sudah diputuskan sekian kemudian mungkret hanya jadi kurang dari sekian.

Lalu Mas Ipin menjawab, anggaplah pertanyaan dari wakil rakyat itu. Ada beberapa alasan yang dikemukakan Mas Ipin yang secara gamblang mengklarifikasi mengapa persoalan-persoalan seperti dikemukakan ”wakil rakyat” tadi itu terjadi. Salah satunya, tanah yang hendak dibangun sebagai lapangan itu ternyata masih dipersoalkan warga. Ada warga yang setuju lapangan kecamatan dibangun di situ, ada sebagian warga yang tidak setuju.

Lha, embuh, kuwi biyen model musrenbang-e piye, sehingga menghasilkan keputusan sampai tingkat penganggaran untuk program yang ternyata tidak disepakati warga di tingkat bawah? Pertanyaannya sekarang, siapa yang selayaknya lebih dahulu tahu persoalan-persoalan di akar rumput seperti itu? Bupati atau wakil rakyat yang men-dapil-inya?

Terkait pembangunan Pasar Dongko, PLT Bupati juga mengklarifikasi tudingan-tudingan terkait kelambatan dan besaran anggaran dengan pernyataan-pernyataan yang gamblang. Termasuk, memberikan solusi alternatif, mau menunggu anggaran dari Pusat yang tidak sekadar sak sen rong sen ibaratnya, atau kalau mau ditanggung Pemkab sendiri, mau tak mau, DPRD menandatangani dan mempercepat PAK-nya? Loh, sampai segitunya, lo! Audiens boleh menerima itu semua sekadar sebagai semacam talk-show yang gayeng. Tetapi, saya malahan membayangkan adanya masalah.

Masih segar dalam ingatan saya, dulu menjelang pilbub dan terutama setelahnya, ketika kemudian Gus Emil dan Gus Ipin terpilih menjadi Bupati dan Wakil Bupati Trenggalek, di kelompok-kelompok obrolan tingkat warung kopi hampir selalu muncul kekhawatiran, betapa nanti ketika para kepala dinas yang terbiasa dengan pemimpin (baca: bupati dan wakil bupati) berkapasitas standar, lalu harus berhadapan dengan pemimpin muda yang cakap, cerdas, dan progresif. Betapa akan gedandapan-nya mereka.

Kalau misalnya seorang kepala dinas dipanggil bupati dan dimarahi gara-gara ke-lemot-annya, misalnya, paling banter ia hanya akan nggerundel. Atau meledakkan emosinya sambil bergurau di hadapan sejawatnya, ”Jiangkrik, ntas disengeni cah cilik!” misalnya. Itu kalau kepala dinas. Lah, kalau anggota dewan?

Para kepala dinas itu adalah bawahan bupati. Sedangkan Dewan Perwakilan Rakyat (Kabupaten) bukan. Bahkan, embuh piye unine undang-undang-e, sekarang ini lebih terkesan para wakil rakyat itu lebih berlagak sebagai atasan bupati. Bupati itu abdi negara, pejabat pemerintah, pelayan rakyat. Sedangkan anggota dewan adalah wakil rakyat, wakil yang jauh lebih berkuasa dari yang mereka wakili.

Di sisi lain, rakyat sendiri seharusnya lebih dekat dengan para wakilnya tinimbang dengan bupati-nya. Wong namanya sudah jelas, wakil. Yang mewakili. Tetapi, mengapa mesti ada tontonan seperti yang tampil di Musrenbang Kecamatan Dongko 2019 itu? Belum adanya kesepakatan di tingkat warga mengenai di mana lapangan sebaiknya dibangun itu seharusnya diketahui oleh anggota dewan yang men-dapil-i Dongko.

Mestinya pula, itu menjadi salah satu pokok pikiran, misalnya mengenai rasa kebersamaan warga di dalam gerak pembangunan di wilayah mereka. Mengapa fakta itu malah diungkap oleh Mas Ipin? Di sini setidaknya ada dua pasal yang bisa didakwakan kepada anggota dewan yang men-dapil-i Dongko: tidak mengetahui hal-hal penting di dapil-nya dan/atau menutupi fakta itu.

Mengingat pentingnya fungsi dewan di dalam proses penganggaran pembangunan di Trenggalek, akhirnya urusan dengan para anggota dewan itulah masalah terbesar yang mesti dihadapi Bupati Trenggalek. Untuk Trenggalek yang harus semakin baik, para kepala dinas sing ora nyandhak bisa diganti. Sementara itu, PAW untuk anggota dewan tidak berada di tangan bupati. Mungkin, sebaiknya Mas Ipin yang tak lama lagi akan dikukuhkan sebagai Bupati Trenggalek nanti sering-sering nembangke ini, ”Singgah-singgah durga singgah, pan suminggah durga kala sumingkira… (dst.) di gedung dewan.*

Artikel Baru

Artikel Terkait