Berhubung ada keinginan mencoba motor baru di trek memanjang tapi yang tidak nanjak-najak banget juga tidak terlalu jauh dari rumah. Saya iseng pergi ke kecamatan paling utara Trenggalek, yaitu Bendungan. Saya cukup cocok dengan trek dan hawa di kawasan Kecamatan Bendungan, walaupun sudah tidak seperti jaman saya SD dulu. Minimal sedikit dinginlah daripada di dekat alun-alun, yang kemarin sibuk ngurus penentuan pengisian jabatan Organisasi Perangkat Daerah (OPD).
Tujuan ke Bendungan sebenarnya memiliki misi ganda, seperti film yang saya baru tonton. Walau tidak serahasia film-film spionase Hollywood, kalau istilah anak bahasa sekali mendayung dua, tiga, empat, lima pulau terlampaui. Jika main ke Bendungan tidak singgah dan menghirup udara di kawasan nDilem Wilis, rasanya ada yang kurang. Kawasan tersebut oleh pemerintah disiapkan sebagai desa wisata dan sudah di-launching beberapa bulan yang lalu. Mampirlah saya ke tempat yang cukup nyaman dan sejuk tersebut.
Begitu masuk jalan menuju kawasan desa wisata itu, kita diberi ucapan selamat datang berupa bukit gundul lengkap dengan akar pohon yang menghitam karena dibakar. Saya tidak tahu pengundulan bukit tersebut adalah program dalam rangka peremajaan pohon-pohon produksi perhutani atau ada tujuan lain. Tapi semoga segera dilakukan penanaman kembali. Sayang kalau kemudian hanya ditanami jagung atau rumput gajah.
Sepertinya pemerintah benar-benar menyiapkan tempat ini menjadi sarana wisata-edukasi saja, belum menjadi desa wisata di mana masyarakat desa juga menjadi subjek. Sampailah saya di ujung jalan yang kita kenal sebagai daerah bekas perkebunan kopi zaman Ratu Wihelmina. Tidak banyak berubah dalam soal infrastruktur penunjang kegiatan wisata di daerah tersebut. Saya hanya melihat beberapa orang sedang mempersiapkan bibit kopi yang baru datang dari Jember.
Seperti layaknya orang yang berkunjung ke tempat tersebut, ada dua hal yang dicari yaitu pabrik kopi tinggalan Belanda dan kopi Van nDilem yang begitu melegenda, yang brandingnya pernah dikritik bos geng nggalek.co itu: cari saja sendiri tulisannya dan jangan lupa ucapkan selamat ulang tahun pada bos geng kita ya…
Soal kopi sebenarnya saya tidak berani bertanya pada pengelola tempat tersebut, maklum sudah dapat bocoran dari langit. Ya walaupun begitu, saya tetep bertanya dengan tampang penuh keyakinan bahwa akan ada (pohon) kopi. Naiklah saya ke gedung yang berada di atas itu, yang tulisannya di batu prasasti, berupa peresmian sebagai gedung pertemuan dan perkantoran. Saya langsung menuju ruangan paling ujung, yang bagian depan terdapat banner bergambar mas-mas yang lagi berjuang bikin orang Trenggalek bisa tersenyum, lengkap dengan tulisan kopi Van nDilem dan tagline yang dikritik bos geng nggalek.co dulu.
Sambal mengintip ruang tersebut, tampak kursi kayu dan karung plastik, yang biasa dipakai oleh para psikopat buat wadah hasil mutilasi orang. Tiba-tiba datanglah ibu-ibu umur pertengahan 40-an (ini kira-kira). Sebelum ibu itu bertanya aneh-aneh dan membahayakan misi saya tadi. Keluarlah jurus dari buku pepak bahasa Jawa terbitan 2006, dengan wajah yang meyakinkan saya langsung bertanya dengan suara sedikit ngebass, agar terdengar lebih manly, “Ibu kopi Van nDilem-nya ada?” Pertanyaan ini adalah kode sakti untuk membuat ibu tadi langsung mengajak saya ikut ke kantor pengelolaan dari perkebunan nDilem Wilis.
Bertemulah saya dengan dua orang laki-laki. Di dalam hati saya pikir bapak-bapak ini adalah bos geng di kawasan ini. Benar dugaan saya, bapak-bapak ini adalah bos geng dari kawasan tersebut. Kenapa saya bisa tahu? Ini tips dari saya kalau ada orang yang ngobrol dengan dua bapak tadi selalu pakai high level contac code alias bahasa Jawa krama inggil. Ingat itu tips dari saya.
Setelah memperkenalkan diri, dengan sedikit ilmu sok tahu yang sudah diberikan oleh langit, akhirnya saya ngobrol ke sana kemari soal kopi dan apa yang mau dilakukan di nDilem Wilis. Sambil menunjukkan bahwa ada peta perencanaan kawasan yang digantung di dinding tanpa cicak tentunya. Dari peta perencanaan kawasan tersebut saya tahu bahwa kawasan ini akan dibangun mirip dengan kebun teh Wonosalam milik PTPN 12. Itu setidaknya garis besar yang bisa saya lihat.
Karena obrolan yang semakin nyambung atau kata orang Jawa gayeng, saya dengan lampu menyala di kepala, layaknya kartun tom and jerry, akhirnya berani bertanya tentang kopi yang dikritik bos geng saya. Bapak tadi dengan penuh keyakinan meminta ibu tadi untuk membuatkan kopi Van nDilem yang begitu melegenda dan banyak dipalsukan kata si bapak ya. Datanglah kopi legendaris tersebut, tapi yang membuat saya kecewa adalah kopi yang dihidangkan bukan merupakan kopi kualitas A, tapi kualitas campur.
Dari sini saya tahu bahwa perkebunan kopi ini memang belum mampu menyediakan banyak kopi untuk pasar Trenggalek, hingga beberapa kali mereka harus menolak permintaan Wabup untuk menyediakan green beans dan bubuk kopi untuk dibawa sebagai media promosi saat berkunjung keluar kota. Saya sendiri mencoba untuk bertanya bagaimana saya bisa beli kopi legendaris ini? Jawabannya juga sama seperti yang diberikan pada Wabup, sangat mengecewakan bagi orang yang sudah jauh-jauh untuk berkunjung ke tempat ini.
Sepertinya pengelola tahu saya sedikit kecewa. Dengan nada yang menyakinkan bapak tersebut bilang bahwa kita mau bikin coffee shop di depan pabrik tersebut sekaligus sebagai outlet penjualan resmi kopi ini. Nantinya masyarakat yang berkunjung bisa ngopi-ngopi sambal menikmati pemandangan dan melihat tata cara pengelolaan kopi di pabrik jaman Belanda ini. Menarik rupanya ide bapak tersebut, tapi yang lebih penting kopi Van nDilem ini harus terus tersedia dengan kualitas terbaik. Jangan sampai membuat orang yang sudah datang kecewa.
Akhirnya saya pamit untuk pulang, tentu sebelum pulang, saya ngetrip kecil ke pabrik kopi, sambil melihat kondisi pabrik yang rencananya pada tahun 2017 juga akan dilakukan perbaikan. Sambil berjalan saya melihat ada sarana out bond yang masih terawat. Saya mulai berpikir ini ada pengelolaan perkebunan; ada pengelolaan desa wisata, kira-kira apa ada tumpang tindih kewenangan di tempat ini, ya ? Saya tidak tahu dan tidak berusaha mencari tahu.
Sampai di jalan utama Bendungan, saya melihat kantor desa wisata Dompyong yang tertutup rapat. Sayang sekali tempat yang begitu potensial tapi tidak tergarap dengan maksimal. Apalagi pengembangan daerah tersebut menggunakan dana dari APBD, bukan dari investor. Sepanjang jalan, saya mulai berpikir apakah masyarakat di kawasan ini bisa merasakan hasil dari keberadaan desa wisata. Mengingat penduduk daerah ini pernah makmur dengan mengelola sapi perah.
Bagaimana jika nanti pengunjung dapat bermalam di daerah tersebut, mengingat daerah ini hanya memiliki satu penginapan saja. Apakah rumah-rumah penduduk dan perumahan pegawai perkebunan dapat difungsikan sebagai penginapan, tentu dengan standard hotel. Yang nantinya dapat dikelola oleh koperasi atau bumdes, sehingga penduduk dapat merasakan hasil dari efek adanya pariwisata di daerah tersebut. Walaupun untuk mewujudkan perlu waktu, apalagi untuk menyiapakan SDM dari warga setempat. Sayang jika manisnya hasil pariwisata hanya dinikmati oleh para pemodal.
Tugas pengelolaan desa wisata, perkebunan nDilem Wilis, pemerintah desa dan pemerintah kabupaten untuk meningkatkan SDM warga setempat, sehingga pendapatan mereka bisa meningkat, usaha-usaha itu bisa dilihat walau belum masif dilakukan. Tapi dengan meningkatnya pendapatan masyarakat daerah, kampanye dilarang miskin di Trenggalek bisa berhasil.
Semoga semua stakeholder benar-benar menyiapkan SDM & infrastruktur lainya, agar tempat ini semakin layak untuk dikunjungi oleh masyarakat luas. Bermain ke kawasan ini tetap menyenangkan apalagi bagi Anda yang sedang menginginkan kesendirian, tempat ini bisa membuat lupa waktu dengan suara gemericik air dan hawa sejuk, bahkan bisa membuat kita mengantuk. Sungguh tempat yang sangat nyaman. Semoga segera berbenah.