Saat kita menyambangi Teluk Prigi, tepatnya ke bibir pantai di sebelah timur, tampak sejauh mata memandang perahu slerek milik nelayan berjajar terjangkar. Batas pemarkiran perahu dengan laut adalah batu-batu besar yang disusun sedemikian rupa, saling mengisi rapat. Perahu-perahu ini sepertinya melempar sauh sebab tak sedang melaut. Inilah wajah pelabuhan pantai Prigi yang didominasi oleh perahu penangkap ikan jenis slerek. Perahu yang kini banyak digunakan oleh nelayan pantai Prigi untuk mencari ikan.
Perahu slerek terbuat dari papan berbentuk bilah atau lapisan-lapisan kayu, didesain sesuai ukuran dan bentuk kapal. Lambung kapal tentu lebih luas ketimbang jenis perahu yang dibuat dari kerukan batang pohon. Perahu slerek sebagian juga dilengkapi dengan sopir (kemudi) dan dijalankan dengan mesin. Selain itu, pada saat mengarungi laut umumnya perahu ini berpasangan: satu perahu tanpa sopir dan layar (untuk membawa ikan); perahu satunya lagi menggunakan layar dan sopir (untuk membawa jaring dan kru kapal). Perahu yang senantiasa mengiringi slerek ini biasanya disebut perahu jonson.
Sementara jenis perahu tradisional agak jarang digunakan. Perahu tradisional yang ukurannya lebih kecil, sudah jarang meluncur ke tengah laut dibanding perahu slerek. Perahu sampan ini (katakan saja begitu) bagian depan dan belakang biasanya dibuat agak runcing dan hanya bisa muat satu sampai tiga orang. Perahu sampan sebagian bercadik, menggunakan dayung, dan dilengkapi dengan layar. Bagi saya, perahu sampan paling menawan adalah jenis jukung bercadik. Meski berlambung sempit, perahu jukung ini terlihat ramping dan indah saat mengarungi laut.
Perahu dari jenis ini yang lain adalah perahu kunting, atau sebagian orang menyebutnya perahu mancung. Perahu inilah yang jamaknya digerakkan dengan dayung serta dilengkapi layar. Perahu tradisional selain didayung dan dijalankan dengan layar, sebagian juga dilengkapi dengan mesin tempel berbaling-baling kecil. Di antara jenis dari ini adalah perahu polokan, ia mirip perahu kunting dengan ukuran agak lebih besar. Perahu-perahu dengan ukuran lebih kecil yang dibikin dari mengeruk pohon ini, kini sudah tidak lagi efektif untuk dimanfaatkan nelayan mengarungi laut (mencari ikan), kalah dengan perahu slerek, tentu bila ditakar dari fungsi keduanya.
Kehidupan para nelayan selain dekat dengan perahu sebagai rumah mereka di lautan, juga akrab dengan jaring. Kalau kita lihat, jenis-jenis jaring yang kerap sekali digunakan, termasuk di pesisir Prigi ini adalah jaring slerek dan jaring tarik. Jaring slerek digunakan oleh nelayan saat mereka menjadi kru (ABK) dari sebuah kapal besar (perahu slerek) tadi. Sementara jaring tarik beroperasi dari pinggir pantai pada siang hari setelah ujung jaring ditanam di tengah laut. Di seluruh pesisir Trenggalek, mayoritas nelayan akrab dengan dua model jaring ini. Bisa kita saksikan dari dekat atau bisa langsung ikut nimbrung membantu para nelayan menarik tali jaring (jaring tarik) di siang hari. Adapun untuk jaring slerek, kita mesti terlebih dahulu mengikuti nahkoda kapal ke tengah laut sana.
Nah, sebetulnya jaring (dan perahu) slerek ini bukanlah peralatan dan teknik yang berasal dari kultur bahari Jawa, khususnya di pesisir Trenggalek. Meski kini terlihat dominan, teknik menangkap ikan dengan jaring slerek terhitung baru diperkenalkan di lingkungan desa-desa nelayan di pesisir Prigi dan sekitarnya. Kurang lebih baru 50 tahun belakangan saja jenis jaring ini diperkenalkan di Indonesia (di pantai Jawa). Di pesisir utara Jawa, jaring slerek ini dikenalkan baru sekitar awal tahun 1970-an.
Jaring slerek adalah metode menjaring dengan cara memutari gerombalan ikan di tengah laut. Jaring ditebar untuk mengurung koloni-koloni ikan. Di pesisir selatan Jawa Timur, di antaranya, di wilayah Pantai Prigi ini, jaring slerek diperkenalkan oleh seorang Italia bernama Francesco Lugano. Ia adalah seorang lelaki yang tiba di Indonesia awal tahun 1960-an. Kebetulan ia seorang Romo yang daerah pengabdiannya berlokasi di sekitar tiga kabupaten ini: Blitar, Tulungagung dan Trenggalek. Sebelum diperkenalkan oleh Lugano, masyarakat pesisir selatan Jawa Timur umumnya, dan di Trenggalek khususnya, tidak akrab dengan jaring (dan perahu) slerek.
Francesco Lugano berasal dari Genoa, Italia. Ia lahir di desa pesisir yang masyarakatnya mengais rezeki dari lautan (memburu ikan) untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Jadi, dalam hal menangkap ikan, lebih-lebih dari segi teknik dan pengalaman, tak mengherankan kalau Lugano piawai. Ia seorang Romo yang pengetahuan kebahariannya mumpuni. Pengetahuan kebahariannya ini lantas dibagikan kepada penduduk pesisir selatan Jawa Timur, mulai dari Blitar, Tulungagung hingga Trenggalek (Teluk Prigi).
Genoa, tempat tinggal sang Romo, selain dikenal sebagai kota pesisir, memang tempat tumbuh tradisi bahari. Kota pelabuhan bagian barat laut negara Italia ini menjadi salah satu pusat pembuatan kapal terkemuka di sana. Genoa seolah kota yang pandai mendidik penghuninya berakrab-akrab dengan air laut, bau pantai, ikan dan seluk-beluk dunia perkapalan. Tak heran bila Romo Lugano sangat dekat dengan kehidupan laut: pandai mengreasi kapal, mengenalkan teknik dan cara-cara efektif untuk menangkap ikan menggunakan metode dan model jaring, yang belum dikenal masyarakat pesisir selatan Trenggalek saat itu.
Jaring slerek sendiri umumnya tersusun dari badan jaring, dua sayap jaring, pelampung (float), pemberat, cincin (ring) dan tali-temali, di antaranya, tali pelampung, dan seterusnya. Jaring slerek bisa sangat panjang sementara ukuran lebar atau tinggi menyesuaikan tabiat ikan yang hendak ditangkap. Perahu dan jaring slerek termasuk alat dan teknik menangkap ikan yang terhitung baru untuk nelayan Prigi, bahkan bagi nelayan di pantai Jawa. Slerek dioperasikan dengan cara melingkarkan jaring pada rombongan ikan lalu jaring bagian bawah dibuat meng(k)erut. Karena itu ia disebut pukat cincin (purse seine). Cara melingkarkannya menyerupai bentuk kantung. Alat ini memang sangat efektif untuk menangkap berbagai jenis ikan yang hidup menggerombol di kedalaman laut. Tentu juga akan membutuhkan kru (ABK) yang lumayan. Nah, karena model menangkap ikan menggunakan jaring slerek diharuskan cepat, maka diperlukan pula sebuah kapal yang sesuai dengan metode menjaringnya: kapal yang punya spesifikasi kecepatan (menggunakan mesin). Maka, diciptakanlah jenis kapal yang sanggup mengoperasikan jaring dengan cepat itu.
Dulu penduduk sekitar Prigi (Watulimo) selain petani, sebagian adalah nelayan yang menjaring ikan dengan jaring dan perahu tradisional, berpenghasilan kecil dan hidup cenderung kurang sejahtera. Kondisi ini membuat Romo Lugano prihatin. Karena itu, ia sebagai bekas anak pesisir Genoa, tergerak untuk melatih bakat melaut (menjaring dan membuat perahu) penduduk setempat. Bakat alam dan insting di lautan yang ia punya diasahnya kembali, untuk menolong orang-orang kecil di pesisir pantai (yang hidup) papa dan serba miskin.
Ia mengembangkan SDM daerah pengabdiannya yang nota bene di pesisir selatan Jawa Timur, antara lain, dengan menciptakan peralatan-peralatan mencari ikan di laut (perahu dan jaring) juga perbaikan infrastruktur desa-desa terpencil (akses jalan di antaranya). Bahkan, menurut sebuah catatan, Romo Lugano pernah membuat bengkel guna perbaikan sekaligus pembuatan perahu di pinggir pantai di Teluk Prigi. Perahu-perahu yang digunakan untuk nylerek itu dulu bagian dari hasil rancangan Sang Romo, bersamaan diperkenalkannya jaring slerek.
Romo mulanya mengajari masyarakat Blitar membuat perahu. Ia sendiri yang merancang bentuk beberapa perahu nelayan: misalnya perahu pancing dan juga perahu jaring. Sampai di awal 1990-an, ia menggagas jaring purse seine (jaring selerek) berikut perahunya di Pantai Prigi, tepatnya di Pantai Karanggoso. Ia sempat mendirikan Lembaga Pengembangan Kenelayanan di pesisir Blitar, Tulungagung juga di Trenggalek. Ia sosok dengan latar pengabdian pada masyarakat tanpa kenal lelah dan pamrih. Sosoknya mengingatkan kita pada YB Mangunwijaya, seorang Romo yang sastrawan juga arsitek. Ia dicintai lingkungan masyarakatnya. Tidak hanya itu, ia juga seorang aktivis dan budayawan dengan banyak karya monumental yang masih bisa kita saksikan dan akses. Nama Lugano sendiri telah diabadikan, salah satunya, untuk menamai hotel di Prigi: Hotel Lugano.
Perjuangan Romo Lugano untuk masyarakat kecil pesisir selatan mengingatkan kita pada perjuangan Romo Mangun bersama masyarakat di tepi Kali Code, Yogyakarta. Kedua orang ini sama-sama mengajari kita arti penting “rasa peduli” dan perjuangan untuk mengangkat harkat “(ke)manusia(an)”. Sampai di sini, ihwal kisah dan perjuangan para nelayan mengais nafkah mereka di lautan ini, mengingatkan saya pada kalimat dalam cerita pendek Jorge Luis Borges berjudul Penyaru yang Payah, Tom Castro (yang mengutipnya dari Mazmur: 107): ”Ada orang-orang yang mengarungi laut dengan kapal-kapal… mereka melihat pekerjaan-pekerjaan Tuhan dan perbuatan-perbuatan-Nya yang ajaib di tempat yang dalam.”