“Ini Budi”
“Ini Ibu Budi”
Masih ada yang ingat dengan pelajaran membaca di atas?
Meski terkesan sederhana, kalimat-kalimat di atas bagi saya (dan mungkin juga bagi Anda) sangat berharga. Dari kalimat itulah saya dulu belajar membaca bersama kawan-kawan seumuran di kelas satu, sekolah dasar. Masih teringat bagaimana ibu guru saat itu begitu geregetan pada kami yang berkelakuan layaknya sekelompok anak berada di tanah lapang.
Maklum, kami yang dalam usia bermain diharuskan berada di dalam ruangan dengan mematuhi peraturan yang menurut kami tak berguna. Seolah tak ada bedanya antara kelas sebagai ruang belajar dan lapangan sepak bola.
Saat ibu guru meminta kami untuk menirukan apa yang diucapkannya, kami seperti echo yang berulang-ulang tak karuan. Semakin lama semakin tak jelas dan semakin berbeda dengan apa yang diucapkan ibu guru.
“Ini Budi”
Bu guru meminta menirukan, tapi hanya sekitar 4, 5 atau mungkin tak lebih dari 7 anak yang benar-benar bersuara seperti pinta bu guru. Lainnya? Ciblon, adu kekean, playon, baksodor, kasti, bal-balan. Itu sebagian bahasan yang keluar dari mulut anak-anak di kelas. Dan saya adalah salah satu dari murid-murid itu.
Dipukulkannya alat tunjuk dari bambu ke meja oleh bu guru untuk menghentikan kegaduhan kami. Seketika itu juga kami diam. Rapi. Manis sekali berada di belakang meja masing-masing. Saling pandang di antara kami. Ada yang benar-benar merasa bersalah, merasa biasa saja. Dan ada pula yang cengengesan.
Tapi sungguh, setiap kekesalan dan kemarahan bu guru kepada kami, semuanya tak lebih besar dari rasa perhatian, sayang dan cintanya kepada kami.
Kami, murid-muridmu yang dulu selalu merepotkannya, saat ini pasti banyak yang berharap bisa mengucapkan maaf kepadamu, ibu guru. Tapi ketahuilah bahwa rasa malu kami sangat besar mengingat kelakuan kami waktu dulu, menutupi keberanian kami untuk mengucap maaf kepada guru-guru kami. Maka, lewat tulisan ini saya mewakili teman-teman dulu, juga murid-murid di manapun berada mohon maaf dan mengucapkan terima kasih atas semua yang telah diberikan oleh bapak ibu guru kepada kami semua.
Jika menyebut guru, maka merekalah ujung tombak pendidikan di negeri ini. Secerdas apapun menteri pendidikan; sehebat apapun kurikulum; secanggih apapun fasilitas pendidikan, semua tak ada guna jika guru hanya jadi ujung tombak yang tumpul. Bagaimanapun teori-teori tentang penerapan pendidikan di negara ini begitu hebat dibicarakan oleh mereka yang berada di Kementerian Pendidikan, semua hanya omong kosong jika kualitas para guru tidak ditingkatkan sesuai dengan omongan bapak-bapak yang berada di Kementerian Pendidikan.
Tapi bukankah mereka berkata bahwa pendidikan manusia Indonesia sudah sangat berkembang, dan maju? Tentunya dengan penilaian mereka yang berdasar pada angka, nilai-nilai di selembar kertas, yang para murid dapatkan setelah ujian nasional. Itu secara akademis. Secara moral? Ah, entahlah.
Saya bukanlah pemuda yang berkecimpung di dunia belajar-mengajar di negara ini, namun jika Pancasila adalah landasan dan tujuan dari pendidikan di Indonesia, sepertinya kini perlu dipertanyakan lagi.
Sila kedua Pancasila: “Kemanusiaan yang adil dan beradab”.
Dari jenjang terbawah hingga paling atas; dari Sabang sampai Merauke; dari Jakarta hingga wilayah terluar negara ini, sudahkah mewakili sila kedua? Sudahkah Pancasila menjadi landasan bagi pendidikan di Indonesia?
Adil, sudahkah pendidikan di Indonesia berlaku adil kepada seluruh warga negara? Sudahkah pendidikan mampu menggerakkan manusia-manusia Indonesia untuk berlaku adil? Yang Terhormat Bapak Menteri Pendidikan lebih memiliki pengetahuan akan hal tersebut, dan beliau lebih berhak untuk menjawabnya.
Kata “adil” yang kita kenal selama ini sudah seperti menjadi pasangan serasi dengan kata “makmur”. Bukankah itu sudah bisa menjadi pelajaran kepada kita semua bahwa akibat perilaku adil adalah adanya kemakmuran setelahnya. Tak bisa kita mengharapkan kemakmuran terlebih dahulu sebelum kita mampu untuk berlaku adil.
Di negara kaya raya ini, di bumi gemah ripah loh jinawi, alam yang luar biasa, di negeri layaknya museum raksasa bagi budaya dan kesenian, ratusan bahasa, bahkan sudah genap untuk memenuhi persyaratan sebagai pusat peradaban dan kebudayaan. Namun, apakah patut jika kita berkata bahwa kita tak makmur dengan anugerah yang luar biasa ini? Jika tidak, sepertinya perilaku adil belum menjadi trending topic di negara kita. Atau jangan-jangan, Tuhan memberikan semua anugerah yang luar biasa tersebut, sebagai cobaan, lebih parah lagi sebagai kutukan bagi kita. Semoga saja tidak.
Banyak yang mengatakan bahwa Indonesia dahulu kala (baca:Nusantara) adalah awal dari pusat peradaban dunia. Faktanya? Entahlah. Kita harus benar-benar belajar sejarah untuk mengetahuinya. Kita selalu dikenalkan bahwa Bangsa Inca, Aztec, Romawi, Persia, Yunani, Cina, Maya, Mesir, dan Mesopotamia adalah bangsa yang dulunya berperadaban hebat. Tapi dari semua peradaban yang pernah kita kenal, satu hal yang bisa kita pelajari dari mereka adalah bahwa mereka adalah bangsa yang cerdas dan memiliki pengetahuan berkelas pada waktu itu. Pastinya mereka sudah mampu menerapkan sistem pendidikan yang benar-benar tepat dan bermanfaat bagi kaum mereka.
Sistem pendidikan di Indonesia bukanlah yang terbaik. Finlandia-lah yang memiliki gelar tersebut. Tapi bukankah itu hanya sebuah gelar?
Berlaku adil untuk diri kita sendiri adalah langkah awal untuk memajukan pendidikan di negara ini. Setiap orang perlu memiliki kesadaran untuk berlaku adil kepada diri sendiri dan orang lain, ini akan menjadi mata rantai yang terus bersambung. Satu langkah tersebut akan melahirkan manusia-manusia Indonesia yang disebut dengan manusia berpendidikan, manusia yang beradab.
Selamat Hari Pendidikan Nasional.
Saya berharap pendidikan di negara ini benar-benar berlandaskan Pancasila, sehingga nanti generasi Indonesia menjadi manusia-manusia yang selain tangguh juga adil dan beradab.
Salam Lestari!