Tulisan ini mengkritik pernyataan-pernyataan kontroversial Anwar Abbas, seorang pimpinan Muhammadiyah, terkait isu tambang yang bertepatan selalu muncul di bulan Juli. Anwar Abbas sering mengatasnamakan Muhammadiyah tanpa persetujuan resmi dari pimpinan pusat, menyebabkan kegaduhan di kalangan anggota Muhammadiyah.
Sudah dua kali ini saya menyaksikan bagaimana Pak Anwar Abbas menyatakan suatu pernyataan penting terkait persyarikatan Muhammadiyah. Pernyataan ini sebenarnya masih berupa pendapatnya sendiri, namun seolah-olah diatasnamakan Muhammadiyah.
Pertama, ia pernah menyatakan tentang potensi kerjasama Muhammadiyah dengan tambang emas pada bulan Juli 2023. Kedua, pada tanggal 25 Juli 2024 lalu, ia menyatakan bahwa Muhammadiyah memutuskan menerima izin tambang di media mainstream Tempo.co.
Padahal, kalau diperhatikan lebih mendalam, pernyataan-pernyataan dia yang menyebabkan kegaduhan di tubuh Muhammadiyin – sebutan saya untuk warga Muhammadiyah – tidak sepenuhnya atas nama Muhammadiyah. La bagaimana, meski ia didapuk menjadi Ketua Muhammadiyah namun hanya dalam bidang UMKM, Pemberdayaan Masyarakat, dan Lingkungan Hidup.
Misalnya, pada bulan Juli 2023 lalu, saat ia baru saja disambangi para pentolan Chenxi Chengetai Investments, sebuah perusahaan investasi global yang memiliki enam tambang emas di Zimbabwe dan empat tambang emas di Myanmar. Ia langsung menyatakan di media bahwa Muhammadiyah berpotensi kerjasama bisnis tambang emas.
Saya curiga apakah hal tersebut sudah berdasarkan rapat pleno para pimpinan Muhammadiyah. Lantas saya beranikan diri mencari informasi ke pusat. Ternyata benar saja, pernyataan Pak Anwar tersebut tidak berlandaskan rapat para pimpinan. Kalau dalam bahasa Jawa, model-model begini disebut “sokor njeplak” alias asal bicara.
Setahun berselang, tepatnya bulan Juli 2024, Pak Anwar bikin ulah lagi dengan menyatakan bahwa Muhammadiyah telah memutuskan menerima tambang yang ditawarkan pemerintah. Pernyataan tersebut tidak butuh waktu lama memantik reaksi warga persyarikatan Muhammadiyah, termasuk saya sendiri.
Sekali lagi, pernyataan Anwar Abbas ini tidak mendasar kepada keputusan para pimpinan. Saya merujuk pada dawuhnya Sekretaris Umum Muhammadiyah, Ayahanda Abdul Mu’ti. Dalam unggahannya di akun Instagram @abe_mukti, beliau mengatakan dua hal:
Pertama, ada penawaran oleh Pemerintah melalui Menteri Investasi/Kepala BKPM, Bahlil Lahadalia, yang disampaikan dalam rapat Pleno PP Muhammadiyah 13 Juli 2024. Meskipun belum disampaikan secara resmi lokasi tambang bagi Muhammadiyah. Kedua, PP Muhammadiyah telah membahas penawaran tersebut dalam Pleno 13 Juli. Keputusan resmi pengelolaan tambang oleh PP Muhammadiyah akan disampaikan secara resmi setelah Konsolidasi Nasional yang Insya Allah dilaksanakan 27-28 Juli di Universitas Aisyiyah Yogyakarta.
Jika membaca penjelasan Pak Mukti tersebut, bisa dipahami bahwa Pimpinan Pusat Muhammadiyah masih akan melakukan Konsolidasi Nasional. Meskipun sudah ada pleno para pimpinan, mereka akan tetap melakukan konsolidasi, dan setelah itu baru akan diumumkan secara resmi oleh Ketua Umum, Pak Haedar Nashir.
Entah kenapa kemudian, Pak Anwar Abbas ngebet ingin segera mengumumkan informasi penting tersebut. Prasangka buruk saya, mungkin Pak Anwar ngebet ingin jadi Ketua Umum dan keinginan tersebut muncul di setiap bulan Juli.
Kepekaan para pimpinan Muhammadiyah terhadap bisnis ekstraktif dan kasus-kasusnya memang tidak tersebar merata. Ada beberapa ketua yang sangat intens memperjuangkan hak-hak rakyat soal konflik agraria. Namun, ada pula ketua yang dalam benaknya cuma berisi “keuntungan” doang.
Sebut saja, ketua yang sangat memperjuangkan kepentingan rakyat dan mengawal kasus-kasus mereka soal tambang menambang serta konflik agraria ini adalah Pak Busyro Muqoddas, Ketua bidang Hukum, HAM, dan Hikmah. Beliau kerap turun ke masyarakat – bukan gorong-gorong – untuk mendengarkan curahan hati para korban ketidakadilan lalu berupaya untuk menyelesaikannya. Termasuk kasus rencana bisnis ekstraktif di Kabupaten Trenggalek.
Saya senang sekali memiliki pemimpin seperti Pak Busyro. Selain memiliki sikap pembelaan terhadap wong cilik, beliau juga layak untuk dijadikan teladan. Kalaulah saya boleh menyebut, Pak Busyro salah satu penerus representatif ajaran-ajaran Kyai Dahlan. Yakni, beliau (Kyai Ahmad Dahlan) telah selesai dengan diri sendiri, lantas mengambil penderitaan orang lain menjadi bagian penderitaannya sendiri, lalu atas ilmu pengetahuannya mencarikan solusi. Yang demikian sungguh indah untuk dijadikan teladan ideologis.
Di sisi lain, ada Ketua Muhammadiyah yang cenderung menerima bisnis ekstraktif dengan dalih kemaslahatan umat. Sebut saja Pak Muhadjir Effendy, Ketua Muhammadiyah bidang Ekonomi, Bisnis, dan Industri Halal, yang juga menjadi kaki tangan Presiden Jokowi. Jauh-jauh hari, ia pernah berkata begini ketika dicurhati soal rencana tambang emas Trenggalek oleh Pimpinan Daerah (PD) Muhammadiyah Trenggalek: “Jangan cuma tolak-tolak, kalau perlu ikut menjadi pengelola”.
Tentu saja, jawaban mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Malang tersebut membuat pimpinan daerah ketar-ketir. Mengingat saat ini, bersama-sama dengan 25 elemen masyarakat, termasuk Ansor Trenggalek, Muhammadiyah Trenggalek kompak menolak bisnis ekstraktif di Trenggalek.
Oh ya, sebenarnya sudah muncul sinyalemen penolakan maupun peringatan terhadap tawaran tambang emas dari Pemerintah ke Ormas oleh elemen-elemen di Muhammadiyah sendiri. Di antaranya Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah, Majelis Tarjih dan Tajdid, Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik, DPD Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah DIY, Lembaga Bantuan Hukum dan Advokasi Publik, dan masih banyak yang lainnya.
Pro kontra sebenarnya sudah biasa di lingkungan organisasi manapun, tidak terkecuali Muhammadiyah itu sendiri. Namun, berselisih paham hanya soal tawaran izin konsesi tambang di tubuh Muhammadiyah adalah hal yang tidak masuk akal. Ini seolah menurunkan marwah Muhammadiyah yang sejak lama dikenalkan sebagai organisasi kaya raya.
Atau memang itu tabiat kaya raya, selalu ingin lebih dan lebih, hingga memudarkan gerakan Muhammadiyah dari gerakan sosial menjadi gerakan kapital. Lantas, melupakan bahwa dirinya adalah pendiri bangsa, yang seharusnya memposisikan diri sebagai perawat anaknya, yakni Indonesia.