Pemuda Desa dan Jerat Urbanisasi

Nggalek: ditinggal ngangeni, ditunggoni ora sugih-sugih.

Pemuda desa tidak pernah takut dengan kerja keras. Mereka lebih takut dibilang ndesa! Banyak dari mereka, pemuda-pemudi desa itu, yang menganggap bahwa wong kutha sebagai kata pujian dan wong ndesa sebagai kata ejekan. Maka tidak heran angka urbanisasi, minggatnya para pemuda desa menuju kota semakin meningkat. Tanah gersang dan hawa sesak perkotaan dirasa lebih cocok untuk menata masa depan mereka, para pemuda desa ini.

Istilah ibu kota lebih kejam daripada ibu tiri tidak membuat gentar nyali. Angka kriminalitas perkotaan yang tinggi tapi mereka tetap berani. Yang penting mereka bisa mencicipi sensasi hidup di perkotaan. Bisa bergaya, ber-loe-gue, dan dekat dengan tempat-tempat yang instagramable. Gaya hidup perkotaan yang menjadi impian kawula muda di desa.

Alasan ekonomi? Sekilas alasan ini adalah yang paling utama pemuda desa menjadi kaum urban. Di desa mereka tidak bisa mencari penghasilan. Pembangunan yang tidak merata menyebabkan kehidupan di desa identik dengan derita dan nestapa. Minim lowongan kerja, minim pula sarana dan prasarana untuk mencari rupiah.

Namun jika dilihat lebih cermat, alasan itu tidak sepenuhnya tepat. Penulis sendiri pernah menjadi kaum urban di Jakarta. Pernah menjadi buruh di pabrik pemotongan ayam, pernah pula menjadi buruh di percetakan. Rata-rata gaji yang penulis peroleh waktu itu (tahun 2008) adalah Rp 2.500.000/bulan. Biaya hidup untuk makan dan kost mencapai Rp. 1.500.000/bulan. Jika dikurangi lagi oleh tetekbengek seperti pulsa dan jajanan, sebulan dapatlah menabung 500-800 ribu. Dengan penghasilan seperti di atas, penulis harus bekerja minimal 8 jam/hari. Hidup dijalani sebatas untuk bekerja dan istirahat yang bahasa keren-nya mulai mengalamai alienasi-keterasingan.

Bisa dibandingkan dengan membuka usaha di daerah perdesaan. Membuat 2 kolam lele berukuran 4×8 meter, rata-rata dapat menghasilkan laba 1.000.000-1.500.000 tiap kali panen. Atau membuat counter cellular dengan modal awal 5.000.000 dapat menghasilkan laba rata-rata 700.000-1.500.000 tiap bulan. Dan menjadi petani, menanam tanaman yang nilai ekonomisnya lumayan tinggi seperti mentimun atau tembakau.

Tanaman tmbakau sebanyak 15ribu batang dapat menghasilkan penghasilan kotor lebih dari 15.000.000. (jika lahan menyewa, biaya sewa lahan dan pekerja sekitar 10.000.000) jika lahan milik sendiri, bisa mengantongi laba bersih sekitar 10.000.000 tiap panen. Dan ini merupakan income pasif. Maksudnya, pekerjaan itu tidak menyita banyak waktu. Masih dapat ditinggal ngopa-ngopi, kuliah, mengajar dan aktivitas kemanusiaan lainnya untuk menghindari alienasi-ketarasingan.

Nyatanya lebih mudah menjadi “manusia” di desa daripada di kota. Sebagai lulusan dari SMK yang dicetak sebagai generasi yang siap kerja, penulis juga mengalami bagaimana rasanya berburu pekerjaan di kota. Sesaat setelah dinyatakan lulus, 98% kawan-kawan penulis segera membuat lamaran pekerjaan dan menyebarkannya ke pabrik-pabrik di kota-kota besar. Memang banyak yang kemudian diterima. Namun selang beberapa tahun, banyak dari mereka yang tidak betah bekerja sebagai buruh di pabrik dengan alasan yang sama: lelah dan tidak ada peningkatan taraf kesejahteraan.

Mereka yang memutuskan pulang kampung (termasuk penulis) justru dapat menata kehidupan yang lebih baik. Ada yang membuka jasa sablon, membuka toko pracangan, membuat kandang ayam, membuka bengkel elektronik, membuka counter cellular, membuat budi daya jamur, membuka warung bakso, berdagang sayuran di pasar, bertani mentimun, bertani sayur-mayur, dan lain sebagainya. Memang saat reuni digelar, penampilan kami yang berproses di desa tampak lebih ndesa. Sedangkan penampilan yang bekerja di kota cukup instagramable. Namun kami yang pernah merasakan kehidupan di kota (sebagai pekerja menengah ke bawah) tahu benar bagaimana sebenarnya perjuangan hidup mereka di kota.

Jadi, jika dikatakan bahwa perkotaan menjanjikan kekayaan yang melimpah, tidak sepenuhnya tepat. Kota hanya menawarkan pabrik-pabrik yang memerlukan buruh. Dan menjadi buruh pabrik itu tidak berjenjang karir. Justru jenjang karir utamanya karir kewirausaan itu lebih menjanjikan jika memulainya dari pedesaan. Contohlah bupati dan wabup kita. “Pulangnya” Mas Emil Dardak dan Mas Ipin ke kampung beberapa tahun silam dalam rangka pencalonan diri menjadi AG-1 dan 2 untuk memulai karier politik mereka adalah contoh praktis bahwa perjuangan dari desa lebih menjanjikan. Setelah sukses di desa baru ber-urban (lagi) ke kota. Lhadalah…

Artikel Baru

Artikel Terkait