Surodakan

Bagian 2

Akan sangat mudah jika melihat Surodakan dengan sudut pandang lingkup administrasinya. Tapi apa demikian jadinya jika dilihat dari sudut pandang lain? Bagaimana dengan wilayah Bagong yang mungkin lebih dekat dengan pasar subuh dan Desa Ngares, secara sosio-kultural? Demikian juga dengan wilayah Ndosari dan Rejowinangun.

Kampung Surodakan—jika memakai pembagian cell menurut J. Sullivan—terbagi atas 4 bagian besar. Cell, menurut J. Sullivan, didefinisikan sebagai kantong-kantong terkecil yang membentuk sebuah kampung. Kategorisasi atas cell ini tak berdasar pada kriteria yang sama. Minimal, pembagian jalan sebagai syarat utama telah terpenuhi secara tidak sengaja. Ndosari, adalah cell pertama dengan pertimbangan wilayah ini bagian dari dusun kelurahan Surodakan. Berada di bagian timur, berbatasan dengan Rejowinangun, Gunung Tumpak Kelor, dan persawahan di sebelah selatannya.

Wong Ndosari jika merujuk pada keterikatan akan perasaan dan wilayah, lepas dari Surodakan. Hampir seluruh penduduk Ndosari sudah pasti mengaku wong Ndosari, bukan wong Surodakan. Ini mirip dengan wong Klampisan dan wong Pandean¹, dan sangat jauh berbeda dengan penduduk di wilayah bagian tengah Surodakan. Hanya mereka yang mendiami wilayah terminal ke barat, sampai alun-alun bagian utara yang terdefinisi sebagai wong Surodakan. Di satu sisi, mungkin mereka memiliki memori kolektif yang lebih baik dibanding—wilayah yang kemudian saya sebut dengan istilah saya sendiri, “Dusun Surodakan”—wong Surodakan. Namun disisi lain, ini kontradiktif, paradoks, karena dusun sebagai daerah administratif telah ditiadakan entah sejak kapan. Paling tidak, sejak saya sadar akan tempat kelahiran saya. Peta Surodakan sejak akhir 1800-an pun juga tak mencatat perihal ini.

Ihwal cell di sini, terbagi lagi atas sub-cell—jika saya boleh menggunakan terminologi ini—dalam memahami klasifikasi dan kantong-kantong di Surodakan. Pengelompokan ini berdasar pada tanah dan sebaran penduduk yang menghuni pemukiman. Beberapa keluarga yang terkelompok dalam sub-cell adalah bagian dari sebuah keluarga besar. Ini tak ubahnya seperti apa yang dikatakan Geertz (Clifford Geertz, 1965) dengan kemiskinan bersama yang terjadi hampir di seluruh pedesaan Jawa. Tanah-tanah dalam lingkup besar yang dimiliki leluhur masing-masing keluarga dibagi-bagi dalam potongan-potongan kecil. Itulah kenapa tak kaget kalau beberapa keluarga yang menghuni sub-cell-sub-cell itu adalah mereka yang masih ada garis keturunan; apakah itu dari bapak-ibu, buyut, atau di atasnya yang lebih tua lagi.

Keluarga mbah Emblik adalah salah satu keluarga yang membentuk sub-cell ini. Dimulai dari tanah di sebelah selatan gunung cilik, memanjang sampai jalan di sebelah selatan. Tanah tersebut dulunya dimiliki hanya oleh beberapa keluarga dari leluhur mbah Emblik. Warisan-warisan tanah tersebut dibagikan pada keturunan-keturunannya hingga generasi kelima pada saat ini. Hampir seluruh kawasan sub-cell ini, sekarang dihuni oleh keluarga-keluarga yang masih memiliki ikatan saudara. Apakah itu satu buyut atau satu bapak-ibu buyut. Salah satu yang saat ini terkenal, deretan sebelah utara dan sebelah timur Masjid Al-Askar. Warung nasi pecel mbah Malidi adalah bagian dari sub-cell-nya mbah Emblik ini.

Model sub-cell sebenarnya sangat tidak sesuai dengan istilah kampung yang sering digunakan di perkotaan Jawa. Kampung yang terbentuk dari proses industrialisasi wilayah. Kota-kota besar memiliki kampung terbentuk seperti apa yang dikatakan Suyono, mereka bukan masyarakat yang ditetapkan oleh serangkaian produk regulasi orde baru (PKK, LKMD, kelompencapir, dll). Orang-orang korban urbanisasi berkumpul, terikat satu sama lain oleh efek akumulasi modal. Mereka tak punya sejarah panjang dengan kampung yang mereka tinggali. Gotong-royong yang menjadi ikon kampung/desa tradisional di Jawa sesekali, atau bahkan tak bakal kita temui. Mudik, adalah contoh lain. Bagaimana mereka tetap terikat dengan kampung tempat mereka dilahirkan.

Mungkin akan benar jika memakai kerangka berpikir Richard Franke (J. Sullivan, 1980), bahwa kampung Surodakan, dalam berbagai aspek, apakah itu definisi atau cara orang luar dan dalam kampun memandang, adalah javanese kangen family, tempat di mana keluarga-keluarga Jawa melepas kangen. Menikmati romantisme masa lalu yang relatif baik, tersimpan dalam ingatan. Tempat kelahiran ataupun tempat tinggal yang disiapkan untuk pensiun, mengasingkan diri, melepas letih setelah bekerja. Rumah bagi tiap manusia menjemput kematiannya.

Tulisan ini pada satu titik jenuh, semacam kegelisahan saya atas apa yang telah saya sebut di “narasi-narasi awal” (sebelum judul ini diganti). Tulisan-tulisan lanjutan jelas sangat dibutuhkan dalam sebuah upaya menguak sisi-sisi lain cerita sebuah kampung. Tak perlu risau dengan istilah kampungan, yang dalam konteks ini saya gunakan untuk menjabarkan perihal-perihal sepele yang menurut banyak orang tak penting untuk dibahas.

Ini istilah udik yang terkesan sarkasme yang tak pernah muncul dari orang-orang kampung. Istilah yang memiliki makna konotasi berendah diri dari kacamata mereka yang tinggal di kawasan perkotaan yang lebih baru atau di kompleks perumahan. Tetapi bagi warga kampung berarti rasa aman, hubungan bertetangga yang rukun dan sebuah kediaman yang terbentuk melalui kegiatan pertukaran dan interaksi setiap hari. Hal terkuat yang muncul dari kedua ini—pertukaran dan interaksi setiap hari—ialah perasaan adanya batas-batas tertentu yang tabu dilanggar, rasa berbeda dengan dunia luar, rasa bersatu ke dalam (Jan Newberry, 2013).

Ada usaha tak berujung yang harus dikerjakan dan ditulis. Bahwa semua kampung di Trenggalek pasti memiliki berbagai cerita. Entah itu narasi lisan, mitos yang diproduksi terus-menerus akan sebuah pohon besar, produk budaya keluarga yang diwariskan turun-temurun sejak buyut canggah, tercoret dalam diari-diari anak SMA yang gemar baca-tulis, atau mungkin tercecer di dalam obrolan ibu-ibu rumah tangga yang sedang bergosip selepas belanja sayur di penjual obrokan.

_________________________________________
¹Kategorisasi yang dibuat oleh orang – orang kampung Surodakan dengan tempat – tempat yang disebut wong mbagong, wong bug tumpang, wong etan/ kulon terminal, wong gang telpon adalah cerita lain. Terlalu samar batas – batas yang dibuat, dan mungkin, akan lebih baik jika dinarasikan di esai yang terpisah.

Artikel Baru

Artikel Terkait