Mari kita mulai dengan menyimak jejak-jejak perjuangan umat beragama yang pernah ada di tanah ini. Bahwa pasca kemerdekaan diproklamirkan oleh Soekarno-Hatta di sudut Jakarta sana, dengan segera di tanah Trenggalek terbentuk pula laskar-laskar penjaga kemerdekaan seperti laskar Hisbullah dan Sabilillah yang bernaung di bawah partai Masyumi. Sedikitnya ada tiga regu Hisbullah di wilayah Klampisan. Yang pertama bermarkas di rumah komandan pleton, Bapak Abdul Kadir. Yang kedua di langgar dan rumah K. Husni. Yang ketiga berada di rumah dan langgar Kyai Abdul Manan, Kaningaran. Laskar yang diisi oleh para kyai dan santri ini siap senjata kapan saja ada yang mengusik kemerdekaan (A. Hamid Wilis: 2011).
Yang menarik dari jejak sejarah di atas adalah, bahwa pada akhirnya kaum santri tidak sekadar berjuang dalam ranah spirit belaka. Mereka turun aksi membela sesuatu yang mereka yakini kebenarannya: kemerdekaan sebuah negara. Menjadi hamba Sang Maha, tidak menghalangi mereka untuk membela jati diri sebagai warga dari sebuah negara. Kyai-kyai dan santri-santri yang berdomisili di kampung-kampung mensedekahkan secara ikhlas perjuangannya untuk menjaga kemerdekaan bangsa dan negara yang baru saja merdeka.
Waktu berlalu namun perjuangan kyai kampung tak pernah berlalu. Hanya kemasan perjuangannya yang berbeda, disesuaikan dengan konteks zaman yang tengah dihadapi. Apabila dahulu senjata menjadi alat utama perjuangan, maka sekarang ilmu etika, ilmu tauhid, hingga ilmu sosial menjadi alat untuk berjuang melawan gejolak nafsu hedonis dan nafsu ekstrim keimanan.
Memang masih banyak kenikmatan yang masih sering kita ingkari terkait yang ndesa alias kampungan. Semisal pengabdi-pengabdi sosial yang sepi ing pamrih lan rame ing gawe dalam menjaga kearifan. Satu contoh dari pengabdi ini adalah kyai kampung, yang biasanya ngopeni surau atau masjid kecil di tengah perkampungan. Sosok yang mengabdikan diri demi mengalirnya nilai-nilai sosial spiritual di tengah masyarakat.
Penulis yakin, Anda yang sedang atau pernah melakoni hidup di pedesaan, mempunyai sosok “mbah yai” yang mengajari anak-anak mengaji, menjadi imam mushola, serta memimpin ritual-ritual keagamaan sampai bagian ndongani dalam hajatan-hajatan tertentu. Kalau di daerah saya, ada sosok Mbah Din, guru ngaji dan imam mushola di dusun saya. Beliau adalah orang yang berwibawa di tengah masyarakat dengan sikap yang tenang, rendah diri, dan sederhana. Memang ini secara umum, bahwa dominasi kebersahajaan yang melekat pada diri kyai kampung adalah kunci kewibawaannya. Mendakwahkan nilai-nilai spiritual ke tengah masyarakat dengan cara yang sejuk dan menyenangkan.
Meleburkan diri dalam kehidupan kemanusiaan dan menyelesaikan masalah dengan musyawarah adalah jalan paling strategis untuk meresapkan nilai ketuhanan dalam kehidupan. Kyai kampung dapat menjadi contoh praktis terkait hal ini. Bagaimana dirinya membaurkan diri ke tengah masyarakat dan menjadi tempat berkonsultasi masyarakat kelas bawah dalam menyelesaikan berbagai urusan, mulai dari hajatan hingga konflik sosial. Serta menjadi pemimpin yang “mendamaikan” nilai kemanusiaan dan nilai ketuhanan.
Berbeda sekali dengan “trend” keagamaan dewasa ini, yang banyak menampilkan pengabdi agama dalam wujud monster-monster menyebalkan. Murka melihat keharmonisan antarmanusia yang berbeda. Berjuang membenturkan setiap jengkal perbedaan yang terjalin rapi. Ayat suci dijadikan bumbu penyedap provokasi, dan Tuhan dijadikan bahan bakar penebar amarah. Memposisikan dirinya sebagai “tangan Tuhan” yang berhak mengoreksi tatanan penciptaan. Tuhan dicirikan sebagai seteru abadi kemanusiaan dan membenci manusia-manusia yang berbudaya berbeda. Menganjurkan masyarakat untuk gelisah, was-was, dan siap menumpah amarah jika ada kesempatan.
“Jihad” sebuah kata dari bahasa Arab yang terdiri jim, ha’, dal yang berarti usaha, kemampuan, kesusahan, menjadi kata kunci dari banyak adegan provokasi dan tindakan anarki dari beberapa pengabdi agama yang kebingungan mencari jalan ke surga. Terminologi jihad dalam agama Islam memang berjuang dengan sungguh-sungguh untuk menegakkan agama Allah, dan membela dien yang diridhoi-Nya. Berjuang dengan sungguh-sungguh di jalan Allah, atau bahasa kerennya Jihad fii sabilillah. Bukan di jalan “klik like and share”
Kyai kampung memang tidak terlihat gemar ber-uforia dalam bernegara, namun dalam kesehariannya, pengabdian pada masyarakat cukup layak disebut sebagai “bela negara” guna menjaga kemerdekaan.
Menjaga kemerdekaan tidak cukup hanya dengan upacara peringatan belaka. Paling tidak, ada dua hal yang perlu dijaga dalam menjaga kemerdekaan. Pertama adalah nilai-nilai kearifan lokal bangsa atau budaya. Kedua adalah keutuhan, persatuan dan kesatuan nusa bangsa.
Kyai kampung dalam kehidupannya sudah jelas, mendidik anak-anak generasi penerus bangsa untuk bersikap arif, terhindar dari segala bentuk hedonisme dan “limbah” modernitas lainnya. Layak diakui memang, bahwa capaian modernitas dewasa ini cukup mengagumkan. Namun kemajuannya juga menimbulkan limbah-limbah yang merusak moral spiritual yang tidak sesuai dengan nilai-nilai kebangsaan. Kehadiran kyai kampung dalam gelombang modernitas ini mampu menjadi kontrol spiritual yang mencegah hilangnya kendali moral anak-anak bangsa dengan memahamkan kepada anak-anak, perihal ilmu etika dan tauhid yang sejalan dengan visi misi negara.
Kemudian, merebaknya organisasi keagamaan trans-nasional yang mengusung ideologi makar juga menjadi tantangan tersendiri dalam menjaga kemerdekaan. Upaya-upaya untuk merobohkan pondasi negara Indonesia massif dilakukan kelompok agamawan berhaluan ekstrim. Terbukti dengan beredarnya kabar bahwa salah seorang generasi jenius asal Trenggalek, sang juara olimpiade, terjatuh ke dalam lembah ekstrimisme keagamaan. Hasrat bertuhan yang begitu besar tidak diimbangi dengan kontrol iman yang berimbang.
Di sinilah, sekali lagi, kyai kampung mengambil posisi vital. Di ranah grass root, pak kyai memahamkan kepada masyarakat tentang nilai-nilai ketuhanan yang ramah dan toleran. Berdakwah dengan mencerdaskan iman masyarakat, bukan memprovokasi keimanan. “Mendamaikan” nilai-nilai ketuhanan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Sehingga manusia dapat dengan tenang beribadah dan bersosial. Menjadi hamba yang sholeh dan menjadi warga negara yang baik.
Akhirnya, untuk mencintai kemerdekaan negara kita, tidak cukup hanya dengan upacara agustusan. Ingat dan praktikkan nilai-nilai etika dan tauhid yang sewaktu kecil pernah kita pelajari di sekolah atau di langgar tempat mengaji. Untuk menjadi hamba yang sholeh, tidak cukup hanya belajar dari Facebook dan Google. Tidak perlu pula berkoar-berkoar takbir sembari mencaci ideologi lain. Bisa dengan ikut sholat berjamaah di mushola dan belajarlah pada kyai kampung kita. Begitu kayaknya lebih asyik.