Trenggalek, pada Suatu Pagi

Cities like dreams, are made of desires and fears
Italo Calvino

Saya keluar dari sebuah kantor dan menyusuri jalanan kota ini. Sayup-sayup mengalami sesuatu yang tenang, lalu seolah dijatuhi pikiran: ”… kini saya merasa dekat dengannya.” Dahulu, saat sekolah MTs hingga MA, saya lebih akrab dengan kota di barat kota ini. Dan, sangat tidak mengakrabi kota saya sendiri. Kota ini pun tak pernah punya kenangan, d(ar)i masa kecil. Masa kecil saya, sepertinya lebih karib dengan kota Kediri dan Banyuwangi. Di Kediri, tinggal bibi saya. Saya sering diajak ke rumahnya oleh bibi saya yang lain. Saya punya ingatan yang cukup baik dengan kota Kediri. Dan bibi sedari saya kecil hingga kini, masih tinggal di sana. Sementara di Banyuwangi, hampir sebagian famili kakek-nenek pihak ibu tinggal di sana. Di kota bagian timur pulau Jawa tersebut, saudara-saudara kakek-nenek saya tinggal-berpencar di beberapa kecamatannya. Itulah kenapa—dalam ingatan masa kecil—saya lebih akrab dengan dua kota tersebut ketimbang kota Trenggalek. Kota ini saya akrabi jauh nanti selepas kuliah.

Saya terlambat menyukai kota ini, bukan karena saya tak pernah menyinggahinya, melainkan memang dahulu saya tak punya niat ber-akrab-akrab dengannya. Saya melihat kota ini—dari pandangan masa kecil—dengan tatapan sebelah. Entah karena faktor ukurannya yang memang mini atau faktor-faktor tak menarik lainnya. Sampai kemudian, saya mengakrabinya karena perkara ”buku dan membaca”. Dari aktivitas itulah, saya lantas mengenali kota ini lebih dekat dari bentangan mukanya: alun-alun, masjid, sanggar, kampus, warung kopi, tempat makan, tempat lesehan, kantor-kantor pemerintahan, pasar, perempatan jalan, trotoar, rumah, terminal, tempat potong rambut, gang-gang, pom bensin, mushola, bukit dan gunungnya, sungainya, dan ruang-ruang terbuka lainnya yang pernah saya singgahi serta duduki atau yang belum saya singgahi dan duduki.

Mengalami kota ini dari beberapa tahun, mengalami riuh rendahnya, lalu-lalang penghuni dan kendaraannya, panas-dingin cuaca yang pernah menyelimuti, serta angin yang tiap hari menyentuhi permukaan tiap koridor-koridornya, membawa saya pada Truman Capote: ”I love New York, even though it isn’t mine, the way something has to be, a tree or a street or a house, something, anyway, that belongs to me because I belong to it (dalam Breakfast at Tiffany’s: hlm. 121-122).” Dan andai kota New York saya ganti dengan Trenggalek, lalu kalimat Capote saya curi, bunyinya akan menjadi seperti ini: ”Saya cinta Trenggalek, kendati kota ini bukan milik saya, seperti yang lainnya, pohon atau jalan atau rumah, sesuatu, apa pun, yang menjadi milik saya karena saya milik mereka.

Ketika kota menjadi ”milik saya” pada ungkapan Capote, barangkali karena si penulis (Capote) bebas untuk menggoreskan segala-gala tentangnya hingga pada perkara baik-buruknya. Sementara, ketika ia (penulis) menjadi ”milik kota”, karena ia bagian dari kota (warga kabupaten). Jadi, di situ, sejauh ia akan menyinyiri kotanya sendiri, pada akhirnya akan jatuh pada bagian kedua: bahwa ia unsur yang tak terpisahkan dari kota. Ini tak lain, juga wujud dari kecintaan warga kota (kabupaten) terhadap kotanya. ”Here I was, sitting in this coffee shop, drinking my coffee, feeling a desperate loneliness… I had no place here…tulis Murakami. “But I had never felt this loneliness there. I could drink my coffee, read my book, pass the time of day without any special thought, all because I was part of the regular scenery. Here I had no ties to anyone. Fact is, I’d come to reclaim myself…” lanjutnya.

Banyak orang benar, ketika menyebut kota ini sebagai kota yang buntu: dipelosokkan oleh letak geografi dan kartografi. Ia hanya cocok sebagai lokasi persinggahan bukan perlintasan. Ia bukan kota yang dilewati ketika seorang hendak bepergian ke tempat yang jauh. Sekurangnya, tak ada stasiun dan atau bandara untuk orang-orang yang menunggu atau hendak bepergian jauh, di peron atau di ruang boarding-nya. Tak banyak pula pelancong menunggu, hendak ke kota lain di terminal bus-nya. Situasi semacam itu, mesti membuat kota ini pandai mengkreasi dirinya lebih banyak dengan banyak hal yang sudah ada, sesuai pembawaannya. Tentu di antaranya bisa dengan pariwisata—yang merupakan andalannya—beserta segala potensi yang memang ada di sini dan menjadi karakternya.

Kota ini, hari ini, tampak sebagai sosok anak muda, mungkin karena kebetulan berada di tangan dua anak muda. Ia butuh dipoles serta didandani sedemikian rupa sesuai selera anak muda. Barangkali wajar ketika ujug-ujug didatangkan berbagai hiburan gaya anak muda yang terampil macak, nyaris glamour, sebagaimana karakter dan gaya slengean anak muda. Dan ia seolah kota dalam proses mencari-cari bentuknya. Kadang-kadang, kalau malah tak sering, saya lihat kota ini kerap juga membandingkan modelnya dengan kota-kota lain. Yang sekiranya tampak elok lantas ingin ditirunya: dicangkok, mungkin tanpa mempertimbangkan jauh-jauh, bahwa unsur dan model yang akan dicangkok, pada dirinya kelak bakal tak cocok, lagi tak betul-betul pokok.

Benar, memang anak muda wakil dari ketidakstabilan bentuk, dalam proses panjang pencarian. Tak heran, kalau kota ini suka berdandan, membranding dan bahkan melabeli diri dengan pop culture, budaya yang identik dengan ”pasar”:  menjual diri, persis seperti demenen anak muda dan usia remaja, atau label-label lain yang serupa. Dalam pencarian itu, kadang ketidakbaikan bentuk akan sering dijumpai. Ketidakbaikan itu bisa saja akan memperosokkannya ke dalam kesalahan. Karenanya, perlu pula menimbang model dan pola lain yang tak semata cocok dengan selera. Perlu membiasakan diri dengan jalur-jalur lain yang bukan belaka pop culture.

Adakalanya, saya mengangankan kota ini bisa menjadi kaum muda progresif di usia  30 tahun ke atas, yang sudah tak lagi banyak memikirkan diri sendiri alias mulai banyak memikirkan sesuatu di luar diri. Orang dengan usia yang matang tak lagi sibuk membuat dirinya dandy dan trandy, melainkan kerap mendandani peran-perannya di luar: di lapangan kehidupan. Ia tak lagi sibuk dengan pencitraan untuk membuatnya tampak keren, melainkan telah tersibukkan dengan kegiatan dan aktivitas fundamen. Pada pokoknya, ia membuat dirinya berperan lebih, yang bukan untuk dirinya saja. Pada masanya, ia akan menjadi kota yang dewasa, yang tak lagi menyukai seluk-beluk aktivitas yang tak jelas jluntrungnya. Ia mulai memikirkan sesuatu yang pokok dan fundamental, yang bukan semata perayaan dan gebyar.

Kota di usia dewasa adalah kota yang mampu melepaskan diri dari jerat kota lain, jika dirasa berpengaruh buruk. Dan cepat lepas andai gaya sementara yang ia pakai tak cocok dengan karakternya. Ia lebih banyak menumpu pada akar identitas dan idealitas aslinya sendiri. Kota yang dewasa adalah kota yang lebih banyak menggali dirinya hingga ke dasar, dan tak lagi banyak mencari tempelan dari luar. Ia menguatkan dirinya dengan studi mendalam, kalau bisa dengan pelbagai kritik dan olah bantah. Karena bentuk itu sudah ada dan ditemukan, tinggal sepenuhnya mengolah serta mengembangkan. Perbandingan dengan kota lain, jika ada, tak sampai membuatnya kehilangan akar dan karakternya.

Namun sebuah kota kerap pula dikendalikan oleh kepala-kepala yang tak benar-benar mengerti dan memahami ”isi pikiran kota”. Tentu saja. Ketika kota ada dalam kepala seorang pengusaha, kota kerap dibentuk sesuai tipikal dan gaya pengusaha; ketika kota ada dalam kepala seniman, ia bisa dikreasi sesuai gaya hidup seniman. Begitu pula ketika ia dalam kepala seorang artis, barangkali akan dipermak sesuai selera dan gaya artis. Dan, kota yang berada dalam kepala anak-anak misalnya, bisa di-gulawenthah laiknya barang mainannya: dibentuk oleh hasrat anak-anak. Dan, mainan anak-anak, sering menjadi bentuk yang tak berbentuk dalam pandangan kita.

Dua orang itu, bupati dan wabupnya, adalah anak muda yang baru saja pindah ke kota ini. Karenanya, saya menengara, tak banyak tahu mengenai karakter asli kotanya. Mungkin saja ia akan membentuk kota Trenggalek sesuai model dan seleranya. Pembangunan, pesan saya, jangan sampai meninggalkan pilar kearifan lokal. Local wisdom adalah alas yang harus terus dikendarai lagi dilandaskan dalam setiap pembangunan. Sebab, anggap saja, kota seperti kekasih, semakin dalam kau kenali semakin akan mendalam pula kau cintai.

Bagaimanapun kota ini lebih sering dihimpit oleh ruangannya sendiri ketimbang kota yang dikejar waktu. Sebab, Trenggalek masih menjadi kota yang, betapa sulit menemukan warung kopi dan pilihan kuliner yang pas di sana. Sulit mencari dan singgah di taman kotanya yang teduh; di hutan kotanya yang berada di dataran (bukan di bukit atau gunung). Ketika misalnya warung kopi yang cukup menjanjikan pun muncul, wajar akan segera diserbu oleh bejibun pelanggan. Sekali ada taman-taman hijau, pasti akan diperlakukan begitu juga. Ruang-ruang yang nyaman, kerap dijadikan wadah berinteraksi oleh dan dengan sesama penghuni. Dan akan segera menjadi menyempit ketika datang situasi-situasi tertentu dan penting.

“Cities, like dreams, are made of desires and fears,” kata Italo Calvino. “Kota memang seperti mimpi, ia terbuat dari hasrat dan rasa takut.” Dalam konteks Trenggalek, hasrat tersebut adalah gambaran kota yang penuh hingar dan perayaan pop culture, wakil dari hasrat kepala daerahnya. Sementara rasa takut adalah jelmaan dari ketakutan para penghuninya (warga kota) yang kerap dihampiri pertanyaan, ”Jangan-jangan nanti…” di antaranya, sebagai buntut dari rasa takut akan berbagai tampilannya di muka yang baru mereda. Itu semua adalah bagian dari potongan mimpi bupati dan wabup-nya yang kita tak tahu selanjutnya akan dijahit seperti apa? Mari mencintai kota Trenggalek, dengan beragam cara, di antaranya, kalau saya, sih, menuliskan aspek-aspek kecilnya: sesuatu yang jarang diperhatikan lagi tak dipentingkan. Karena, dengan mengutip John Updike, “…cities aren’t like people; they live on and on, even though their reason for being where they are has gone downriver and out to sea.” Selamat ulang tahun kota Trenggalek yang ke-822. Panjang umur.

Artikel Baru

Artikel Terkait