Apa yang bisa dibanggakan dari sebuah kehidupan sederhana, terpinggirkan, kerap di-nyinyir-i sebagai kesatuan atas kaum pedalaman nun jauh dari hiruk-pikuk peradaban urban yang molek dan rupawan?
Kesaksian seorang bocah gunung yang besar berkat kesabaran memamah remah-remah karak uncet bersama thiwul, blendrang gori dan dheplengan teri seperti saya, barangkali boleh mewakili suara bocah-bocah gunung lainnya yang merindukan nostalgia indahnya menghabiskan masa kecil di daerah rural yang belum terjamah oleh jamaah serakah penyembah hidup mewah.
Pada masa kanak-kanak saya dulu, satu-satunya hal yang paling mencerminkan kemewahan hanyalah jejel-riyel-nya pasar Munjungan. Bukan berupa pasar-pasar modern seperti saat ini yang wujudnya jauh lebih mungil dari pasar tradisional, namun justru karena mungil, ia mampu menyergap hingga ke mana-mana. Bayangkan, pada lokasi-lokasi tertentu di sebuah kecamatan saja bisa didapati paling tidak 3 buah toko modern. Termasuk keberadaan dua rival bebuyutan yang sama-sama kelahiran bulan Maret; di mana saja ada Indomaret, sejenak perhatikan sekeliling, pasti ada Alfamart bertengger tak jauh darinya.
Lebay-kah mengatakan bahwa pasar Munjungan adalah gambaran kemewahan bagi saya dulu? Rasanya tidak. Pernah suatu hari saya berhasil membuat gendut si celengan ayam merah jambu setelah tabah menahan untuk tidak njajan selama berbulan-bulan. Mendengar mamak hendak mengajak berbelanja ke pasar Munjungan girangnya bukan kepalang.
Setelah memindahkan keping-keping recehan dari celengan ayam ke kantong kain, semalaman saya menggenggam kantong harta karun itu. Tidak sabar menunggu pagi lantas lekas betolak ke pasar Munjungan. Ya walaupun dipastikan saya teler duluan di angkot karena mabuk kendaraan. Maklumi saja kesenangan bocah yang belum tentu tiga bulan sekali menginjakkan kaki di pasar Munjungan ini. Di samping karena saya mabuk(an) dan malah merepotkan hajat belanja mamak, memang jarang ada angkot yang janggol di desa kami.
Apa yang kali pertama saya tuju tatkala berhasil menjangkau pasar mewah (mepet sawah) itu? Daster bergambar putri-putrian Disney? Sepatu lucu? Bukan. Saya lebih tertarik pada topi merah bergambar tokoh kartun yang padanya menyatu dua kepangan panjang rambut pirang. Topi telah terbeli. Selanjutnya tidak afdol rasanya jika saya sampai tidak membawa pulang si empat serangkai dari pasar; cenil, sompil, es wawan dan jamu tronjoljoyo.
Di antara empat serangkai tersebut es wawan adalah satu-satunya jajanan bergengsi bagi saya. Oh iya, favorit saya adalah yang rasa pandan. Waktu itu saya belum kenal apa itu sosis, seperti apa penampakan dan rasanya. Belum pula saya meneguk minuman berwarna cerah denga rasa buah. Satu-satunya minuman berwarna cerah yang pernah saya minum semasa kecil adalah setrup. Setrup merupakan minuman sederhana yang diracik dari air, gula pasir dan sedikit kesumba (pewarna makanan) merah. Setrup biasa dikemas dalam plastik kemudian ujung plastiknya diikat mengunakan karet atau rumput jepang (tali rafia).
Setrup, rujak dan kacang rebus umumnya paling sering terlihat saat di kampung ada tontonan malam seperti dangdutan, jaranan atau layar tancap di mana seluruh yang terlibat dalam acara hingga ibu-ibu penjual makanan dan rokok eceran di sekitaran venue pertunjukan adalah para warga kampung sendiri. Menjadi kaum pinggiran yang jauh dari sorot lampu bioskop, hiburan masyarakat urban, memunculkan kreativitas orang kampung yang sedapatnya menciptakan sesuatu bagi sesamanya yang suka berkumpul sesrawungan dan sama-sama merindukan hiburan selain sandiwara radio saban akhir pekan.
Tadi saya berkisah bahwa belum tentu tiga bulan sekali saya berjumpa dengan Pasar Munjungan, bukan? Terus, bagaimana jika saya ingin sekali menikmati kelezatan si empat serangkai itu? Tenang, di Dusun Jajar (sekitar 2 km dari dusun saya, Parang) ada tukang sompil legendaris yang setiap pagi mangkal di warung (pasar mini) tepat di samping puskesmas desa. Mbah Nik, namanya. Gurih pedasnya duet maut sayur rebung dan kacang berpadu dengan lembutnya lontong. Semuanya bertempur dalam pincuk-an daun pisang.
Saat saya bisa setiap pagi ngandhok sepincuk sompil ke Mbah Nik. Lalu untuk apa saya jauh-jauh ke pasar Munjungan memburu jenis makanan yang sama? Logika anak kecil ada kalanya susah diselami. Agaknya saya berbakat menciptakan banyak kekonyolan. Terbukti saya cukup eksis dalam hal ini dengan telah memulainya sedari kecil. Dan dari kekonyolan ini saya mendapati selisih harga yang mencolok antara sompil yang dijual di pasar versus sompil ala Mbah Nik.
Kira-kira, mungkinkah riuhya pelanggan dan ramainya perputaran uang membuat harga sompil di pasar dibandrol sedikit lebih mahal? Sementara indera pengecapan saya tidak mungkin memungkiri manakah yang memenangkan keunggulan rasa yang sesungguhnya, meski keduanya terpaut harga berbeda. Di situ, “terkadang saya merasa sedih” dan ingin membesarkan hati Mbah Nik sekaligus menyampaikan testimoni yang sejujur-jujurnya dari seorang pecinta sompil sejati; Ada yang lebih gurih dari sompilnya Mbah Nik? “Yang lebih mahal banyak.”