“Barang siapa menjomblo dan hidup di pedesaan, niscaya deritanya akan ditinggikan sebanyak 27 derajat” ~Bukan hadits.
Telah kita ketahui bersama bahwa wong ndesa sudah terkenal dengan kebersamaannya: bergotong royong dalam bekerja, bermusyawarah dalam memutuskan. Begitulah si wong ndesa, punya semacam kode etik yang menjadi ikatan tak kasat mata. Semacam jejaring sosial yang saling menghubungkan satu individu dengan individu lain. Tidak sekadar menjadi “akun-akun maya” yang terhubung, tetapi benar-benar terhubung secara jiwa dan raga: bersama menjalani suka duka kehidupan.
Indah benar nampaknya. Sayangnya hobi mereka dalam bermusyawarah terkadang mencapai titik “nganyelne” saat aib-aib para tetangga menjadi camilan renyah di kala musyawarah dalam majelis rasan-rasan. Ber-ghibah alias ngrasani memang menjadi camilan yang gurih renyah dan nikmat disajikan pada waktu berkumpul dengan para tetangga. Dan kita dapat saksikan bahwa wong ndesa lebih ahli dalam hal ini daripada masyarakat perkotaan.
Orang desa punya cukup banyak waktu untuk mencari bahan baku rasan-rasan dan menyajikannya kala sanja atau ngumpul bareng tetangga. Keterhubungan yang mereka miliki tidak sekadar digunakan untuk bekerja dan berkarya, namun seringkali digunakan untuk menengok aib satu dengan lainnya, yang kemudian dijadikan bahan pembicaraan lengkap dengan bumbu tambahan dan polesan di sana-sini.
Hal ini akan menjadi bencana bagi para jomblo menahun saat dirinya harus hidup di tengah masyarakat yang saling terhubung seperti di pedesaan. Sedikit catatan, bahwa jomblo menahun, jejaka atau perawan tua (di atas 30 tahun) adalah “aib muthawasitoh” bagi wong ndesa.
Di pedesaan, jomblo desa tidak mempunyai ruang dan waktu untuk berdalih dan membuat alasan semisal menjomblo karena karier, menjomblo karena prinsip, atau apalah-apalah. Intinya mereka belum laku, dan itu membuat wong ndesa pantas untuk malu. Maka, tidak heran apabila tingkat derita dan level ngenes jomblo desa berlipat ganda daripada jomblo perkotaan di mana masyarakat kota cenderung cuek dan acuh tak acuh pada kehidupan orang lain.
Namun kemudian, di tengah derita kaum jomblo ini, tiba-tiba beredar sebuah ceramah dari seorang ustadz produk televisi tentang hadiah bagi siapa saja yang mampu menahan syahwatnya kala di dunia. Yaitu pesta seks di surga. Video ceramah ini menjadi viral karena mengundang kontroversi. Pihak pro berujar bahwa di surga hal demikian memang ada dan diperbolehkan. Sementara pihak yang kontra menilai ceramah itu keluar dari norma dan etika seorang ustadz yang berdakwah di tempat umum. Terlebih lagi pemahaman tentang kenikmatan surgawi yang terlalu tekstual dan cenderung soronok.
Terlepas dari kebenaran dan kepantasan, ceramah itu mempunyai sisi menggembirakan bagi jomblo. Yaitu semakin kuat manusia menahan syahwatnya, semakin besar pestanya, eh semakin besar nikmat surganya. Semakin mereka bersabar dalam kenjombloan semakin nyata bidadari-bidadari yang sedang berpesta. Semangat menjomblo mereka semakin kuat dan tangguh. Menjadi jomblo yang berkualitas lagi bermutu tinggi yang kuat, awet, dan tahan lama. Logika semacam ini bisa saja muncul di benak para jomblo ndesa.
Hal ini seharusnya menjadi dampak yang perlu diperhatikan sebelum seorang public figure mengeluarkan pernyataan. Kesalahpahaman masyarakat awam dalam melogika pernyataan apalagi pernyataan berdasarkan teks keagamaan akan menjerumuskan ke dalam kesalahan dalam bertindak. Meskipun secara mendasar sebuah pernyataan disokong oleh dalil-dalil pembenaran, namun dampak negatif yang kemungkinan akan timbul pada masyarakat perlu diperhatikan.
Lagipula, jika hanya yang kuat menahan syahwat yang akan berpesta, lalu yang tidak kuat menahan hawa nafsu dan akhirnya menikah lantas nikmat surganya berkurang, dong? Alah embuh…