Trenggalek, salah satu kabupaten di bagian barat daya Jawa Timur ini, dahulu sering di-stereotip ndesa, terbelakang, nggunung, stagnan, gampang putus asa dan semacamnya. Bahkan Soetran pernah hendak mengubah nama Trenggalek menjadi Trenggalih, karena asosiasi dan dugaan makna negatif yang dikandung oleh kata Trenggalek. Meski Trenggalek memang (masih) indentik dengan desa dan gunung yang merupakan bagian dari teritori yang mustahil untuk diubah atau dipindah. Tapi stereotip tersebut barangkali, bagi generasi 1970-an; 1980-an sudah tak berlaku. Cah-cah (Tre)nggalek, terutama dari generasi yang dilahirkan antara tahun 1970-an; 1980-an, entah mereka sadari atau tidak, sebetulnya aktif melawan stereotip buruk tersebut, dan bahkan menempa diri menjadi generasi tangguh dan cakap. Sehingga berbagai stigma buruk di atas, malah menjadi semakin menipis dan bisa ditepis. Bekal dari generasi tangguh ini antara lain keuletan, kegigihan, kemandirian dan sejenisnya.
Stigma negatif dahulu, kini membuat mereka yang berasal dari Trenggalek—yang kebetulan bermigrasi ke berbagai daerah di seluruh Indonesia dan mungkin ke luar negeri—tak lagi bisa membuat minder. Cah-cah Nggalek dengan kegigihan, ketelatenan dan keuletannya telah mengubah streotip tadi. Orang-orang Trenggalek kini, banyak yang terjun di berbagai lapangan dan bidang pekerjaan dengan peran-peran ”besar” yang tak bisa dianggap enteng dan remeh. Dan sekali lagi, mereka kini tak lagi minder mengakui asal dan akarnya: kampung halaman Trenggalek, yang nggunung dan ndesa. Malah sebagian merasa bangga bisa (di)lahir(kan) di kota kecil ini.
Kearifan Lokal
Sepanjang ini pembangunan daerah (membangun desa) selalu dirancang belaka dengan menggunakan visi dan perspektif yang mengacu pada nalar di luar nalar desa. Persoalan ini sudah sangat lama berlangsung, bahkan semenjak zaman penjajahan, dilanjut pemerintah kita yang bergaya liberal. Perspektif dan acuan ini terutama tampak sekali dalam ranah tata sistem administrasi kepemerintahan serta arah (dan produk) kebijakannya. Karena itulah secara ontologis, penting tema kearifan lokal beserta segala variannya yang tumbuh di desa-desa, bisa diangkat ke permukaan serta dijadikan modal dalam membangun daerah. Sekurangnya, sebagai salah satu karakter yang ikut diperbincangkan dalam perencanaan pembangunan daerah Trenggalek.
Sebab, kearifan lokal yang tumbuh di desa-desa, selama ini sering hanya difungsikan sebagai daerah penghisapan oleh pusat pembangunan yang berada di kota-kota. Bukan hanya kota-kota di wilayah terdekatnya, melainkan juga di tingkat nasional, bahkan internasional. Padahal kota-kota di negara berkembang seperti Indonesia (masih penuh dengan desa-desa dengan kekayaan kearifan lokal) yang bisa menjadi basis-basis untuk mengembangkan nalar pembangunan yang berkarakter kedaerahan.
Modal sosial, ekonomi dan budaya lokal (daerah) inilah yang bisa kita gunakan untuk melawan momok pembangunan, yang cuma mengacu pada gaya kapitalisme, neoliberal dan beberapa anak kandung globalisme yang lain. Pembangunan yang tidak pro-desa dan kearifan sosialnya akan menggusur, baik secara halus maupun secara kasar, kultur kenusantaraan kita sendiri. Yang kelak juga menggusur kerangka dan sendi-sendi tradisi (kearifan serta keunikan daerah) yang sebetulnya merupakan sumber dari sendi-sendi kebudayaan dan pembangunan nasional. Terutama dalam konteks Trenggalek, tradisi sosial dan kearifan lokal bisa menjadi satu peranti yang disuntikkan dalam pembangunan daerah, yang kita tahu memang kerap disisihkan.
Diaspora
Sayangnya lagi, modal-modal penggerak pembangunan yang lain (dalam bentuk SDM) Trenggalek, belum terkoneksi satu sama lain. Padahal modal SDM ini, terutama yang berada di luar Trenggalek (Trenggalek diaspora) penting diarahkan untuk melirik daerah asal mereka sendiri. Untuk membuat visi bersama barangkali, di luar organ-organ pemerintahan kabupaten (orang-orang Trenggalek di kampung halaman). Kekuatan SDM Trenggalek diaspora dari berbagai wilayah, akan sangat baik andai bisa ikut terkonsentrasikan sebagai bagian dari membangun Trenggalek. Sebab, SDM itu di berbagai bidangnya masing-masing, belum mengarah pada simpul keterjalinan yang rekat dan bervisi konkret, sebagai bagian dari kontribusi mereka terhadap daerah asal.
Belum lagi, kelak para intelektual muda yang berbakat yang kini sebagian masih berkuliah/belajar di berbagai kota, tak menutup kemungkinan akan terus berdiaspora lagi dan lagi. Sehingga dari melihat fenomena yang sudah-sudah, SDM muda itu malah terkontribusikan bukan ke daerah asalnya, melainkan menyebar ke daerah-daerah lain. Mestinya, persoalan-persoalan ini (bagaimana mengelola SDM Trenggalek) juga dapat ditanggapi oleh pemerintah daerah dengan bijaksana, untuk didiskusikan dan disinergikan dengan pembangunan daerah.
Bertolak dari beberapa realitas yang terhampar di atas, kami, nggalek.co bermaksud menginisiasi sebuah acara talk show (diskusi panel) dengan tema ”Trenggalek, Ngumpulne Balung Pisah”, dengan kalimat perekat: cedhak tanpa senggolan, adoh tanpa wangenan”. Diskusi macam ini penting digagas, antara lain untuk memberi wadah bagi berbagai SDM orang Trenggalek dengan berbagai latar dan tempat tinggal, tapi punya kesamaan asal-usul dan kelahiran itu (Trenggalek), untuk turut berkontribusi dengan kapasitas masing-masing (entahlah apa bentuknya) dalam membangun Trenggalek. Dari even ini misalnya, diharapkan ada perbincangan dan pencocokan diri. Barangkali saja ada ke-saling-sesuaian perspektif; saling menautkan gagasan untuk pembangunan daerah. Kita harus bersatu melalui modal SDM ini untuk menggenjot modal-modal yang lain, demi turut merancang masa depan Trenggalek, tentu melalui kontribusi yang mungkin bisa dilakukan oleh masing-masing pihak yang berbeda latar.
Momen ini sebenarnya juga bisa dijadikan perenungan: sejauh mana kesanggupan kita mendefinisikan (ulang) diri kita sendiri, sebagai orang-orang yang terlahir dari daerah Trenggalek. Sejauh mana kita memaknai “diri kita”, baik ketika “kita” tinggal di Trenggalek maupun ketika “kita” yang dalam perantauan (berdiaspora) tapi masih punya kebertautan ikatan batin yang besar dengan kampung halaman: Trenggalek. Ya, sejauh mana sebetulnya kita memaknai diri kita sendiri dari berbagai perspektif dan lokus, yang kemudian akan menjadi perspektif yang utuh guna mendefiniskan (ulang) atas identitas diri kita: siapa cah (Tre)nggalek itu.
Keberhasilan mendefinisikan diri ini, mula-mula akan menjadi modal yang sangat berharga untuk turut terlibat dalam pembangunan daerah ke depan: misalnya pembangunan yang—selain sudah jelas diukur dari indikator-indikator yang sifatnya fisik (infrastruktur dll)—juga bisa mengarah pada pertimbangan kearifan lokal, karakteristik dan problematika daerah (kontekstual) kabupaten sebagaimana telah terjelaskan di muka. Karena bagaimanapun pembangunan, selain dilakukan oleh pemerintah kabupaten, juga sebetulnya bisa turut dilakukan dengan keterlibatan secara aktif (partisipasi) masyarakat, setidaknya turut mengawal. Tentu juga selalu proaktif dengan kebijakan-kebijakan pemerintah daerah, meski dengan peran yang berbeda-beda. Barangkali begitu.