Nener dan Nasib Nelayan Trenggalek

Kojong telah ditebar sejak pukul 20.00 di malam hari. Untaian kertas bekas-bekas semen yang dibentuk menyerupai kipas, ditenggelamkan ditengah goyangan ombak. Bekas semen itu dianyam tak beraturan, dibentuk serupa karang. Bagi nener, makhluk kecil jenis peranakan udang tersebut, kojong akan dianggap sebagai rumah. Nelayan prigi, jika tak sedang musim ikan, mereka beralih untuk menangkap nener. Nener memang punya harga yang lebih menjanjikan, selain itu sifatnya yang masih lugu dalam menghadapi kenyataan dunia—kalau diserupakan anak manusia—nyaris sempurna dimanfaatkan oleh para nelayan Prigi. Nelayan menangkap mereka untuk dijual ke penadah: satu ekor dikabarkan dihargai Rp. 12.000.

Sebenarnya di sini ada yang perlu diluruskan, terkait penamaan nener oleh nelayan Trenggalek yang dirujukkan pada anak udang barong. Karena menurut KBBI, nener merupakan benih ikan bandeng yang baru ditetaskan dengan panjang badan antara l0-30 mm. Sedang untuk penyebutan anak “udang barong” sebenarnya lebih dekat dengan benur. Dinamai begitu karena lebih sebagai anak udang yang hampir kasat mata. Meski begitu, tak perlu diperdebatkan masalah penamaan tersebut, asal pembaca tahu bahwa yang sedang kita bahas ini adalah anak udang barong yang oleh nelayan di seluruh pantai selatan Trenggalek dinamai nener. Bukan nener anak ikan bandeng.

Nener ini ditangkap dengan menggunakan kojong. Kojong adalah perangkap nener yang terbuat dari jaring wereng (sejenis jaring kelambu nyamuk). Jaring ini berfungsi sebagai tempat pengikat kertas bekas wadah semen. Kojong digunakan sebagai perangkap nener dengan cara ditenggelamkan di laut yang dianggap strategis sebagai tempat bernaung nener.

Nener, bagi nelayan Trenggalek, digunakan untuk menyebut anak udang barong (seperti yang telah saya jelaskan di atas, sengaja saya ulangi lagi supaya tulisannya terlihat panjang), sejenis udang lobster (udang barong) berukuran besar dan saat ini sedang mengalami kenaikan harga yang cukup signifikan. Nener menjadi trend di Trenggalek sehingga para nelayan ikut menangkapinya. Bahkan, makin hari semakin banyak nelayan yang menangkap nener. Bukan hanya di Trenggalek, di sejumlah daerah pesisir di Indonesia, aktivitas menangkap nener menjadi primadona.

Di laut Prigi, bagi sebagian nelayan, nener bukanlah tujuan utama. Katakanlah bagi nelayan yang menggunakan perahu payang. Mereka tidak menangkap nener sesering nelayan pemancing ikan biasa. Bagi nelayan perahu payang (porsein) ini, menangkap nener adalah usaha sampingan. Mereka meniatkan menangkap nener apabila laut Prigi sedang tidak musim ikan. Berbeda dengan nelayan pemancing, mencari nener atau memancing ikan adalah pilihan mereka, jika dirasa ikan layur sedang menyambangi laut Prigi. Kalau musim layur, tentu mereka beramai-ramai memancing ikan layur. Namun apabila aktivitas memancing sepi, mereka beralih menangkap nener tersebut. Tergantung mana yang lebih menjanjikan: mendatangkan uang bagi mereka.

Kendati nener merupakan komoditi laut yang menjanjikan, bukan berarti menangkap nener adalah pekerjaan yang membahagiakan. Ibarat kucing dan tikus, nelayan penangkap nener selalu dibayang-bayangi oleh sekelompok manusia yang menisbatkan dirinya sebagai penegak undang-undang. Beralaskan peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia nomor 1/permen-kp/2015 tentang penangkapan lobster (panulirus spp.), kepiting (scylla spp.), dan rajungan (portunus pelagicus spp.). Para penegak hukum ini selalu mengintai nelayan penangkap nener bak kucing mengawasi tikus. Setiap saat mereka bisa menerkam nelayan maupun penadah nener secara random sampling. Bahkan di Trenggalek sudah ada beberapa nelayan dan penadah ditangkap oleh penegak hukum tersebut.

jaring-kojong-penangkap-benur
Jaring kojong untuk menangkap benur (anak udang barong)

Karuan saja meski peraturan telah dibuat dan amanat dijalankan, para nelayan Trenggalek, khususnya nelayan pantai Prigi, tidak pernah disambangi jera. Baik di laut Prigi, laut Munjungan maupun di laut Panggul, aktivitas menangkap nener masih terus berlanjut. Kondisi ini memang selaras dengan kebutuhan hidup para keluarga nelayan yang tidak bisa di-cancel barang satu hari.

Aris, seorang nelayan pemancing ikan laut Prigi sempat mengatakan, “Mikire nelayan kui sederhana, apa seng payu, ya iku seng digoleki.” Hal senada juga disampaikan oleh Havid, nelayan perahu payang. Havid megatakan bahwa nelayan butuh pemasukan untuk hidup sehari-hari. “Halah, mas. Aku ya kadang nangkap nener, regane apik gek stabil, ndak kaya iwak rengis utawa iwak teri. Umpama ketangkep Airut (Polisi laut) ya wes nasib” tutur Havid.

Memang ada sesuatu yang kontradiksi terjadi di laut Trenggalek, sepertinya kerja keras mereka tidak kunjung dihargai secara pantas. Ada beberapa tulisan yang pernah membahas perihal nelayan Prigi serta pelbagai masalah yang mereka hadapi. Tulisan-tulisan tersebut sebenarnya dimaksudkan untuk memberikan pemahaman luas kepada masyarakat terkait perjuangan hidup para nelayan.

Hukuman Bagi Penangkap Nener

TPI (Tempat Pelelangan Ikan) di pelabuhan Prigi belum terlalu jelas melaksanakan tugasnya sebagai tempat untuk melelang harga ikan. Supaya disepakati harga pantas bagi ikan hasil tangkapan nelayan. TPI lebih berfungsi sebagai tempat penimbangan ikan ketimbang sebagai tempat lelang. Jelas sekali. Ini berani saya utarakan karena saya melihat langsung keadaan tersebut. Beberapa nelayan sebenarnya juga merasakan hal yang sama, seperti yang saya sebutkan. Persoalan ini menurut pikiran picik saya telah menimbulkan masalah berupa penentuan harga ikan yang cenderung lebih memihak kepada penadah daripada nelayan itu sendiri. Lebih kasarnya, ketika nelayan sampai di pelabuhan, mereka hanya menerima saja keputusan harga yang berlangsung pada saat itu juga. Sementara terkait siapa yang menentukan harga, saya sendiri juga tidak tahu.

Pengaruh harga ikan yang cenderung menyesuaikan dengan kuantitas ikan pada saat itu, menimbulkan problem tidak adanya kepastian harga ikan. Misalnya harga ikan rengis pada hari ini mencapai 100.000 per kresek-nya; besoknya bisa anjlok hanya 50.000 per kresek. Persoalan harga seperti ini bisa jadi mengubah mindset para nelayan untuk mencari sumber daya laut yang lebih menguntungkan, dengan, salah satunya menangkap nener itu.

Harga nener bisa saja fantastis, namun hukuman bagi penangkap nener jauh lebih fantastis daripada harga nener. Ibu menteri Susi sendiri secara yuridis telah melindungi nener dari kepunahan. Di situ, tanpa ragu sedikit pun beliau yang dikenal arif-bijaksana nan trengginas tersebut mengeluarkan aturan tentang pelarangan menangkap nener. Baca saja peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan RI nomor 1/PERMEN-KP/2015. Di sana secara tersirat, disebutkan bahwa nelayan harus mengerti dan tahu, berapa ukuran anak lobster yang mereka ditangkap. Saya membayangkan alangkah repotnya para nelayan apabila aturan tersebut benar-benar dilakukan, mereka harus menarik dan mengurus kojong sambil bawa “meteran” untuk mengukur nener.

Aturan yang baik memang harus ditegakkan. Namun kebutuhan ekonomi juga adalah sesuatu yang tak bisa ditawar-tawar. Mencari kebutuhan juga tak harus melanggar aturan. Namun melihat kondisi ekonomi saat ini, wajar bila nelayan berbuat, seakan tidak menggubris apa yang diaturkan oleh Ibu Menteri Susi. Toh pada kenyataannya, kejahatan kepada lobster ini bukan merupakan kesalahan nelayan semata. Mana mungkin mereka mau menangkap nener apabila tidak ada pembeli. Pembeli nener tidak mungkin membeli, jika tidak ada penadahnya. Penadah tidak mungkin membeli nener apabila tidak ada pengusahanya.

Lantas kenapa yang dijadikan fokus sasaran hukuman adalah penangkap nener, bukan pengusaha nenernya atau penadahnya. Kenapa sasarannya nelayan yang setiap hari dikecawakan para bakul yang terkadang se-enak udel-nya menentukan harga ikan. Apa tidak takut, kalau-kalau para nelayan ini melakukan aksi mogok melaut selama sebulan? Nutrisi OMG 3 bisa merosot lantaran aksi tersebut. Bisa jadi, anak-anak pantai di sepanjang Trenggalek jauh lebih bodoh dari sebelumnya, karena suplai ikan menipis.

Havid mengatakan lagi, “sebenarnya nelayan tidak menuntut banyak, karena memang tidak ada yang bisa dituntut. Nelayan hanya butuh keadilan. Jika kita tidak boleh menangkap nener (sebenarnya benur), seharusnya para pembeli dan pengusaha nener itu juga ditangkap.” Nah toh, sebenarnya mereka ini menuntut keadilan supaya tidak hanya nelayan yang dipersalahkan.

Butuh WinWin Solution

Jadi sebenarnya kita butuh solusi yang tepat supaya ini tidak menjadi berlarut-larut. Supaya tidak terjadi lagi demo para nelayan Prigi untuk menuntut keadilan serta menuntut supaya kerja menangkap nener bukan sebuah kesalahan dan tidak dilarang.

Saya yakin pemerintah Trenggalek punya solusi yang tepat untuk mengatasi masalah ini. Bahkan saya juga sangat percaya bila Dinas Kelautan dan Perikanan punya win-win solution bagi nelayan Trenggalek. Seperti capaian mereka dalam mengentaskan masalah sewa tempat hajatan manten di aula pertemuan perikanan. Sampai saat ini mungkin mereka masih menggodok perkara ini hingga benar-benar matang. Keyakinan ini kian kuat ketika belum ada kabar pencarian solusi bagi nelayan.

Oke-lah, mereka masih berpikir keras, lantas kita sebagai masyarakat yang sadar akan asas pembangunan, seharusnya tidak boleh tinggal diam. Dengan membantu mereka berpikir setidaknya mengurangi beban mereka dalam membuat SPJ. Iya to?

Nelayan menangkap benur (ah, mereka masih ngeyel namanya nener) untuk kebutuhan hidup karena harganya fantastis. Di sisi lain, Menteri Susi melarang penangkapan benur secara sembarangan. Sampai di sini, sebenarnya tidak ada yang salah jika dipikir secara humanis dan kritis. Mereka sama-sama melakukan kebaikan. Namun, dengan membenturkan konsep keduanya, justru di sinilah masalah terjadi. Jadi, solusinya adalah bagaimana caranya mencari solusi supaya nelayan tetap menangkap benur, namun tidak sampai membawa kepunahan seperti yang ditakutkan menteri wanita yang hobi ngudud tersebut.

Lantas DKP bisa mejadi pemecah masalah, misalnya dengan membuat tambak udang barong (lobster) yang dapat menampung benur hasil tangkapan nelayan. Dengan begitu, udang tidak sampai punah bahkan tidak keluar dari Trenggalek sebelum layak dikonsumsi. Nelayan juga harus mengambil peran, jika tambak sudah memenuhi kapasitasnya, mereka bisa menghentikan sejenak aksi menebar kojong-nya. Tidak malah merasa puas dengan dibebaskan untuk menangkap benur sehingga menjadi nafsu tamak dan rakus yang hingga saat ini juga mereka derita.

Artikel Baru

Artikel Terkait