Persoalan Air dan Bencana di Kabupaten Trenggalek

Kabupaten Trenggalek tampaknya memiliki masalah cukup serius dengan air.  Meski air memiliki fungsi yang sangat penting bagi kehidupan, kesadaran manusia untuk menjaganya supaya tetap ada, masih jauh panggang dari api. Di Kabupaten Trenggalek sendiri, keruwetan masalah air masih saja nyrimpeti seluruh masyarakat. Masalah itu nampak jelas ketika “musim kemarau kekeringan, berganti musim hujan kebanjiran”.

Perhatian masyarakat akan pentingnya penggunaan air, nyata-nyata tidak dibarengi dengan kesadaran untuk menjaga sumber-sumber mata air. Ini mengakibatkan dampak yang cukup signifikan pada debit air di Trenggalek. Misalnya, dengan melakukan penebangan liar di kawasan tertentu atau melakukan gerakan homogenisasi tanaman (monokultur) di kawasan hijau yang sebenarnya harus heterogen.

Masyarakat Trenggalek dalam hal mendapatkan mata air bersih, kini sudah beralih dan menggantungkan diri dari suply PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum). Terbukti jika di tahun 2013, rumah tempat tinggal menggunakan air PDAM sebanyak 1.099.964 m³, di tahun 2014 meningkat menjadi 1.446.634 m³ air bersih. Data yang saya peroleh dari BPS Trenggalek tersebut menjadi bukti bahwa, dari hari ke hari semakin banyak masyarakat yang butuh air bersih secara mudah. Sedang jika sumber mata air ini tidak terawat, maka yang terjadi debit air akan semakin mengecil dan pada akhirnya kabupaten kita menjadi kekeringan.

Di dusun saya, dahulu orang menggantungkan air pada sumber mata air Cangkring. Di situ terdapat sumber mara air yang seolah tidak pernah kering. Bukan hanya dimanfaatkan untuk memenuhi hajat hidup, air yang berasal dari sana juga dimanfaatkan untuk mengairi sawah. Namun, setelah terjadi penebangan liar sekitar tahun 1999, lambat laun sumber mata air tidak sebaik dahulu. Air hanya bertahan ketika musim hujan, selebihnya, dampak kekeringan kerap terjadi. Dan warga disekitar rumah (termasuk keluarga saya) menggantungkan air dari suplay PDAM.

Tahun 2015, BPBD menyatakan, ada 39 desa di Kabupaten Trenggalek yang terdampak kekeringan, Kecamatan Panggul masih sering menjadi langganan potensi kekeringan dan disusul oleh Kecamatan Suruh. Lantas apakah hal ini akan tetap menjadi bencana tahunan yang biasa singgah di Trenggalek, mengingat rasanya tidak masuk akal apabila menyandingkan kekeringan dengan unen-unen dari Nggalek sendiri yang menyatakan jika tanahnya “gemah ripah loh jinawi”. Jika kekeringan menjadi salah satu bencana di Kabupaten Trenggalek, tidak bisakah kita mengambil langkah pasti untuk dapat mewujudkan Trenggalek yang anti kekeringan dan anti banjir.

Mari kita tengok informasi dari BNPB (Badan Nasional Penganggulangan Bencana), baru saja terjadi tepatnya tanggal 17 Agustus 2016 kemarin, banjir bandang di Kecamatan Gandusari, Kecamatan Kampak, Kecamatan Munjungan dan Kecamatan Watulimo (terdampak longsor). Setidaknya, sejumlah 4.991 lebih rumah terendam banjir. Sebelum banjir 2016 ini terjadi, 10 tahun yang lalu yakni tahun 2006, air bah juga pernah membuat tangis masyarakat Trenggalek karena serbuannya yang terjadi secara tiba-tiba dan pada jam 2 dini hari. Banjir tahun 2006 merupakan banjir paling ekstrim di Trenggalek (catatan penulis). Banyak dampak buruk yang merugikan Trenggalek.

Jadi sangat tepat jika saya menyebut bahwa Trenggalek memiliki masalah yang cukup serius dengan air. Setidaknya fakta di atas bisa dijadikan alasan atas pernyataan saya. Namun sampai saat ini, kesadaran masyarakat akan pentingnya merawat air supaya tidak menjadi “kering jika kemarau dan menjadi banjir jika musim hujan” nampaknya belum terlihat. Semua orang tahu jika pembalakan hutan secara liar dapat menyebabkan tragedi, namun untuk mencapai kesadaran, bahkan bergerak untuk mewujudkan penghijauan atau sekadar ngempet untuk tidak menebang hutan sak karepe dewe tampaknya sulit.

Kita (termasuk saya) masih saja kaku dan beku menyikapi terjadinya bencana di kota ini, bahkan terjadinya bencana banjir maupun kekeringan ini soal tanggung jawabnya masih kita alamatkan kepada kersane Gusti Alloh. Bahkan yang lebih kejawen lagi mengalamatkan kesalahan ini kepada danyang-danyang di Trenggalek. Padahal, secara prinsip dan data, banjir dan kekeringan di Trenggalek ini disebabkan oleh kita sendiri, masyarakat.

Siapa yang bertanggung jawab atas pembalakan liar di Kabupaten Trenggalek? Pertanyaan ini sangat sulit dijawab, namun kutipan dari tulisan Soeripto ini bisa memberikan gambaran:

Pembelokan dan penyimpangan makna dari suatu konsep PHBM (Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat), berdampak pada project oriented jangka pendek yang menjadikan pengelolaan hutan sebagai ajang seremonial dan pencitraan pejabat seperti penghijauan, konservasi alam, penanaman seribu pohon dan program sejenis lainnya. Padahal program tersebut seringkali tidak sustainable dan sarat dengan muatan-muatan kepentingan antara penguasa (pemerintah/perhutani), pengusaha dan politisi, sedangkan rakyat tidak memperoleh manfaat darinya. (pama.or.id)”

Kebijakan pengeloan hutan sebagai sumber pendapatan negara (hutan produksi) menjadikan pemerintah (perhutani) terjebak pada logika ekonomi yang berbasis pada kepentingan kapitalis dan berorientasi timber extraction (untuk mengejar pendapatan) tanpa memperhatikan kebutuhan-kebutuhan MSDH. Apabila hal ini dibiarkan terus berlanjut dikhawatirkan akan timbul pendekatan yang refresif, MSDH menjadi kehilangan akses terhadap hutan yang selama ini menjadi sumber pemenuhan kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Sehingga hak-hak rakyat akan tersingkirkan dan pada gilirannya akan terjadi konflik yang dapat merugikan kedua belah pihak. (pama.or.id)

Kita perlu melakukan pemeliharaan terhadap hutan | Gambar dari Sidiprasetijo
Kita perlu melakukan pemeliharaan terhadap hutan | Gambar dari Sidiprasetijo

Pembalakan liar dilakukan oleh oknum, namun dampak yang terjadi berimbas pada masyarakat luas. Saya curiga mungkin ada upaya bahu-membahu dari berbagai unsur untuk mengeruk keuntungan dari hutan tanpa mengindahkan aturan-aturan yang telah dibuat. Mereka saling melindungi satu sama lain supaya tetap aman menikmati apa yang telah mereka upayakan.

Kecurigaan tetap menjadi curiga, namun fakta tetaplah menjadi fakta. Imbas dari pembalakan liar ini mengakibatkan terjadinya kerusakan pada hutan sehingga hutan tidak lagi berfungsi sebagaimana mestinya. Fungsi hutan, salah satunya adalah menjadi penyangga resapan air sehingga air bisa disalurkan sedikit demi sedikir secara alami. Rusaknya fungsi hutan (terutama hutan heterogen) berarti rusak pula sistem penyangga alami untuk air. Hal ini menjadikan air tidak terkontrol dengan baik, saat musim hujan, karena tidak adanya resapan air sekala besar, air hujan yang turun hanya bisa lewat saja. Untuk kasus tertentu jika jumlah debit air hujan besar, bisa menjadi banjir bandang seperti yang terjadi di Munjungan, Gandusari dan Kampak. Dampak ini merugikan sekali.

Tidak berfungsinya hutan dengan semestinya juga mengakibatkan kasus lain. Jika musim kemarau tiba, karena ketiadaan air yang bisa diserap oleh tanah melalui tumbuh-tumbuhan, maka penyimpanan air hampir tidak ada. Untuk itu, jika musim kemarau tiba, yang terjadi adalah bencana kekeringan. Sumber mata air tidak mampu mengeluarkan air, dan sungai-sungai pun menjadi kering. Di Kabupaten Trenggalek, tampaknya masalah kekeringan dan krisis air sudah menjadi “kebiasaan”.

Pada akhirnya harus ada win win solution untuk mengatasi persoalan air ini, supaya sumber mata air tidak lagi menjadi penyebab air mata bagi Kabupaten Trenggalek. Mencontoh apa yang telah dilakukan oleh bapak pembangunan Trenggalek, Minak Sopal, yang sudah dari dahulu kala berupaya untuk memecahkan persoalan air. Ia telah membuat bendungan untuk memecahkan masalah air untuk keperluan pertanian. Inisiatif ini menjadi prioritas pembangunan waktu itu supaya ketika musim kemarau sawah tetap memiliki air, dan pada waktu musim hujan air tidak sampai membanjiri sawah.

Lain sebab lain akibat lain pula solusinya. Permasalahan yang terjadi di kabupaten Trenggalek saat ini karena adanya kerusakan hutan (menurut penulis), solusi yang diperlukan adalah dengan mengembalikan hutan supaya berfungsi sebagaimana mestinya. Dengan kata lain adalah melakukan reboisasi. Supaya tidak terjadi reboisasi yang sekadar seremoni dan menelan biaya banyak, lebih baik dibuat sebuah gerakan menanam. Jika satu orang menanam satu pohon di lokasi yang telah ditentukan, tentu saja hutan di Kabupaten Trenggalek akan kembali hijau. Kita hanya perlu bekerja keras untuk memberikan penyadaran terhadap diri kita sendiri dan kepada orang-orang terdekat. Kalau bukan kita, lalu siapa lagi. Pemerintah? Biarkan mereka berpusing dengan anggaran yang faktanya tak kunjung memihak rakyat kecil (?).

Artikel Baru

Artikel Terkait