Mengunduh Keluarga dari Dunia Digital

Perangkat telepon selular atau komputer yang kita miliki itu tak ubahnya sebuah kotak ajaib. Ponsel hanya benda mungil dan enteng, yang praktis dalam genggaman. Begitu pula menenteng komputer atau menyangklongnya dengan tas ransel kita, tidak begitu membebani. Keberadaan dan peranan jejaring sosial dalam keseharian seperti facebook misalnya, semakin hari semakin menjadi candu saja. Dan sungguh bukan perkara mudah untuk menghentikan segala urusan kita dengannya.

Dahulu, pada umur tertentu saat kita masih menyusu ke ibu—bukan kepada botol, kardus, kaleng dan sapi perah—ada saat kita harus disapih: tidak boleh menyusu ibu lagi. Biasanya bayi-bayi yang siap disapih adalah bayi-bayi yang berusia antara 1 – 2 tahun. Antara tega dan tidak, ibu-bapak kita lalu memutar otak mencari siasat, bagaimana cara menyapih bayinya dengan sukses dan efektif  alias bisa menimbulkan jera pada buah hatinya supaya aktivitas menyusunya lekas disudahi.

Ada ibu yang mendatangi dukun agar di-sangoni jimat multitasking lintingan kertas yang di dalamnya berisi kemenyan dan tulisan aksara tertentu serta jampi-jampi guna memperlancar sapihan antara puting susu ibu dengan bayinya. Selain ada pula ibu yang memoles puting payudaranya dengan lumpur yang dikeruk dari comberan, berwarna hitam pekat disertai bau yang jangan tanya lagi. Ibu ini sudah merencanakan kebohongan terhadap bayi bahwa di putingnya ada tahi, berharap bayinya jijik dan kapok menyusu lagi.

Ada ibu yang menempeli puting payudaranya dengan biji putrowali yang telah ditumbuk halus terlebih dahulu. Tahu sendiri putrowali itu seperti apa rasanya? Bayangkan jika rasa pahit getirnya itu bercampur dengan ASI. Bukan cuma kapok atau jijik, bisa-bisa si bayi malah trauma. Saya belum tahu juga dampak yang dibawa putrowali bagi tubuh bayi.

Kenapa harus setega itu? Karena bayi belum mampu menerima setiap pengertian yang kita sampaikan padanya. Tetapi sekarang sudah ada metode hypnotherapy sebagai alternatif yang bisa menyugesti alam bawah sadar. Memengaruhi kita dalam melakukan, menghadapi dan mengatasi hal tertentu yang selama ini sulit kita lakukan. Siapa tahu metode serupa bisa digunakan untuk menyapih bayi-bayi kita dari susu ibu tanpa merancang dalih dan kebohongan, lagi tanpa menyakiti, tanpa memberinya rasa takut dan shock juga trauma setelahnya.

Iya, dulu menyapih bayi adalah hal yang sangat sulit. Tak hanya menyakiti perasaan si bayi, tetapi juga menyiksa perasaan sang ibu. Seorang ibu dipaksa untuk tega dan tegar menghadapi tangis lapar bayi yang biasa ia susui.

Sementara itu, ada sebuah cerita mengharukan yang datang dari keluarga saya. Di antara tiga bersaudara, saya adalah satu-satunya bayi yang paling nakal dan merepotkan, yang pernah ibu lahirkan. Kakak saya tidak meminum ASI, tetapi susu kaleng merk Dancow. Susu kaleng ini bersejarah dan penuh kenangan bagi keluarga kami. Susu kaleng ini diperoleh melalui perjuangan yang melelahkan. Antara tahun 1989 sampai akhir 1990-an, bapak rela berjalan puluhan kilo, pulang-pergi dari Dusun Parang, Desa Bangun ke Desa Bungur, hanya untuk mencegat truk yang akan bongkar muatan ke Kampak atau Trenggalek kota hingga akhirnya bapak bisa belanja susu kaleng Dancow ke toko atau apotek.

Kakak saya masih minum susu Dancow sampai usia tiga belas tahun. Untungnya, pada usia itu bapak tidak lagi harus berjalan kaki puluhan kilo demi sekaleng susu untuk putri kesayangannya. Kakak saya tidak terlalu menyusahkan ibu, tetapi ia adalah seorang putri gunung (gelar yang kakak saya sematkan untuk dirinya sendiri saat ia balita) yang merepotkan, menguji seberapa besar tanggung-jawab, pengorbanan, bukti kasih sayang terhadap putrinya. Dan bukti cinta serta komitmen rumah tangganya bersama istrinya, ibu kami bertiga.

Kakak saya tetap lucu dengan selusin tetek warna-warni yang mengalung di lehernya. Kakak saya adalah harmoni dalam rumah tangga bapak-ibu kami. Tawa ceria dan tumbuh kembangnya adalah bayaran untuk baju bapak yang kecut setelah mandi keringat berkali-kali, tungkainya yang mengeras kapalan, jemari kakinya yang lecet setelah perjalanan panjang yang ditempuhnya bersama sepasang sandal jepit melly.

Lalu di mana sisi kenakalan saya?

Saya adalah bayi yang cengeng, gembeng, ngelinduran dan ngompolan (terakhir ngompol kelas 5 SD). Semasa bayi, saya menyusu ibu siang dan malam sampai puting susu ibu lecet, merah dan perih. Adik saya hanya minum ASI selama tiga bulan, setelahnya disambung dengan air gula, lalu susu kaleng yang bermacam-macam merknya selama masa pertumbuhan sampai usia empat belas tahun. Saya hanya doyan ASI saja. Saya menyusu ibu selama lebih dari dua tahun. Setiap kali menyapih saya, ibu selalu menangis, tidak tahan mendengar saya menangis keranta-ranta. Ibu selalu meraih saya dalam dekapannya lagi dan lagi. Menyusui saya kembali sampai kenyang. Sampai puting susu ibu lecet, memerah dan berdarah. Karena hisapan saya yang terlalu kuat. Dan sesekali masih saya gigit pula. Maklum, gusi saya mungkin gatal menjelang pertumbuhan gigi susu.

Saya juga adalah seorang bayi yang super rewel dan susah makan. Sekalinya makan, pasti saya muntahkan. Saya adalah bayi yang terlewat inisiatif dan kreatif dalam hal bereksperimen dengan makanan tak lazim. Pernah suatu hari saya melahap setengah batang sabun Sehat. Ibu saya melihatnya, tapi entah kenapa ia memilih membiarkannya sampai saya nyengir tidak tahan dengan rasa aneh obyek eksperimen saya itu.

Di hari lainnya, seperti Hawa yang berhasil membujuk lelakinya, Adam, untuk memakan buah terlarang, hari itu saya pun berhasil memperdayai kakak saya untuk bersama-sama mengganyang buah talas mentah-mentah. Talas ya, untung bukan senthe. Sungguh luar binasa hasil eksperimen saya kali ini. Kami berdua tak tahan dengan rasa gatal yang menyerang pipi, bibir, mulut hingga pangkal tenggorokan. Karenanya kami menangis meraung-raung sambil berguling-guling di atas lantai rumah kami yang berupa hamparan tanah.

Saya memang nyaris tak pernah sepi ide untuk membuat ibu dan bapak kewalahan. Hari itu kami baru paham jika ternyata talas mentah itu memang tidak untuk dimakan. Tidak enak sekali rasanya. Orang gila manapun rasanya tak akan mau memakannya.

Hari ini, setelah puluhan dasawarsa terlewati, akhirnya kita temukan juga satu hal yang dapat menandingi kesulitan menyapih bayi-bayi belasan bulan dari puting buah dada ibunya. Bahkan sangat jauh lebih sulit dari itu, hampir mustahil. Hal itu adalah menyapih diri kita dari perangkat telepon dan jaringan internet. Fakta tak terbantahkan membuktikan bahwa telepon pintar adalah satu-satunya benda yang membuat kita kecanduan dan keranjingan. Ia selalu ada bersama kita hampir 24 jam; saat tidurpun, ia kita taruh di balik bantal kita. Bukan hal aneh lagi kalau kita pada jam-jam lewat tengah malam dan interval tertentu ujug-ujug nglilir hanya untuk mengecek si telepon pintar kalau-kalau ada notifikasi facebook yang masuk.

Kalau dulu upil yang menyembul keluar lubang hidung atau slilit cabai rawit merah yang kecepit di antara kedua gigi depan kita adalah hal paling konyol, memalukan dan membuat harga diri kita tergadaikan di depan umum, maka hari ini baik slilit maupun upil sudah tidak ada apa-apanya lagi. Hanya si telepon pintar semata yang membuat kita was-was, gugup, meriang, malu, menjatuhkan eksistensi dan harga diri kita di depan kaum sejenis lainnya, jikalau si telepon pintar tersebut sampai-sampai terluput dari genggaman. Kabarnya, di zaman keemasan teknologi ini telah ditemukan jenis phobia baru, namanya “nomophobia”, pengidapnya disebut dengan “nomophobic”, yakni mereka yang ketakutan akut saat perlu tidaknya membawa serta si telepon kemanapun ia berada.

Oh ya, sudah pada menonton video berjudul look up? Yang belum. check di youtube, yak. Di video berjudul look up itu terdapat ungkapan: “We’re the generation of idiots. Smartphone and dumb people“. Video ini berusaha men-celik-kan mata kita agar lebih jeli dan jelas melihat perubahan perilaku manusia di bumi yang lebih sering mengasing ketimbang melibatkan diri dalam kehidupan sosial. Hari ini kita tidak menepis fakta bahwa gadget dan segala dunia kesenangan semu yang dihadirkannya itulah yang paling karib dengan kita, bukan tetangga kita atau teman masa kecil kita. Anak-anak kecil tidak mengenal permainan tradisional lagi, kita tidak lagi ramah terhadap wajah-wajah baru yang berpapasan dengan kita di persimpangan jalan. Kenapa? Karena kita terus-menerus look down. Kita menikmatinya dan look down adalah parameter eksistensi dan gaul-meter manusia masa kini, khususnya di kalangan muda-mudi.

Menyapih bayi dari puting susu ibunya memang sulit dan menghancurkan hati. Tapi toh akhirnya berhasil juga. Menyapih manusia dewasa dari gadget itu mustahil ketika candu telah bertransformasi. Dari yang semula berwujud heroin, kokain dan mariyuana, sekarang berwujud perangkat telepon pintar, lebih ekonomis, variatif, modis, multitasking dan bersifat massal. Menjangkau milyaran manusia di bumi, mereka bisa memilikinya secara legal, permanen dan terus-menerus.

Bicara tentang candu dalam telepon pintar dan internet, saya terus terang susah untuk lepas darinya. Telepon pintar tak hanya candu, tetapi juga buah simalakama. Ketika berselancar di Pantai Sanur hanya bisa kita lakukan pada siang hingga sore hari, berbekal telepon pintar saya bisa berselancar dalam dunia maya dari pagi hingga larut malam. Telepon pintar itu mirip kotak Pandora yang—dalam film “Tomb Raider” yang dibintangi Angelina Jolie, si aktris berbibir seksi itu—diburunya hingga ke pedalaman benua Afrika. Kotak pandora di situ digambarkan sebagai kotak ajaib yang akan memberi hidup panjang tak berkesudahan. Telepon pintar pun membawa kita pada dunia yang tak ada matinya: “dunia maya”. Dunia maya itu luas dan dalam, namun tak terselami oleh panca indera. Ia ada, hanya saja keberadaannya sulit kita wujudkan dan buktikan kepada mbah dan buyut kita yang telah sepuh dan menua.

Dunia maya, facebook contohnya, tak jarang membuat kita manyun, galau, terlena, bahagia karena sesemu-semunya facebook, di sana terkadang, kita berkesempatan menjalin pertemanan dengan orang-orang menyenangkan yang belum tentu kita temui dalam dunia nyata. Di facebook kita bisa bertemu dengan banyak wajah baru, orang-orang baik dan terbuka yang dengan mereka, kita bisa berbagi sesuatu, entah itu gagasan pemikiran, pengalaman, pengetahuan, keterampilan, hobi dan banyak hal baik lainnya.

Bermula dari gegojegan dengan orang-orang baru yang kita kenal lewat facebook, selanjutnya mungkin bagi kita untuk tetap menjalin persahabatan dan persaudaraan yang lebih hangat dengan mereka, menemuinya dan membawa keakraban yang telah terjalin keluar dari dunia maya ke dunia yang sesungguhnya. Akan sangat seru dan berkesan tentu. Berkesan karena saudara dan saudari bagi kita itu ternyata cukup “kita unduh dari dunia maya” saja. Begitu sederhana. Dan mereka tidak melulu harus terlahir sekaligus menyusu pada rahim dan puting yang sama dengan kita. Itu mainstream.

Saya menyebut saudara/I yang saya dapat dari dunia maya ini dengan saudara dan saudari digital. Sejauh ini saya baru mendapat beberapa keluarga digital. Di antaranya ada Kak Abbie. Ia menyeret saya ke bagian kecil dari dunia imajinya yang menakjubkan. Ada pula Mbak Ismiati (sak punika piyantun saking Kampak, lho). Mbak Ismiati beserta suami dan putrinya yang menggemaskan itu telah saya unduh dari internet, lalu saya print 3D dan jadilah mereka keluarga digital saya. Dan sebaliknya, mereka juga mengunduh saya. Setelah kedua perempuan tangguh ini, kira-kira ada tidak yang bersedia mengunduh dan lalu menjadikan saya sebagai saudari digitalnya?

Artikel Baru

Artikel Terkait