Ketika isu mengenai eksplorasi kandungan emas di wilayah Trenggalek mulai mengemuka, saya berasumsi warga terbelah menjadi tiga kelompok berdasarkan persepsi mereka. Kelompok pertama adalah mereka yang peduli, kemudian merasa cemas karena keyakinan bahwa tambang adalah binatang mahabuas yang akan membuat lingkungan hidup di kawasan ini semakin hancur. Kelompok kedua adalah mereka yang boleh punya pengetahuan tentang dampak buruk pertambangan, tetapi tidak punya kepedulian. Kelompok ketiga adalah mereka yang lebih menaruh harapan untuk—atau mengira akan dapat—nunut mukti ketika bongkahan atau lempengan-lempengan emas berhasil diangkat dari dalam tanah, yang ditanami singkong pun semakin susah itu.
Seiring dengan perjalanan waktu menuju pelaksanaan kegiatan penambangan (emas) itu nanti yang akan semakin tampak adalah “kelompok pertama” dan “kelompok ketiga”. Artinya, tinggal dua kelompok yang akan semakin dikenal dengan sebutan kelompok pro dan kelompok kontra. Kelompok kedua tadi bisa semakin hilang dari perbincangan. Atau benar-benar hilang setelah melebur ke dalam kelompok pro atau kontra. Dua kelompok bisa tumbuh, dan demikinlah kecenderungannya, sebagai bom waktu.
Bahwa Mas Ipin sebagai bupati telah menyatakan sikapnya, berdiri bersama kelompok kontra tambang emas di wilayahnya, itu kabar baik. Tetapi, itu belum bisa jadi jaminan bahwa kelompok pro akan surut. Bisa jadi malahan tumbuh dengan ’pupuk’ yang dipertinggi dosisnya. Operasi penambangan emas seperti yang akan dilakukan di beberapa lokasi di Kabupaten Trenggalek ini pasti melibatkan perusahaan dengan modal besar. Bukan seperti yang dilakukan dengan modal mesin (penyedot lumpur) portable yang dapat digotong beberapa orang atau bahkan dijinjing dengan mencuri-curi memasuki hutan di wilayah pedalaman.
Maka, yang kemudian dapat terjadi adalah berhadap-hadapannya dua kelompok dengan energi kemarahan masing-masing yang sewaktu-waktu dapat meledak dan berkobar menghanguskan bukan hanya yang kasatmata, melainkan juga sendi-sendi kehidupan sosial di masyarakat yang selama ini kita bangga-banggakan sebagai penuh kedamaian, ayem-tentrem walaupun belum kerta raharja. Kelompok kontra digerakkan atau didorong oleh keyakinan, ideologi, keterpanggilan untuk membela alam yang terus dan akan semakin dianiaya. Sementara itu, kelompok pro penambangan yang semula keras berteriak semakin beringas pula beraksi setelah dapat asupan dana dalam jumlah yang membuat mata mereka terbelalak berbulan-bulan lamanya.
Berkelindannya semua variabel yang memungkinkan dua kubu yang saling berseberangan dalam menyikapi rencana/pelaksanaan penambangan semoga saja hanya berhenti di: angan-angan. Jika itu menjelma jadi kenyataan, penampakannya akan menyerupai balon raksasa yang terus ditiup, lalu meledak dan menyebarkan abu vulkanik yang tidak dapat lagi dibendung dalam batas kabupaten, provinsi, bahkan negara.
Maka, apakah kelompok kontra (penambangan emas di Trenggalek) sudah merasa cukup ketika Mas Ipin sebagai bupati telah menyatakan sikap penolakannya? Jawab: belum. Buktinya, kemudian ada yang segera membuka penerimaan dukungan melalui petisi daring. Masih ada setumpuk pekerjaan berat yang tampaknya (berdasar penglihatan jarak jauh saya) belum mulai disentuh. Padahal, jika sampai kepancal sepur, urusannya bisa kelewat gawat. Baiklah, coba mari kita hitung banyaknya pekerjaan itu dengan bantuan pertanyaan-pertanyaan.
Mengapa penambangan emas di wilayah Kabupaten Trenggalek harus ditolak? Ceramah setengah hari bisa belum tuntas untuk menjawab pertanyaan itu. Apalagi kalau banyak interupsi dari peserta yang berhadapan langsung maupun peserta daring. Padahal, jawaban atas pertanyaan ini sebaiknya diketahui oleh seluruh warga Trenggalek, yang jauh dari lokasi penambangan apalagi yang dekat. Jawaban yang dimaksudkan di sini bukan yang berupa kalimat singkat model soal ujian semester itu, melainkan yang dikuasai utuh beserta konsepnya. Sehingga, jika dikejar dengan pertanyaan turunannya, si penjawab tidak bakal gelagapan.
Untuk memberikan wawasan yang utuh kepada warga, modalnya tidak cukup pengetahuan teoretis. Adalah penting untuk melibatkan foto, video, dari wilayah penambangan yang sudah berjalan, termasuk rekaman percakapan dengan warga yang hidup di sekitar area penambangan. Itu bukan pekerjaan yang dapat diselesaikan sehari dua hari. Dan belum ada yang memulai? Semoga saja sudah.
Siapa saja (dan berapa banyak warga) yang per hari ini secara terbuka menyatakan penolakannya atau berdiri bersama kelompok kontra? Itu dapat diketahui secara gradagan, misalnya melalui unggahan di status masing-masing akun medsos-nya. Untuk sementara kita boleh berasumsi, para akun penolak (kontra) itu bisa saja memasang unggahan sebagai hanya pencitraan. Tetapi, bukankah kita bisa mengajak mereka untuk lebih ”pencitraan” lagi melalui aksi-aksi yang lebih nyata? Pertanyaan berikutnya, Sudahkah para penolak itu mengorganisasi diri? Aksi unjuk rasa penentangan sudah pernah terjadi. Apakah kekuatan itu masih terkotak-kotak di wilayah-wilayah sempit, per kecamatan, ataukah sudah terbangun jejaring aktivis penolak tambang emas di Kabupaten Trenggalek?
Bahwa Bupati dan kemudian Wakil Gubernur yang mantan Bupati Trenggalek menyatakan sikap penolakannya, mestinya dapat dipandang sebagai modal yang dapat segera dikelola dengan baik. Mengingat pasti ada masa kadaluwarsanya, terkait masa jabatan mereka, dan lain-lainnya. Tanpa dukungan penuh dari warga, mereka berdua itu hanya bisa bersandar pada peraturan/perundang-undangan. Misalnya peraturan mengenai perlindungan terhadap kawasan karst yang terbukti, misalnya, sedemikian tembre-tembre-nya di hadapan ”modal industri semen”. Ada lagi soal amdal, yang, bahkan dalam kasus ”Semen” di Jawa Tengah kita bisa tahu bahwa laporan amdal yang dibuat para akademisi/ahli, tak selalu bisa dipercaya!
Mohon dimaafkan jika tulisan pendek ini terlalu ngalor-ngidul. Harus diakui bahwa memang terlalu kuat kekhawatiran yang mendorongnya, berkat penglihatan yang kurang awas mengenai gerak-gerik dan gelagat para aktivis yang tak bosan-bosan menyerukan penolakan terhadap penambangan emas di kawasan Trenggalek. Berdasar penglihatan yang kurang awas itu, yang tampak selama ini adalah bahwa semangat penolakan itu masih terasa elitis, tidak mengakar sampai lapis terbawah masyarakat. Di sisi lain, tampak pula bahwa Trenggalek tidak punya cukup modal kultural seperti yang dimiliki para sedulur Samin di Pati, misalnya (cerita selengkapnya di tulisan pendek berikutnya, ya?) untuk membela keselamatan ibu-bumi-nya.
Maka, jika pertanyaan seperti yang jadi judul tulisan ini mengiang-ngiang pula di benak sampeyan, boleh-lah kapan-kapan kita ngopi bersama. Wassalam.