Dilem Wilis berada pada lipatan bukit. Sungai mengalir di antara lipatan menyesuaikan topografi permukaan. Jalan masuk ke sana dibuat menyesuaikan kelokan sungai. Di ujung jalan, tepatnya pada gang penghabisan, sebuah wisma berdiri seperti bangunan yang cukup lama mengalami kesepian. Meski tak mengesankan sebagai sebuah tempat tak terawat lagi tak berpenghuni. Di belakang wisma yang memanjang, tumbuh puluhan batang pohon cengkih yang cukup punya usia. Sementara, sepelemparan batu orang dewasa dari depan wisma, bekas pabrik peninggalan pengusaha kompeni yang kini namanya dipakai untuk mengabadikan lokasi tersebut: Van Dilem, berdiri menahan beban usia.
Saya ke Bendungan lagi, setelah beberapa kali pernah datang ke sana. Beberapa kunjungan itu sebagian disengaja dan yang lain karena kesempatan diajak. Kemarin, saya, tepatnya kami bertiga, ke Bendungan karena ingin tahu lebih jauh bagaimana kondisi pabrik peninggalan Belanda serta kabar terkini Dilem Wilis yang di-brand sebagai salah satu bagian dari ”Desa Wisata” Domyong. Di sana, kami sempat mendekati proses pemerahan sapi juga mengunjungi sisa kebun kopi yang berada di atas bukit.
Sebelumnya, kami mampir di warung sega gegok Mbah Tumirah di pertigaan jalan Desa Srabah. Suasananya agak ramai, ada beberapa anak muda yang menggerombol tengah makan nasi gegok sembari bercakap. Kami juga menikmati nasi gegog yang dilauki sambal teri, yang rasanya seperti kurang lengkap tanpa disanding tempe goreng dan kopi.
Di sela-sela makan, kami membicarakan seliweran informasi yang mengatakan bahwa sega gegok selain menjadi makanan khas Kecamatan Bendungan, ternyata menjadi kuliner yang bisa ditemui di wilayah Kecamatan Pulung, Ponorogo, juga di sekitar Tulungagung bagian utara (kaki Gunung Wilis). Tentu saja, ini informasi lama. Wajar jika nasi berlauk sambal teri dan direbus terlebih dahulu itu, diduga dulunya—sebagaimana banyak kata orang—nasi bekal (bontot) yang dibawa para petani dan peladang di hutan sekitar area kaki Gunung Wilis.
Dengan komposisi: nasi setengah matang dan sambal teri direbus bersamaan, ia akan tahan dari serangan basi alias bisa lebih lama disimpan. Karena berlatar demikian, sebetulnya nasi ini secara otomatis juga menjadi bagian dari kuliner yang lahir dari kultur agraris (cara bagaimana manusia sekitar hutan mengawetkan makanan perbekalan) sepanjang beraktivitas di hutan. Sebab, mereka kadang-kadang bisa menginap di hutan hingga berhari-hari.
Perbincangan tentang nasi gegok membawa kami pada topik hangat terkait kemasan nasi gegok yang baru-baru Pak Bupati sempat katakan, yakni kemunculan nasi gegok poros maritim. Karena selama ini nasi gegok hanya dilauki sambal teri, dan sekarang dengan varian baru: di antaranya dilauki ikan laut dari jenis tongkol dan lainnya.
Siang itu, kami berangkat ke Bendungan sedikit diarak mendung. Sambil mengamati lebih detail kira-kira sudah sejauh mana dan perubahan apa saja yang tampak di sepanjang jalan mulai dari kota Trenggalek, Ngares hingga memasuki Bendungan. Dan benar saja, telah berdiri beberapa home stay di sisi kiri jalan, sebelum memasuki wilayah Kecamatan Bendungan.
Sesampai di lokasi yang dituju—kendati sudah mendapat brand sebagai desa wisata—suasana Dilem Wilis (di Desa Domyong) rasa-rasanya masih seperti dulu: tetap lengang, sepi, dan ngungun, bak lokasi mati. Tak ada perubahan atau kesan yang berbeda terasa dari pembrandingan tersebut. Sekadar papan nama-papan nama baru yang sengaja dipasang di beberapa lokasi juga pemandangan pohon-pohon pinus yang ditebangi pada gigir bukit di sepanjang gang menuju bekas pabrik.
Memandangi pabrik tua itu, sembari menamat-namatkannya kembali, aura masa silam begitu saja menguar dan membayang. Kami mengelilingi bangunan tua ini. Tak sengaja juga saya, mengikuti Trigus, ikut memasukkan kepala ke sebuah lubang atau lorong kecil, yang sepertinya digunakan sebagai tempat pembakaran (pemanggangan). Bau udara dari bekas abu tercium sengak, menderitkan sedikit rasa takut. Dahulu, pertama datang ke sini, bekas pabrik ini berwarna lapuk pada seluruh rangka bangunan juga terlumuri karat dan coklat di hampir seluruh besinya, seolah menjadi perangkap bagi segala jenis kotoran dan debu yang terbawa angin untuk menempel di situ: menguantifikasi umur. Kini pemandangan sudah agak berbeda, bekas pabrik ini lumayan lebih bersih.
Di sekitar bangunan bekas pabrik hanya kami jumpai tak genap sepuluh batang pohon kopi yang tak terawat. Dua di antaranya, kebetulan sedang berbuah, sementara batang-batang yang lain seperti enggan melanjutkan hidup. Pak Cahyo meminta difoto berlatar satu dari dua batang kopi yang masih berdaun. Saya sempat menggerutu, melihat pemandangan tak meyakinkan mengenai batang-batang kopi yang terlihat mata. Lalu, kopi sebelah mana ya, kira-kira yang di-brand dengan kemasan bermerek ”kopi Van Dilem; Kopine Wong Londho” itu?
Ada beberapa penduduk sekitar yang berlalu-lalang, kebetulan aktivitas di pemerahan susu sapi masih berlangsung. Meski hanya tampak beberapa gelintir orang. Di ujung jalan, dekat wisma, seekor anjing menjemur diri sembari menjulurkan lidah dan mengawasi sekitar. Termasuk mengawasi gerak-gerik kami yang nota bene pendatang. Satu-dua orang tampak melintas di jalanan lengang dan di atas bukit. Di antaranya terlihat membawa sekarung rumput di belakang jok motor.
Lelaki berkaos gambar pasangan cabup-cawabup kalah yang kami tanya-tanyai di depan pemerahan susu—dulunya bekas pasar—nerocos tentang masa lalu lokasi ini, saat tadi sempat kami pancing. Antara ingat dan tidak, ia bersikukuh bercerita ihwal tema yang kami suguhkan di muka. Sementara di sisinya, seorang perempuan seusianya, tampak juga menunggu untuk kami tanyai, meski sesekali langsung ikut nimbrung menjawab. Seekor anjing yang tadi kami lihat di depan wisma, melintas di belakang keduanya. Sembari mengibas-ibaskan ekor dan masih menjulurkan lidah. Berjalan cuek dari arah kiri kami ke arah kanan. Dan di belakang kami, seorang ibu masih melanjutkan meraih (dan meremas) susu salah satu sapi.
Bendungan (juga Munjungan) memang dua kecamatan paling terisolir dari pusat kota kabupaten. Karena sama-sama terletak bukan pada jalur lintas atau yang bisa dilalui dengan tujuan lain. Ia didatangi semata-mata karena orang pergi ke sana, menjadi tujuan utamanya alias tanpa tujuan lain. Sementara untuk memposisikan diri sebagai kawasan yang menjadi tujuan utama bagi pendatang, sebuah daerah, mesti, minimal, setingkat dengan Prigi. Atau terkonsep secara lebih matang sebagai daerah destinasi, yang patut dan wajib dikunjungi ketika orang datang ke Kabupaten Trenggalek. Dan, untuk mencitrakan daerah seperti itu, tentu tidak mudah. Minimal harus mempunyai kekuatan daya pikat lebih. Jalan-jalan di Bendungan sudah beraspal, meski ukuran jalannya rasanya perlu lebih sedikit diperlebar. Dan tentunya, jalan-jalan di Bendungan tak se-ekstrim jalur menuju Kecamatan Munjungan.
Trenggalek sendiri di zaman dahulu, memang bukan kota perlintasan juga persinggahan sebagaimana Pasuruan dan Kertosono atau kota Bandung dan Malang. Ia kota yang tak dikenal dan terlupakan. Orang hanya mengingatnya lalu bergerak mendatanginya, pada waktu-waktu tertentu: misalnya ketika terjepit. Seperti tokoh-tokoh yang bergerak ke wilayah ini pun paling banyak menggunakannya untuk bersembunyi dari kejaran musuh. Atau mungkin untuk mencari inspirasi dan ilham. Sebagaimana terbukti banyak tokoh yang memang menyingkir dan bertetirah ke wilayah Trenggalek, sejak dari puluhan bahkan ratusan tahun lalu hingga pada masa-masa genting di zaman pra dan pasca perang kemerdekaan.
Kecamatan Bendungan cukup mewakili sebagai sebuah daerah lembah (pemukiman). Ketika masuk, kita seolah memasuki topografi sebuah wajan, tepatnya cekungan wajan. Yakni dengan memasuki lembah sedemikian rupa sampai di daerah pemukiman, lalu memasuki hutan pepohonan yang bisa diamati di sepanjang jalur sebelum menuju kota kecamatannya. Masih ada beberapa batang pohon yang tinggi, di antaranya adalah pohon ketapang, mahoni, trembesi dan lain-lain yang membuat perhatian dan mata betah melanglang berjelalatan ketika melintas. Udara di sana menyegarkan. Angin bergerak memainkan ranting, rumput, semak-semak dan menggugurkan daun-daun pepohonannya. Memasuki Bendungan semirip ketika kita memasuki Desa Prambon, Tugu. Seolah kita memasuki lembah. Demikian juga pada saat memasuki kota Trenggalek dari arah barat.
Tapi sependek ini, agaknya kabupaten cuma repot ngurusi branding dan sedikit (untuk tak mengatakan tidak) memperhatikan lebih jauh bagaimana kondisi yang akan dibranding. Bukankah akan lebih asyik andai diperhatikan ihwal inovasi dari apa yang dibranding itu: misal inovasi nasi gegok sendiri dengan memakai nasi gurih atau sega gegok dengan menggunakan nasi thiwul, misalnya? Begitu pula soal branding desa wisata, ketika pemerintah keasyikan mengglorifikasi branding desa, banyak orang lebih fokus dan mempertanyakan sudah sejauh mana pemberdayaan masyarakat sekitar desa? Apakah sudah disesuaikan kesiapan SDM masyarakat setempat dengan rencana pembangunan sekitarnya tersebut.
Sepulang dari Bendungan pada sore yang hampir gelap, saya merasa bahwa kota Trenggalek tampak lebih menyenangkan ketika dimasuki dari jalur utara. Jalur yang selama ini cuma dijadikan pintu masuk, orang-orang dari arah Kecamatan Bendungan dan Ngares (atau mungkin orang Ponorogo dari Kecamatan Pulung), karena dianggap jalur mati. Kesan Trenggalek dari utara itu sebetulnya—khususnya bagi saya—tidak biasa. Rasanya, di sore itu seperti memasuki sebuah kota yang berbeda juga indah, ketimbang dimasuki dari arah barat dan timur. Sudah terlalu biasa kita berjumpa dengan tugu selamat datang juga wajah dua pemimpin daerah. Sebab ketika datang dari arah utara, setidaknya kita bisa dipapak langsung oleh dua pemandangan ini: keramaian perempatan Nirwana dan alun-alun kota.
Mengunjungi Bendungan kali ini, saya jadi ingat percakapan di suatu siang di akhir-akhir bulan puasa kemarin, dengan, di antaranya orang dari luar Trenggalek. ”Saya merasa, ketika sudah sampai di Trenggalek, waktu seperti menjadi berhenti,” ungkap Mas Aman Sugandhi—saya kenal dengannya pertama saat Kongres Kebudayaan Jatim, di Pasuruan. Atau memang benar-benar segalanya jadi berhenti, termasuk aktivitasnya. Seolah kota ini, dengan mengiyani pendapat Mas Bonari, sastrawan nasional kelahiran Dongko, seperti kota pensiunan.
Karena kerap menjadi kota yang dihuni oleh orang-orang kampung pensiunan. Tempat orang-orang kembali, bisa dari bepergian sekian tahun atau memang niat pulang kampung halaman untuk beristirahat, setelah tak lagi kerasan di tempat rantau. Kota ini memang terasa semacam kota peristirahatan di masa tua. Tersebab itu, wajar kalau orang-orang di dalamnya lebih suka pergi merantau dan lebih leluasa membuat keberhasilannya di luar sana kemudian mereka kembali lagi ke kampungnya untuk membagi keberhasilan itu. Kadang juga memamerkan keberhasilannya untuk berlagak. Membagi di situ, sering bukan untuk menularkan untuk dikembangkan di kabupatennya, melainkan agar si pendengar cerita juga tertarik keluar dari daerahnya, sebagaimana dirinya (si pencerita) pernah melakukannya.
Dari percakapan siang itu, saya merasa jadi ingin lebih banyak mendengar bagaimana orang-orang di luar Trenggalek, melihat, merasakan dan mengalami situasi dan sambutan kota Trenggalek pada mereka. Lantas kesan akan kota kecil ini meluncur begitu saja dari mulutnya. Entah ia tinggal dalam selintas atau kesan yang mendalam dari proses tinggal dalam jangka waktu lama. Lalu menuturkannya ke kuping saya secara langsung. Mengenai yang kedua, tentu mensyaratkan ia harus tinggal bukan dalam hitungan satu-dua hari. Tetapi, mereka, baik yang selintas mampir maupun yang tinggal dalam jangka waktu lama, bisa saja mengesankannya dalam perspektif yang amat subjektif, betapapun kesan tadi baik.
Tapi lebih dari semuanya, saya lebih suka kalau kesan itu bisa keluar secara spontan, ketimbang kesan yang terlebih dahulu diatur dan ditata. Sebab, kesan yang selintas keluar (spontan) sering tak menyembunyikan kebohongan. Meski kesan spontan tampak acak dan amburadul—lawan dari kesan yang dipersiapkan—sebetulnya lebih penting. Kesan spontan, punya rasa jujur, tak dibuat-buat, dan tentu lebih bernilai positif untuk perubahan.