Munjunganisme

Ketertinggalan dan terabaikan dalam pembangunan adalah hal yang lumrah dirasakan warga masyarakat Kecamatan Munjungan, Trenggalek. Ketika warga kecamatan lain telah berpuluh tahun menikmati gilang-gemilangnya sinar lampu neon (daya listrik PLN), orang-orang Munjungan baru akhir tahun 2000-an bisa ikut merasakannya. Itu pun baru sebagian kecil masyarakat di sana.

Ketika warga masyarakat kecamatan lain di Kabupaten Trenggalek telah bertahun-tahun menikmati mulusnya aspal hotmix di jalan-jalan desanya, warga Munjungan baru merasakan syahdunya meluncur di jalanan hotmix baru pada tahun 2015, setelah 70 tahun Proklamasi Kemerdekaan. Itu pun baru sepanjang 8.8 Km dan hanya di jalan kabupaten: jalan penghubung antar-kecamatan. Bukan di jalan penghubung antardesa.

Meng-cover tidak lebih dari 50% jalan kabupaten ruas Buluroto-Perempatan Munjungan, yang kemudian disambung oleh kegiatan yang serupa pada tahun berikutnya sepanjang 4 Kilometer. Diakui atau tidak, kegiatan pengaspalan hotmix itu dilakukan dinas terkait (antara lain, Bina Marga), karena terpaksa. Terpaksa harus dilaksanakan setelah berbagai tekanan dan drama harus terjadi lebih dahulu: dari drama “penyanderaan” tahun 2011 di pendopo kecamatan Munjungan hingga aksi demo besar di pendopo kabupaten pada 2012. Terpaksa-lah ini harus dilaksanakan walaupun sebelumnya tidak diagendakan.

Masih lekat dalam ingatan masyarakat Munjungan, pernyataan-pernyataan dari berbagai pihak  dan dinas terkait, yang me-nelangsa-kan hati: bahwa secara teknis jalan-jalan di Munjungan tidak layak di-hotmix-kan karena alat berat/alat kerja tidak bisa dimobilisasi ke lokasi; bahwa dikhawatirkan suhu ideal aspal tidak mencukupi saat penghamparan; dan berbagai alasan lain yang banyak.

Tentu saja itu semua adalah alasan pembenaran atas ketidak-niatan Pemkab (dinas terkait) melihat ketertinggalan infrastruktur di Munjungan sebagai sebuah prioritas. Jawaban atas alasan-alasan tersebut adalah sebuah fakta bahwa pada akhirnya jalanan hotmix itu bisa terbangun tahun 2015 dengan lancar tanpa kendala (dan dengan begitu, menegasi deret alasan dinas terkait di atas tadi).

Tidak dapat dipungkiri akses transportasi di Kecamatan Munjungan dari/ke kecamatan-kecamatan terdekatnya dihadapkan pada kendala geografis yang memang tidak ringan. Jalan kabupaten ruas Munjungan-Watulimo telah ditidurkan selama 3 periode kepemimpinan kepala daerah. Kondisinya kini seperti sungai kering berbatu lepas, yang hanya layak dilintasi para petualang adventure dan trail, persis senasib-sepenanggungan dengan ruas Munjungan-Panggul.

Kedua jalur ruas jalan kabupaten tersebut seperti Upin dan Ipin, telantar tanpa kasih sayang seorang bapak. Ruas Munjungan-Dongko tidak kalah mengenaskan, dengan lebar jalan yang hanya 3 meter, elevasi tanjakan/turunan yang ekstrim, tikungan-tikungan fenomenal, di-combine dengan kedalaman jurang di kiri-kanan jalan dan aspal mbrodhol di sana sini. Sangat tidak bersahabat, bahkan untuk kendaraan roda 2 sekalipun.

Maka, hanya “para sopir berjiwa pendekar” saja-lah yang ikhlas ridhlo lillahi ta’ala melintas jalur tersebut. Demikian itu kondisi riil jalan-jalan di Munjungan, seperti Bumi dan Jupiter dibanding dengan kecamatan-kecamatan lain tetangganya, yang jalan-jalan desanya pun telah diluluri aspal hotmix. Kau di sana… dan aku di sini…, satu nasab beda nasib. Dhuhhh…

Tak terhitung angka kecelakaan mobil maupun motor yang terjadi sejak ruas-ruas jalan tersebut eksis hingga sekarang. Terutama ruas Munjungan-Kampak, karena jalur inilah yang menjadi andalan mobilitas warga. Korban nyawa, materi dan luka-luka adalah senandung ngeri yang kerap terjadi bahkan hingga saat ini. Cermin tikungan atau convex mirror/safety mirror yang sangat dibutuhkan pun tidak pernah satu pun terpasang di tikungan-tikungan tajam yang selalu menjadi blank spot pengguna jalan. Pagar pengaman jalan (guardrail) pun baru dipasang di titik-titik tertentu setelah terjadi kecelakaan dengan kerugian besar dan berita yang heboh di medsos dan di media-media online.

Minimnya drainase jalan dan curah hujan yang rata-rata tinggi  menambah laju kerusakan badan jalan. Kesabaran komunal masyarakat Munjungan diuji ketika pada tahun 2011 deformasi infrastruktur jalan utama kabupaten ruas Munjungan-Kampak mencapai puncaknya. Seringkali ditemui pada saat itu mobil ambulan gagal naik tanjakan, roda slip karena jalan licin. Berbatu dan lumpur. Bahkan pasien pun harus dikeluarkan dari mobil ambulan, ditandu dipikul beramai-ramai dengan selang infus masih menancap di lengan layaknya antena WiFi jaman now. Sementara anggota masyarakat  yang lain beramai-ramai mendorong dan menarik ambulan agar lolos melintas. Ujian kesabaran level dewa.

Kini di awal tahun 2018, kembali masyarakat Munjungan diuji dengan materi uji kelas malaikat. Longsoran Gunung Jugrug menutup total akses normal jalur Munjungan-Kampak. Keterisolasian membentang di depan mata. Tertutup sudah akses ekonomi, pendidikan, kesehatan dan sosial yang selama ini diandalkan. Dua jalur alternatif yang menjadi pilihan sementara, kondisinya sangat renta. Jauh dan berat. Ekonomi biaya tinggi membayangi, ongkos transportasi menjadi sangat mahal. Kenaikan harga komoditas pabrikan menjadi keniscayaan. Di lain sisi, harga komoditas hasil pertanian yang menjadi andalan masyarakat Munjungan menjadi semakin murah. Masyarakat Munjungan tetap harus lulus dengan ujian kali ini sekalipun passing grade-nya dinaikkan.

Sejarah lokalisme—meminjam istilah Mbah Paijo—Munjungan mencatat, betapa masyarakat Munjungan telah terbiasa dengan ketertinggalan dalam pembangunan. Keadaan ini membentuk kesadaran kolektif masyarakat Munjungan bahwa ketertinggalan harus dijawab dengan kekompakan dan gotong-royong.

Era tahun 90-an, menjadi tonggak kebangkitan infrastruktur jalan di Munjungan. Pada masa ini masyarakat berlomba-lomba menggalang dana untuk mengaspal jalan-jalan kampung secara swadaya. Fenomena swadaya ini mewabah dan massif terjadi di setiap sudut kampung, di semua desa. Iuran swadaya diatur sedemikian rupa, dibagi secara undha usuk untuk setiap wuwung demi keadilan. Nilai yang diyakini masyarakat bahwa adil itu tidak harus selalu rata/sama.

Lalu muncul-lah program-program bantuan material aspal dari pemerintah daerah sebagai stimulan. Pada saat itu tak ada jalan kampung yang tidak mulus walaupun baru sekelas lapen. Spirit  kekompakan dan kegotong-royongan yang masih terpelihara hingga kini ini-lah yang kemudian mengejawantah menjadi sebuah gerakan yang meluas.

Even-even kerja bakti menambal lubang-lubang jalanan maupun membersihkan badan jalan setiap saat diagendakan oleh komunitas-komunitas masyarakat. Kini masyarakat Munjungan kembali dipersatukan oleh alam dan keterisolasian. Dengan ataupun tanpa empati pihak lain, masyarakat Munjungan akan terus bergerak menunjukkan jati dirinya dan menjawab keterisolasian dengan gayanya sendiri.

Berikut video-video aksi masyarakat Munjungan:

Artikel Baru

Artikel Terkait