Sebagai bagian dari masyarakat urban, betapa kita sulit lepas dari pengaruh globalisasi, terutama di sini dalam hal pengiringan budaya. Penggiringan lewat berbagai sajian dalam ruang baru sebagai keharusan dari watak zamannya. Perkembangan budaya pop yang berimbas pada perubahan pola pikir dan praktik keseharian masyarakat tentu akan terjadi. Karena masyarakat selalu dibentuk dalam pola kebutuhan dan ketergantungan terhadap produk-produk tertentu. Ini terjadi dengan terlebih dahulu ditampilkan oleh media, semisal dengan menghadirkan tokoh idola yang coba disajikan sebagai kiblat dalam kehidupan.
Sajian demi sajian muncul dan mendadak dimaknai sebagai sebuah kewajaran, yang tanpa disadari berimbas pada pola masyarakat dalam meningkatkan kebutuhan dan standar hidup. Penggiringan bisa dilakukan oleh peran media yang kerap kita saksikan dalam iklan lima menit yang wira-wiri di sela sinetron atau sajian televisi. Penonton sebagai pasar diberi sajian lantas dituntun agar patuh pada serangkaian tayangan komersil pola konsumsi. Budaya pop sudah tentu berimbas pada pola sosial yang membentuk masyarakat konsumtif dalam berbagai lini, tidak terkecuali di dunia fashion. Ini sebagaimana yang diutarakan Mckendrick bahwa puncak perkembangan imajinasi tergantung pada munculnya budaya masyarakat urban yang berorientasi pada pemasaran fashion (Mckendrick et al. 1983; brewer dan porter, 1992)
David Chaney juga pernah memaparkan bahwa iklan merepresentasikan gaya hidup dengan menanamkan secara halus (subtle) arti penting citra diri tampil di muka publik. Di sana, sebuah media menyajikan dengan sangat baik melalui dominasi yang dapat dinikmati dengan murah oleh setiap keluarga melalui saluran televisi. Tentu hari ini televisi bukan barang mahal, mengingat hampir setiap rumah punya benda tabung tersebut. Televisi merupakan media penyalur informasi yang memiliki potensi jauh lebih memukau daripada media lain, karena sifatnya yang visualistik itu. Televisi memang sejak awal mencitrakan kebudayaan lewat sajian.
Di sela-sela sajian, biasanya kita disuguhi oleh space iklan sebagai laku perusahaan yang mencoba mempromosikan produknya. Tidak ketinggalan, dengan cara menggandeng model berwajah standar dunia intertaiment. Seperti itulah kemudian citra yang hendak dibangun: bahwa cantik atau tampan-elegan merupakan dominasi mutlak yang sejak awal dipertontonkan sebagai tuntunan. Apabila ingin nampak cantik, pakailah produk ini atau produk itu; Anda beminat memikat pasangan yang mulai bosan dengan penampilan Anda, maka harus membeli produk tertentu sebagai solusi.
Selain produk yang mengesankan, ada yang tidak boleh lepas dari iklan. Kunci dari suksesnya proses periklanan adalah saat dipegang oleh peran model peraga: kepiawaian serta perawakan yang dimiliki seorang model sangat menentukan. Kepiawaian berkaitan dengan bawaan atau bahkan laku yang dipelajari sebagai modal akting. Sedang perawakan adalah rupa yang menjadi ciri dari model tersebut, misal berwajah Indo dengan paras yang cenderung bermata bulat dan kulit putih pucat. Model adalah hal wajib untuk mencitrakan sebuah produk jualan, yang perannya sebagai salah satu unsur repetisi, trik, dan manipulasi dalam iklan yang akan dilempar oleh perusahaan, kepada masyarakat sebagai pasar.
Remaja adalah lahan basah untuk menumbuhkan kepentingan ini. Dengan kondisi psikologi yang cenderung meniru dan masih mencari jati diri, dipastikan tidak sedikit remaja yang tumbuh dalam bayang-bayang hidup ideal dengan meniru model iklan. Ini bagian dari gejolak perkembangan remaja agar tidak dicap sebagai pribadi ketinggalan jaman. Penulis sendiri dalam kadar tertentu, sebagaimana remaja lainnya, kadang juga masih menjadi hamba budaya pop ini. Memenuhi ruang aktualisasi diri dengan mengacu pada mode dan trend penampilan model di televisi, baik cara berpakaian maupun dalam memenuhi standar cantik versi iklan.
Ketika memasuki ranah periklanan, yang ditonjolkan dalam setiap sajiannya adalah benda-benda yang dibutuhkan perempuan. Terlepas dari kondisi produk itu benar-benar dibutuhkan atau tidak, perempuan tetap dilibatkan perannya dalam menyajikan iklan maupun tontonan. Setidaknya, selain iklan sabun, kosmetik, peralatan dapur tidak jarang iklan oli ataupun rokok yang jauh dari kebutuhan perempuan tetap saja memakai jasa perempuan untuk peraga.
Sudah lama cantik sering diidentifikasikan sebagai perawakan yang merujuk pada putih mulus, kurus langsing, tinggi semampai, berambut lurus serta hal lain yang memetakan peran secara visualistik. Media menghadirkan citra tersebut dengan buaian ruang komersil yang menjual produk sebagai pemenuhan, baik lewat iklan maupun opera sabun yang sering disajikan dalam televisi. Tidak sedikit perempuan akan merasa minder hanya gara-gara dinyatakan tidak cantik karena tidak sesuai model iklan kosmetik atau bintang film. Sebagian lain ada yang memilih mengonsumsi obat pelangsing atau merepotkan diri untuk memutihkan kulit, hanya agar dapat predikat cantik.
Hal tersebut tentu bukan masalah jika dimaknai urusan pribadi namun akan menjadi masalah sosial serta berimbas besar, jika laku industri komersil ini dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat dengan tidak memperhatikan kultur daerah yang mewarisi kulit sawo matang atau berambut keriting misalnya. Kondisi yang jauh dari kultur sosial masyarakat kita dengan merujuk pada model iklan yang ditampilkan dengan wajah Indo dengan kulit putih bawaan lahir.
Fenomena di atas dapat direnungkan, bahwa sejauh ini perempuan sarat dengan nilai yang coba dikonstruksi dalam rumah produksi. Yang dalam persemaian bahwa setiap jengkal dari tubuh perempuan adalah nilai jual yang coba ditangkap perusahaan sebagai hal yang menguntungkan. Kecenderungan awal yang menempatkan perempuan sebagai objek kenikmatan daripada subjek. Kondisi yang kemudian diamini oleh masyarakat luas sebagai sebuah kenyataan yang kemudian melahirkan perempuan-perempuan yang senang dipuji cantik. Padahal dalam kondisi dan situasi tertentu, kalimat puja-puji ini justru melecehkan perempuan itu sendiri.
Perusahaan kosmetik maupun produk komersil menangkap peluang ini dengan begitu cerdas. Menawarkan jawaban serta menciptakan kebutuhan bagi perempuan lengkap dengan solusi dari permasalahan yang hadir, dengan cara membeli produk yang diiklankan. Kebudayaan populer atau budaya pop berwatak dangkal, artifisial dan pragmatis serta tidak bisa dipisahkan dari kuasa uang. Alam bawah sadar kita justru dibuat terlena oleh kebutuhan semu dengan tidak mempertimbangkan bahwa sebenarnya hal tersebut adalah lahan pencarian uang oleh perusahaan iklan.
Untuk menutup tulisan ini, ada baiknya mempertimbangkan pernyataan Dr. Phil. Dewi Candraningrum, bahwa iklan kosmetik merupakan cermin di mana perempuan digunting mata kamera, kemudian dibekukan dalam rumah produksi, lantas diberi label dengan harga dan potongan diskon tertentu. Representasi visual perempuan tak ubahnya daging yang diperjualbelikan secara kiloan di pasar-pasar tradisional dan supermarket. Jika daging sapi memiliki spesifikasinya sendiri, demikian juga perempuan. Akhirnya, selamat menikmati sajian iklan para perempuan yang korbannya sering adalah diri kita sendiri itu.