Pak Kasman dan istrinya mengendarai motor karisma hendak menuju Pasar Sebo. Mereka berangkat pagi-pagi dari rumahnya di Desa Sawahan. Seperti biasa, ia ke Pasar Sebo untuk mengantar istrinya berbelanja kebutuhan sehari-hari.
Pak Kasman dan istri berkendara dengan santai sambil membicarakan hal keseharian, namun sesampai di tikungan tajam, tiba-tiba motornya tergelincir. Dengan reflek, ia tekan rem depan dan belakang, namun motornya oleng dan tidak mau berhenti. Ia dan istri hanya bisa pasrah, motornya ambruk dan menabrak batas jalan.
Untung motor yang ia kendarai tidak terlalu melaju cepat meski jatuh hanya menghasilkan luka lecet di dengkul Yu Kasmi, istinya. Sedangkan Pak Kasman sendiri hanya terluka di bagian lengan. Setelah mereka berdua memastikan kondisi baik-baik saja, lalu berupaya mengangkat kembali motor yang ambruk. Pak Kasman menyeka celana yang basah karena terjerembab. Ia cium air itu, dan berteriak lirih “banyu iwak”.
Banyu Iwak
Paragraf di atas adalah cerita tentang Pak Kasman dan Yu Kasmi yang menjadi korban banyu iwak (air ikan). Sebenarnya kejadian seperti ini bukan saja dialami mereka, bagi orang Watulimo, terpeleset banyu iwak saat berkendaraan seperti kejadian yang menimpa dua orang tadi seperti bisa dimaklumi, mungkin karena sering terjadi.
Banyu iwak yang menetes ke jalan raya ini bukan fenomena luar biasa, tidak seperti fenomena ikan jatuh dari langit. Banyu iwak yang tercecer di sepanjang jalan Watulimo berasal dari kendaraan pick–up yang mengangkut ikan keluar Prigi. Ikan ini biasanya dikirim ke kota lain.
Permukaan aspal yang terkena air ikan akan menjadi licin. Sifat licin ini disebabkan oleh mucus yang berasal dari ikan-ikan segar. Mucus terdiri dari sel-sel yang menghasilkan senyawa glyco-protein. Ketika senyawa tersebut bercampur dengan air membuat mucus menjadi berlendir dan licin. Itulah penjelasan ilmiah kenapa permukaan aspal yang terkena air ikan menjadi sangat licin dan bisa menggelincirkan roda motor.
Meski demikian, kecelakaan yang disebabkan oleh banyu iwak ini belum menjadi perhatian khusus, baik bagi para pengusaha maupun pemerintah. Selama ini, penulis masih mendapati kondisi yang sama ketika sedang musim ikan, yaitu banyu iwak yang tercecer di sepanjang jalan utama Kecamatan Watulimo. Kecelakaan yang terjadi karena banyu iwak dianggap sebagai angin lalu, dan korban-korbannyan cuma dianggap sedang apes saja. Padahal ini adalah bentuk kelalaian pemilik usaha pengiriman ikan.
Saya menyebut kelalaian pemilik usaha sebab dari pra-produksi, produksi, pasca–produksi, panen keuntungan juga harus memperhatikan keselamatan manusia. Jika pengiriman ikan ini masuk dalam pasca–produksi dan siap dikirimkan ke pembeli, maka proses packaging (pengemasan) yang aman bagi produk dan orang lain wajib dipenuhi. Akibat dari itu semua, air yang bercampur dengan mucus ikan tercecer di jalan raya, menyebabkan bahaya bagi orang lain yang melintasi jalan.
Klasifikasi Pengiriman Ikan
Ikan yang dikirim dari Teluk Prigi sebenarnya ada dua macam, yaitu ikan yang masih segar (langsung dari laut tanpa pengolahan) dan ikan yang sudah diproduksi setengah matang (seperti dengan pemindangan). Pengiriman oleh pengusaha ikan ditentukan oleh pesanan pasar. Jika ikan yang dihasilkan nelayan Teluk Prigi membludak, intensitas pengiriman ikan basah semakin sering. Namun jika tangkapan ikan tidak banyak, biasanya cukup untuk memenuhi permintaan para pemindang ikan, tidak sampai dikirim dalam keadaan basah/mentah.
Pengiriman ikan setengah matang (hasil pindang) sebenarnya tidak membuat risiko bagi para pengendara, karena ketika ikan sudah masuk rumah pemindangan, mucus yang terdapat di kulit ikan sudah bersih. Ikan dikirim dalam keadaan setengah kering dan dimasukkan dalam wadah pengepakan khusus ikan (memakai reyeng/reyek, anyaman dari bambu). Ini juga bisa mengurangi pengiriman ikan dalam keadaan basah. Namun semua tergantung pada hasil ikan tangkapan nelayan. Terkadang, saking banyaknya ikan dari Teluk Prigi, rumah pemindangan tidak mampu menampung semuanya.
Meski pemindangan dinilai lebih ekonomis dan praktis, cara ini juga menyebabkan persoalan baru. Pemindangan menghasilkan limbah cair yang apabila tidak dikelola dengan baik, bisa menyebabkan pencemaran sungai, seperti yang terjadi selama ini.
Hal yang wajar jika pada saat musim ikan, sungai-sungai kecil yang ada di seputaran Prigi mengeluarkan bau yang tidak sedap akibat dari pencemaran sungai oleh para pemindang ikan. Disebabkan oleh limbah pindang ikan yang tidak dikelola dengan baik. Meski terhindar dari mucus ikan yang dapat membuat permukaan jalan licin, ini juga membuahkan persoalan baru berupa limbah pemindangan.
Butuh Perencanaan dan Pengawasan
Faktanya, upaya perencanaan pengelolaan limbah pemindangan memang sudah cukup lama digulirkan. Hanya saja belum ada ketegasan dari pihak berwenang untuk menertibkan para pelaku pemindangan ini. Untuk para pemindang, rumah-rumah yang dijadikan tempat produksi belum dilengkapi dengan penampung limbah guna disterilkan terlebih dahulu.
Oh ya, jika usaha pemindangan sudah mendapat perhatian, namun belum bagi para pengusaha pengiriman ikan-ikan basah. Padahal secara efek, sama-sama berbahaya karena bisa menyebabkan kecelakaan di jalan raya. Hal ini sangat penting untuk diseriusi, karena jalan Pantai Prigi –selain digunakan masyarakat—juga merupakan akses satu-satunya para wisatawan. Ndak asyik kan bagi wisatawan, khususnya yang menggunakan motor, keinginan menyambangi surga di pantai selatan ini malah apes tergelincir di jalanan dulu. Ya berselancar itu umumnya kan di pantai, bukan di jalan raya.