Mungkin saya akan terkesan tua saat menuturkan kisah perihal waktu lampau, bahwa saya pernah mengalami masa di mana langgar-langgar masih begitu ramai dengan suara bocah-bocah mengaji kitab agama di kala senja menyapa sampai malam menggulita. Tentang suara-suara mungil yang terbata melafalkan abjad Arab dari alif, ba, hingga ya’. Tawa-tawa kecil dan adu sikut di sela rakaat-rakaat shalat dalam pelajaran (pa)sholat(an) yang sesuai syariat. Atau suara gugup para remaja bahkan dewasa yang membaca makna kitab mabadi fiqh dalam pengawasan seorang ustadz.
Memang, langgar adalah tempat pertama kali, saya, mungkin juga Anda, berkenalan dengan Allah, Tuhan segenap alam. Langgar di Dusun Jajar yang bernama “Darunnajah” menjadi saksi bisu jumpa-kenal pertama saya dengan Sang Esa. Dan mungkin langgar-langgar di tiap pelosok juga punya peran yang sama.
Langgar pada masa itu memang adalah tempat yang dipenuhi dengan aktivitas keagamaan, dari peribadatan sampai pembelajaran. Meskipun langgar masih berpenampilan sederhana, berlantai semen, beralaskan tikar pandan, berpagar batang bambu, dan bercahayakan lampu redup, sama sekali tak mengurangi gairah para bocah dalam mengenal Tuhan, para nabi, malaikat, hingga mengenali syetan. Mempelajari perkara halal dan haram, sampai memahami perihal kebaikan dan kejahatan. Seingat saya, pada waktu itu, setiap langgar punya aktivitas mengaji. Minimal ada yang shorogan: nderes Alqur’an sembari diawasi oleh Pak Kyai.
Momen yang paling terkenang adalah saat malam hari raya: Idul Fitri dan Idul Adha. Kala takbir mengumandang di tiap langgar, anak-anak turut serta menyebut asma Tuhan dengan riang gembira dan gairah merona. Yang menarik adalah, di tiap momen malam takbiran, anak-anak mempunyai ritual khusus yaitu “turu langgar”. Meskipun bernama turu langgar yang bermakna tidur di langgar, namun realitanya kita begadang di langgar.
Mengumandangkan takbir secara bergantian, diselingi canda dan main-main semalam suntuk. Jika sampai ada yang tertidur lebih dulu, resiko ditanggung sendiri. Saat mulai merasa ada yang aneh semisal sarung tiba-tiba copot dan melayang di langit-langit langgar, wajah penuh coretan kapur putih, atau maaf, kemaluan terikat plastik atau daun pandan dari tikar lalu disambung dengan jempol kaki,… segeralah bangun! Karena itu sama sekali bukan mimpi!
Perlu diketahui.. (eh, yang angkatan kelahirannya tahun 80’an saya kira sudah pasti tahu) bahwa di desa, anak culun adalah anak yang tidak berani ‘turu langgar’. Jika seorang anak ketahuan tidak ikut ritual turu langgar ini, harus bersiap menerima gelar mbok-mboken esok harinya.
Kemudian, langgar pun berkembang mengekori laju zaman. Langgar mempunyai penampilan yang makin elok, sedap dipandang mata. Lantai keramik, alas karpet harum dan hangat. Lampu terang benderang dan terhiasi pernak-pernik agamis lainnya. Namun perlu jujur diakui, ada penurunan aktivitas yang terjadi. Gairah belajar mengaji tidak sekuat dahulu. Mungkin ini memang tuntutan zaman.
Manusia saat ini akan kesulitan merasa bahagia jika hanya mengandalkan ilmu agama belaka. Ilmu-ilmu pengetahuan umum yang memberikan dampak nyata dalam kehidupan duniawi memang lebih menarik untuk dikejar. Kursus-kursus bahasa asing sampai pelajaran tematik menguras waktu luang anak. Dari pagi sampai malam, anak harus menabung ilmu pengetahuan di otaknya sebagai bekal masa depan dalam perjalanan mengejar kebahagiaan dan kesuksesan.
Saat ini, pada saat anak sudah memasuki usia sekolah menengah, maka aktivitas mengaji di langgar akan berkurang secara drastis. Alasannya klasik: sibuk sekolah dan malu, sudah besar kok TPA. Kalaupun ada waktu luang, banyak dari para remaja kekinian ini memilih untuk sibuk sendiri, kumpul-kumpul di kafe, nongkrong bareng geng, atau sekadar berselancar di dunia maya.
Ini memang menjadi masalah, namun jika pihak langgar menyalahkan kemajuan zaman, justru akan menjadi pledoi yang menyedihkan dan tidak bijaksana. Pentingnya pelajaran umum dan mengikuti perkembangan teknologi dewasa ini memang semakin jelas terasa. Namun, pelajaran keagamaan juga tidak kalah penting dalam membimbing anak ke arah yang lurus. Maka, adaptasi memang wajib dilakukan para aktivis langgar agar eksistensinya tetap terjaga.
Untuk para ustadz yang mengajar diniyah di pondok atau di langgar, Gubernur Jawa Timur sudah memberikan beasiswa Madin (Madrasah Diniyah), beasiswa yang diperuntukkan bagi para ustadz dan ustadzah yang mengabdikan diri mengajar di madrasah diniyah agar bisa kuliah di jurusan pendidikan agama Islam. Terjunnya para ustadz ini ke kancah akademik ini diharapkan mampu menjadi sekoci guna mengarungi arus perkembangan zaman. Beradaptasi dengan maslahat teknologi dan ilmu pengetahuan, bukan menafikkan dan mengingkarinya.
Selain itu, ada pula BOSDA, yaitu anggaran dana bagi para ustadz-ustadzah yang mengajar diniyah. Dana sebesar Rp. 300.000 diperuntukkan bagi satu guru dengan jumlah minimal murid sebanyak 30 anak didik. Jika jumlah muridnya ada 60, berarti akan mendapat dana sebesar Rp. 600.000. Proses dan syarat pencairan dana ini bisa dikonsultasikan dengan POKJA madin di tiap kecamatan atau langsung konsultasi ke Kemenag kabupaten. Dana ini memang belum istikomah, namun tetap patut disyukuri.
Sementara itu, kebetulan penulis adalah seorang yang meneruskan para pendahulu untuk menjadi pendidik yang menemani anak-anak mengaji di langgar. Memang belum layak dipanggil ustadz. Namun mungkin upaya yang saya dan kawan-kawan pendidik, serta Pak Kyai langgar Darunnajah lakukan bisa memberi inspirasi dalam menjaga eksistensi aktivitas mengaji di langgar.
Pertama adalah memberikan pilihan waktu mengaji. Di langgar kami, ada dua waktu yang bisa dipilih. Yaitu Jam 16.00 sampai maghrib dan dari maghrib sampai isyak. Jadi ada dua pilihan waktu yang bisa dipilih anak untuk belajar mengaji. Bebas datang di antara dua waktu itu.
Kedua memberikan kegiatan rutinan berupa kesenian hadrah, yang diagendakan rutinan tiap minggu sekali. Grup hadrah ini terbukti sangat efektif dalam “mengikat” tali silaturahmi para siswa. Anak-anak yang meskipun sudah duduk di SMA, tetap rajin ke langgar karena senang dengan kegiatan kesenian ini.
Ketiga, mengadakan kegiatan rutinan berupa sema’an Alqur’an tiap minggu pahing yang melibatkan murid dan wali murid. Jadi tiap minggu pahing, anak-anak membaca Alqur’an bergantian dari pagi, lalu waktu maghrib ada khataman Alqur’an. Pada waktu khataman ini, ada acara ramah tamah dan selamatan dengan seluruh wali murid. Selain itu Pak yai juga memberikan ceramah perihal pentingnya menuntut ilmu serta perkembangan anak-anak yang belajar.
Hal ini juga sangat efektif dalam membangun keharmonisan dengan para orang tua, sehingga mereka juga semangat dalam mensuport anak-anak mereka agar rajin mengaji ke langgar. Dan masih ada juga agenda tahunan, yaitu ziaroh para wali dan karnaval tiap tanggal 1 Muharram.
Dengan begitu, alhamdulilah kabar langgar di dusun ini tetap kondusif. Aktivitas tetap stabil dan terkendali, hehe… Bagaimana kabar langgar di daerahmu? Berbedakah dengan masa kecilmu?