Kamus Kawi-Indonesia karangan Prof. Drs. S. Wojowasito, menerakan bahwa kata treng mengandung arti ”bagian dalam”, sementara gale punya makna ”menolak”. Dikatakan pula kata treng berarti ”tempat”, sementara gale berarti ”dalam” atau ”jauh”. Pada akhir vokal e menimbulkan paragogo, sehingga Treng-gale menjadi Trenggale(k). Tambahan ”k” itu analoginya adalah kata daya menjadi daya(k); adi menjadi adik (dalam Sejarah Kabupaten Trenggalek, 1982: hlm. 39). Sementara menurut kamus Kawi-Jawa susunan Winter dan Ranggawarsita, terlacak—dengan pemenggalan yang berbeda dengan yang di atas—bahwa kata trengga bermakna lintang, sementara kata galé berarti sabar (Winter & Ranggawarsita, 2007: hlm. 49 & 276).
Dari keterangan S. Wojowasito itulah kemudian Abdul Hamid Wilis (Mbah Hamid), memberikan keterangan bahwa Trenggalek secara definitif adalah daerah atau wilayah yang identik dengan ”tempat yang jauh” alias ”daerah pedalaman”. Wilayah yang jauh itu dalam pengertiannya (dalam Hamid Wilis, 2007: hlm. 3) adalah sebuah tempat yang sulit dijangkau dari beberapa pusat ibu kota negara-kerajaan yang pernah tampil secara silih berganti di sepanjang abad-abad lampau. Sebut saja antara lain, secara letak, Trenggalek jauh dari ibu kota Mataram Hindu (yang berada sekitar Yogyakarta), jauh dari Kahuripan (sekitar hilir Sungai Brantas), jauh dari Singasari (di sekitar Malang), jauh dari Kediri (Daha), jauh dari pusat kota Majapahit (di sekitar Mojokerto), jauh dari Demak Bintoro (di Demak), jauh dari Pajang (sekitar Solo-Sragen), hingga juga jauh dari Mataram Islam: di Kartasura dan Yogyakarta.
Tentu saja arti dari kata ini (tempat yang jauh) juga mengaitkan Trenggalek dengan ”daerah pertahanan” untuk dapat menyerang kembali atau merebut daerah yang telah diduduki musuh. Pemaknaan yang terakhir itu (daerah pertahanan) memang lebih sesuai dan cocok dengan konteks situasi atau kahanan sosio-geografis (juga geo-politik) Trenggalek dari sejak zaman dahulu hingga sekarang, yang ”sulit untuk dimasuki” karena dikepung gunung dan bukit di berbagai penjurunya. Tak heran bila kemudian Mbah Hamid pernah mengusulkan bahwa Trenggalek adalah ”Kota Pertahanan”, karena identik dengan itu.
Adapun otak-athik mengenai kata Trenggalek berasal dari terang in galih muncul ketika Kabupaten Trenggalek dikepalai Bupati Soetran. Saat itu ceritanya, Soetran tidak suka nama Trenggalek bagi kabupaten ini, dan ingin mengganti nama Trenggalek menjadi Trenggalih. Yang bisa diartikan, dari gabungan terang ing galih. Jadi kalau tetap memaksakan diri Trenggalek dari kata terang ing nggalih sebenernya tidak nyambung. Karena kabupaten kita namanya bukan Trenggalih, melainkan Trenggalek.
Lagi pula cita-cita awal di-risetnya buku/naskah sejarah Trenggalek di samping untuk mencari ”hari jadi”, mula-mula bertujuan untuk, di antaranya, mengubah nama kota dari Trenggalek menjadi Trenggalih. Tapi tampaknya nama kabupaten ini tidak berubah dan tetap bernama Trenggalek hingga kini. Jadi, secara harafiah maupun secara tafsiriah, lebih baik merujuk ke pemaknaan pada keterangan beberapa paragraf di awal, bukan berasal dari terang ing galih (Trenggalih). Atau Anda barangkali punya pilihan argumen sendiri?
Soal ini pernah saya singgung di esai saya: ”Tiga Tokoh Hebat yang Mengubah Kota Trenggalek”. Tim riset dibentuk guna mencari penentuan ”hari jadi” kota Trenggalek (kelak ditarik dari tahun yang tertera pada Prasasti Kamulan) yang kini sudah berusia 822 tahun lamanya (1194-2016). Sementara tujuan penelusuran lain adalah untuk mengetahui asal-usul (etimologi) dari nama Trenggalek sendiri. Meski nama itu tak pernah ditemukan: setidaknya, dari yang saya ketahui, dari naskah buku sejarah Trenggalek, juga tidak pernah tertera dalam prasasti maupun kitab kakawin.
Soetran berhasrat besar mengubah nama Trenggalek menjadi Trenggalih, karena Trenggalek khususnya, akhiran ek itu mengandung asosiasi yang jelek. Ia, nama ini, misalnya berasosiasi dengan akhiran kata-kata yang serupa semisal: jelek, elek, gaplek, kemenyek, tekek, matek dll. Sementara Trenggalih sendiri di antaranya punya kirata basa terang in penggalih tadi. Bagi soetran nama yang bagus dan indah, masih punya tulah dan tuah untuk melecut kemajuan dan kebaikan, bukan hanya manusia (demografi) tapi juga bagi daerahnya (geografi).
Jadi, unen-unen terang ing galih itu bukan asal dari kata Trenggalek, sebagaimana yang banyak ditulis orang. Ungkapan tersebut sekadar kirata basa dari kata Trenggalih. Dan lantas didesiminasikan sedemikian rupa sejak zaman Bupati Soetran. Ungkapan terang ing galih tidak identik dengan Trenggalek, lebih-lebih diyakini sebagai muasal dari munculnya kata Trenggalek. Bukan samasekali. Demikian. Selamat Hari Jadi Kabupaten Trenggalek yang ke-822.