Pagi kemarin akan menjadi pagi yang berbeda, andai jalanan yang saya lewati tak dilanda banjir. Pagi-pagi saya sudah mempersiapkan diri untuk mengikuti upacara bendera di Trenggalek, tepatnya di depan kantor Bapemas. Saya akan mengikuti upacara bendera setelah 7 tahun absen. Pagi betul saya sudah mempersiapkan diri, mandi, sarapan dan berdandan rapi.
Pukul enam pagi lebih sedikit, saya panasi mesin motor, lalu bertolak menuju barat. Jalan depan rumah tak basah, meski ada sedikit becek sisa hujan. Perjalanan saya langsung menuju arah kota Trenggalek. Sempat menjumpai semangat nasionalisme di sana-sini. Rute yang saya ambil adalah jalur Sumber, Desa Prigi melalui Apak Broto tembus depan polsek Desa Gemaharjo.
Sampai di Desa Watulimo, jalanan basah. Daerah sini ternyata hujan. Saya kira intensitas hujan semalam di daerah bagian atas ini cukup tinggi. Terlihat tanah yang terhanyut terbawa air tergenang di bahu jalan. Air yang mengalir di jembatan Watulimo juga cukup tinggi. Lumpur ikut tergenang di bahu jalan serta di beberapa di kelokan. Saya harus hati-hati, karena selain lumpur, kontur jalan naik turun agak licin.
Perbatasan Watuagung dengan Sripit—nama yang daerah masuk Kecamatan Bandung, Tulungagung—ramai dan lancar. Saya berpapasan, salip-menyalip, dengan beberapa anak sekolah berseragam lengkap. Di antara mereka ada yang memakai baju putih-putih lengkap dengan pin bendera merah putih di dada sebelah kiri. Motor yang saya kendarai melaju dengan kecepatan standar. Saya menikmati perjalanan seraya membayangkan betapa senang kembali bisa ikut upacara bendera setelah enam atau tujuh tahun absen.
Suasana tak berbeda setelah melewati depan pasar Brombong. Di pinggir jalan, banyak orang berdiri dan berbincang. Saya tak tahu apa yang mereka obrolkan. Saya tetap memacu motor dengan kecepatan standar. Barangkali ini yang dibicarakan warga di perlintasan jalan itu. Ya, tanda-tanda tak bersahabat mulai terlihat. Barangkali yang dibicarakan orang di pinggir jalan tadi adalah jalan yang tak bisa ditembus oleh kendaraan. Banjir menggenang jalan cukup tinggi. Tepatnya, jalur di depan makam Krapyak, Talun Kulon. Tempat ini memang langganan banjir dari dulu.
Sesampai di kerumunan banjir, setelah memastikan motor terjagang, saya berjalan mendekat jalan yang tergenang. Saya melihat mobil warna putih, berhenti di genangan air tak mampu menerobos arus air. Mobil itu bersikeras menyeberang menuju ujung. Setelah melihat dan sesaat mengambil gambar dari ponsel, saya pun berjalan kembali ke tempat motor. Di tempat parkir motor, saya jumpai seorang teman yang ingin upacara di kantornya, Tulungagung. Tapi nasionalisme mereka terhadang banjir.
Belum selesai ia bicara, saya menoleh ke arah utara, tepat beberapa anak sekolah dan beberapa warga dekat mobil yang ingin melintas. Di sisi sebelah utara agak ke barat, saya melihat anak-anak sekolah yang tadi berpapasan. Mereka memakai seragam putih-putih: seragam pasukan pengibar bendera, paskibraka. Saya melihat, salah satu di antara mereka tampak lesu. Barangkali ini adalah momen yang luar biasa dan pertama sebagai petugas pengibar bendera. Saya bisa membayangkan, betapa bangga dan sedihnya mereka.
Ini adalah lamunan seorang pemuda yang dahulu tak sempat menjadi anggota paskibraka. Musibah banjir yang menggenangi jalur utama Kecamatan Watulimo dengan Kecamatan Bandung ini menghalangi mereka yang ingin beraktivitas tepat di tanggal tujuh belas Agustus. Nampak dalam kerumunan itu adalah anak-anak sekolah yang ingin mengikuti upacara bendera, guru-guru, pak polisi serta para warga. Saya melihat polisi dan tentara bersepatu vantofel berseragam dinas dan masih di-jaket-i juga tak bisa ikut upacara atau berjaga.
Saya sendiri pun ngalamat menambah daftar panjang tak ikut upacara bendera pada suasana hari kemerdekaan tahun ini. Tak berpikir lama, saya pun memutuskan menyalakan motor, untuk lewat jalur Padas, Gemaharjo-Pakel tembus di Kampak.
***
Upacara bendera 17-an adalah momem yang mengesankan bagi warga negara. Bisa ikut upacara di lapangan, bagi yang sudah lama meninggalkan lembaga pendidikan sekolah, adalah sesuatu. Nampak sakral karena upacara bendera tujuh belasan dilaksanakan setahun sekali.
Asa saya ikut upacara di Trenggalek masih ada, meski waktu terus melaju, yang pada saat itu menunjukkan pukul setengah 7. Ya, saya memutuskan untuk menempuh jalur Kampak menuju Trenggalek. Saya tetap waspada, karena rute ini juga berkelok-kelok dan jalan sedikit tergenang air. Sesampai di depan kantor Desa Pakel, saya lihat beberapa orang tengah nonton arus air di sungai. Ternyata di sebelah utara jembatan itu—di bawah kantor Desa Pakel—ada rumah warga yang ambruk, tak kuat menahan curah hujan semalam. Beberapa orang kerja bakti membersihkan puing-puing kayu yang berserakan.
Saya tetap menelusuri jalur ini dengan hati-hati. Kontur jalan berkelok-kelok dan naik turun. Tepat di jalur pinus-pinus utara Gua Ngerit, tanah longsor menghadang jalan. Di sini ada lima orang bapak dan satu bapak bertopi dinas membenahi jalan. Para bapak itu membersihkan lumpur yang menghalangi jalan, sementara bapak bertopi dinas memberi peringatan supaya berjalan agak menepi dan bergantian. Ada beberapa pohon pinus tumbang, tanah melorot hingga ke bahu jalan, yang sedang dibersihkan bapak-bapak tadi.
Selepas jalur pertigaan Kampak-Gandusari dan setelah melintasi pertigaan tong arah masuk ke rute Gandusari, saya memilih melewati jalur Gandusari dengan perhitungan waktu yang lumayan singkat. Di tengah jalan ada teman yang memberitahu bahwa jalur Gandusari tidak bisa dilalui sebab arus air sangat kencang dengan ketinggian sepinggang orang dewasa.
Saya akhirnya belok kanan mengambil jalur Kampak. Melewati pertigaan utara SMAN 1 Kampak, lalu belok kiri dan naik jembatan, ternyata banyak warga yang membersihkan rumah. Lumpur yang terbawa oleh air dari hujan semalam masuk dalam rumah. Saya tetap dalam perjalanan menuju ke Trenggalek. Di jalur ini banyak anak-anak berseragam melintas. Dengan tetap melaju ke sisi sebelah utara jalan, melintasi pertigaan Kampak-Munjungan belum nampak ada banjir. Baru sampai di melewati daerah Desa Ngrayung, tepatnya di depan kantor Desa Ngrayung antrian mobil terasa. Karena mobil-mobil tidak melintas. Tersebab jalur Kampak-Munjungan tidak bisa dilewati, arus banjir di jalan sangat deras. Di sini pula banyak para pelajar dengan seragam putih-putih, para tentara, polisi, mobil PLN tidak bisa melintas. Debit air yang tinggi ditambah arus yang besar, mengakibatkan saya menjadi terisolasi lagi menuju kota Trenggalek.
Saya menunggu beberapa menit sebelum kemudian menurunkan jagang motor. Berjalan persis seperti yang saya lakukan waktu di depan makam Krapyak, Talun Kulon tadi. Saya maju ke depan mengambil beberapa gambar dari kerumunan warga yang nekat menyeberang. Gambar tersebut sebagai dispensasi: akan saya kirim sebagi bukti, tidak mengikuti upacara bendera di kantor Badan Pemberdayaan Masyarakat. Setelah itu, saya berjalan kembali ke arah motor yang saya parkir di pinggir jalan. Di balik kerumunan warga, terlihat mobil oranye, tertulis basarnas, dan Bupati Emil menyeberang. Saya tak tahu, Bupati muda ini mau ke mana, ia sepertinya hendak mengunjungi korban banjir di daerah Kampak. Saya tak menghiraukan itu, karena tujuan saya memang bagaimana caranya untuk bisa mengikuti upacara bendera.
Setelah memastikan tak bisa menyeberang dan rasa putus asa hinggap di benak, saya mantap tidak ikut upacara. Jam di handphone sudah menunjukkan setengah 9. Artinya, upacara bendera di lapangan sudah selesai. Saya putuskan kembali ke rumah. Berniat mengikuti upacara bendera yang belum dimulai di Istana Negara langsung dari layar kaca.