Nasib Hutan Munjungan

“Hijau bumiku, biru lautku” adalah sebuah ungkapan yang tidak asing di telinga, karena mewakili kekayaan alam Indonesia. Begitu juga kondisi Kabupaten Trenggalek, yang secara geografis terletak di daerah pegunungan dan lautan, lebih khusus lagi wilayah kecamatan Munjungan. Gunung dengan banyak pohon dan laut adalah perpaduan antara hijau dan biru. Kecamatan ini merupakan wilayah yang bersinggungan dengan pegunungan-perbukitan serta wilayah lautan. Wilayah desa yang berada di jalur selatan ini sebentar lagi akan menjadi jalur lintas selatan. Menghubungkan antarkecamatan di pesisir Trenggalek: Watulimo di timur dan Panggul di barat.

Barangkali kini gambaran tersebut mulai terkikis, sebab banyaknya pegunungan atau perbukitan yang sudah beralih fungsi dari sebelumnya. Sebelum era reformasi, masyarakat sekitar masih takut dengan pemerintah, melalui peraturan perhutani yang melarang membuka atau memanfaatkan hutan—yang merupakan kawasan hutan lindung—menggunakannya sebagai hutan produksi. Dengan begitu, pegunungan di Munjungan masih sangat hijau dan berkategori hutan “perawan”. Karena belum terjamah tangan-tangan nakal dengan nafsu mengeruk keuntungan darinya.

Setelah tahun 1998, pasca Reformasi, masyarakat secara berani dan tidak lagi punya rasa takut dengan perhutani: memporak-porandakan hutan lindung yang ada di wilayah ini tanpa terkecuali. Kebutuhan materi semakin meningkat selaras dengan gaya hidup yang ke-kota-kota-an, memaksa masyarakat pedesaan tidak lagi malu mengambil hijau pegunungan, dipaksa melayani nafsu dan godaan material untuk memenuhi gaya hidup. Gaya hidup meniru kebiasaan orang-orang kota dengan berbagai macam fasilitas hidup yang serba mewah dan modern seperti misalnya gaya berpakaian, berkendaraan, rumah tinggal hingga berbagai peralatan rumah tangga. Orang desa tidak mau kalah dengan gaya hidup orang kota.

Banyak orang di luar Kecamatan Munjungan yang kebetulan berkunjung terperangah melihat semakin majunya ekonomi yang ada di Kecamatan Munjungan. Apalagi kalau berkunjung ke sebuah desa paling timur Kecamatan Munjungan, pasti akan terheran-heran. Ini terjadi karena melihat kondisi geografis: kontur tanah yang tidak rata di-bangun-i rumah-rumah model baru dengan ukuran dan hiasan yang beraneka. Sangat mengherankan, di desa pinggiran banyak perumahan dengan model dan bentuk yang tidak kalah dengan rumah-rumah perkotaan.

Dalam ilmu fisika pernah ada ungkapan, “Semakin besar tekanan semakin banyak gaya.” Ungkapan ini bisa saya pakai di sini: bahwa semakin orang banyak aksi dengan membangun rumah-rumah besar nan indah juga membeli kendaraan di bawah kemampuan wajar dirinya, jangan-jangan salah satu bentuk gaya yang dihasilkan dari adanya tekanan. Tekanan itu bisa berasal dari tetangga, dari sahabat, yang lebih intens lagi adalah adanya tekanan yang dilakukan oleh media cetak atau elektronik yang semakin hari kuat menekan dengan berita atau ulasan yang memamerkan gaya kehidupan mewah. Serial-serial tv dan sinetron—yang ditonton masyarakat—mempertontonkan kehidupan high class, yang lambat laun juga meracuni masyarakat.

Demi mengikuti gaya hidup yang kian tak terbeli ini, diambillah jalan singkat dengan memaksa “sang hutan” untuk memenuhi kehidupan masyarakat yang sudah teracuni oleh tekanan-tekanan di atas, mengeruk habis-habisan potensi hutan yang hijau, untuk diambil pohon-pohon yang bisa menyerap air dengan baik seperti pohon terembesi, mahoni, bambu dan pohon besar yang bisa menyerap dan menjadi penahan tanah. Belum lagi pohon-pohon itu kemudian diganti dengan pohon-pohon produksi seperti cengkih, pisang kelapa dan sebagainya. Keadaan seperti ini tidak baik, seperti misalnya ketika musim hujan memaksa air melanda karena tak tertampung. Banjir pun datang dan longsor tak bisa dihindari. Karena pohon-pohon penahan dan penyerap air sudah jarang atau bahkan tidak dapat ditemukan lagi.

Seperti beberapa hari kemarin yang terjadi di Kecamatan Munjungan. Ada beberapa titik tanah longsor yang sempat menutup akses jalan yang menghubungkan dua desa yaitu Desa Bendoroto dan Bangun. Juga longsor yang mengenai rumah warga yang berada di Desa Tawing, serta banjir bandang yang menyebabkan putusnya jembatan dan tergerusnya bangunan SD Bendoroto I: mengakibatkan 3 lokal bangunannya terseret banjir beserta alat gamelan kepunyaan sekolah tersebut, dan masih banyak lagi kerugian lain.

Tidak jauh berbeda, bibir pantai kian hari juga semakin kotor karena masyarakat sekitar banyak membuang sampah ke sungai. Ini terjadi karena kurang sadar akan pentingnya kebersihan sungai. Sampah-sampah tersebut akhirnya terbawa sampai ke bibir pantai. Potret ini sangat tidak sedap dipandang mata sekaligus juga bisa menyebabkan berbagai macam penyakit.

Semakin padatnya perumahan tanpa menyisakan ruang untuk menjadi tempat pembuangan sampah menjadi salah satu penyebab masyarakat mengambil langkah mudah dengan membuang sampah di sungai. Karena itu, dibutuhkan fasilitas-fasilitas pembuangan sampah bersama. Dibutuhkan juga campur tangan pihak-pihak terkait (pemerintah) untuk memberikan pemahaman sekaligus menerapkan peraturan yang ketat guna mengatasi kebiasaan masyarakat yang sudah menahun itu.

Apakah dengan kejadian banjir itu kita akan menyalahkan alam yang sudah tidak bersahabat ataukah kita yang sudah tidak mau bersahabat dengan alam?

Ternyata sampai saat inipun Kecamatan Munjungan tidak mempunyai  TPA (Tempat Pembuangan Akhir) sampah. Padahal kalau dikumpulkan per hari sudah berapa ton sampah yang dihasilkan dari seluruh rumah tangga yang ada. Lagi sudah berapa puluh tahun keadaan ini terjadi. Padahal, kalau kita lihat, rumah tangga kita masing-masing berapa banyak sampah yang kita hasilkan setiap hari jika dikalikan semua penduduk? Tentu sangat banyak sekali. Sekali lagi peran dari semua pihak, termasuk pemerintah dan kesadaran masyarakat, yang bisa mengatasi keadaan seperti ini.

Kita tinggal pilih apakah semakin hari hutan akan semakin bagus atau malah akan semakin gersang karena tidak adanya perimbangan tanaman yang bisa menyerap air dengan telah diganti dengan tanaman produktif. Laut atau bibir pantai akan semakin bersih atau kotor? PR ini tidak bisa dijawab oleh satu dua orang, tapi semua harus sadar tentang pentingnya pelestarian hutan dan pantai atau lautan. Campur tangan pemerintah sebagai pembuat kebijakan sangat dibutuhkan dalam mengatasi masalah ini. Kita berhap hijaunya hutan dan adanya sumber air bersih yang ada di hutan serta kebersihan bibir pantai Munjungan tidak hanya menjadi dongeng atau cerita untuk anak cucu.

Artikel Baru

Artikel Terkait