Pagi hari di halaman rumah, Pak Lasimun berkisah ihwal bagaimana ia mengalirkan sumber mata air yang berlokasi di bagian atas Gunung Sinawang ke bawah. Mula-mula, ia bercerita tentang akses air di perkampungan sekitar rumahnya yang sulit. Bahkan ada beberapa keluarga sempat berpindah karena masalah air. Cerita berlanjut menyinggung ”rencana”-nya yang sempat disepelekan para tetangga: yakni ketika bermaksud mengalirkan sumber dari atas gunung ke pemukiman. Begitulah, memang kebiasaan orang-orang desa. Acap ingin segera dapat bukti, bukan cuma rencana tak pasti. Untung saja, Pak Lasimun bukan jenis manusia yang lantas mengkerut begitu saja ketika babak pertama dari cita-citanya menuai ujian pengacuhan. Pantang baginya mundur atau menyurutkan langkah, apalagi mengurung niat. Kehendak untuk mengalirkan mata air dari atas gunung itu sudah segenggam-sekepalan dengan hati.
Sore itu, ia mengalirkan kisah ini lagi ke telinga saya, sambil menghisap kretek. Pandangannya menembusi ingatan belasan tahun silam, pada saat ia baru saja akan memulai rencana tersebut. Justru, karena diacuhkan tetangga sekitarnya itulah membuat semangatnya menebal. Dengan mengajak satu temannya lagi, ungkapnya pagi hari itu, pada 2001 lampau ia benar-benar menunaikan niat mengalirkan sumber air yang ditemukannya. Letak mata air ini, berada di lereng utara Gunung Sinawang yang diapit oleh beberapa vegetasi dan pepohonan yang tumbuh di sana.
Jangan dikira Pak Lasimun cuma iseng meletupkan wacana, ia mengalirkan sumber tersebut dengan banyak pertimbangan, termasuk memikirkan tekanan aliran: bagaimana cara membuat aliran naik sebanding dengan saat air turun. Dengan kemauan besar, air dari sumber di atas Gunung Sinawang itu akhirnya dapat mengalir ke bawah. Sejak 2001 hingga sekarang, mata air ini mengalir lancar. Warna air bisa dibilang cukup jernih. Kecuali pada saat-saat tertentu, semisal pada saat musim hujan. Ketika hujan, sumber air berubah agak keruh. Sebab sumber air di atas sana menjadi tercampuri tanah dan lumpur yang dibawa aliran hujan di sekitar kolamnya (mbeji).
Pak Lasimun tinggal di wilayah Ndosari, bagian dari Kelurahan Surodakan. Rumahnya asri dengan tumbuhan dan bunga-bunga yang memenuhi depan rumah: ada kembang pacar, jeruk nipis, dan berbagai jenis tanaman obat. Sebagian menggantung di depan rumah dalam botol-botol bekas air minum juga batang-batang bambu yang dilubangi. Ruang tamu rumahnya dihiasi kursi dan meja buatannya sendiri. Kata menantunya, kursi dan meja itu adalah bekas pokok pohon (tunggak) yang tumbang dan teronggok di atas bukit (sekitar Gunung Sinawang). Pak Lasimun tak bisa membiarkan tunggak tak terolah. Lalu dibawanya ke rumah dan diolah menjadi barang-barang yang, selain indah juga fungsional. Dulu, sewaktu mengolah pokok kayu menjadi kursi dan meja, ada tetangga sebelah yang juga iri dengan cara Pak Lasimun mengkreasinya. Padahal, kalau pokok itu dibiarkan teronggok begitu saja, kemungkinan juga tak akan ada yang mau dan mampu mengolahnya. Apalagi mengolah sekreatif Pak Lasimun.
***
Gunung Sinawang terletak di sebelah utara kota Trenggalek. Ia termasuk gunung rendah sebagaimana gunung-gunung lain yang mengitari kota Trenggalek. Orang di sini memang biasa menyebut gunung, padahal aslinya bukit. Saat hendak naik Gunung Sinawang sore itu, terlihat tampungan air yang dibuat sebagai wadah aliran air dari sumber air di atas sana. Tampungan air berbentuk kolam atau empang persegi empat yang disemen dikelilingi oleh selang-selang kecil di kanan-kiri. Selang-selang itu mengalirkan air dari tampungan menuju masing-masing rumah yang berada di bawah. Kami (Pak Lasimun, saya dan menantunya) naik ke atas, melalui jalan setapak yang dipakai sebagai jalur naik dari arah selatan. Saya dan menantu Pak Lasimun berjalan di muka, sementara Pak Lasimun sendiri membuntuti di belakang. Ia bertopi dan mencangklong eklek—sarung arit—di pinggang. Selain hendak mengunjungi mata air, sore itu Pak Lasimun juga menuju ladang sembari mencari rambanan atau rumput untuk beberapa kambing peliharaannya. Dan, nampaknya memang Pak Lasimun sudah cukup lama tidak memeriksa mata air di atas sana.
Menginjak naik, kita bakal disambut rumpun bambu (greng) sebelum kemudian menyisiri jalan setapak yang naik dan berkelok-kelok. Kadang jalan tersebut berada di badan bukit, dan kadang juga mengulari lereng atau gigir bukit. Menyusuri jalan setapak yang agak miring begini, di beberapa lokasi membuat saya berjalan sambil agak merangkak. Ada sekian pohon jati, setelah penghabisan rumpun bambu. Daun-daun jati kering jatuh berserak dan bertumpuk memenuhi tanah. Ke atasnya lagi, terlihat deretan pohon pinus yang menghampar sebelum benar-benar mencapai puncak Sinawang. Di sepanjang jalan, kami banyak dipapak gerumbulan semak. Pak Lasimun ganti berjalan di muka. Kami tak diberitahu sebelumnya, letak persis sumber mata air ini berada di sebelah mana. Sore itu kami mendaki selangkah demi selangkah hingga sampai tujuan.
Ndosari berada di sebelah timur dan utara terminal. Tepat di bawah kaki bagian selatan Gunung Sinawang. Beberapa tahun lalu, seingat saya, pada dini hari, sebuah pabrik di dekat situ pernah terbakar. Peristiwa itu berlangsung pada bulan puasa. Dan orang-orang ramai menyaksikannya. Saat saya datang, api telah melahap hampir sebagian bangunan pabrik gondorukem tersebut.
Kami mendaki ke atas, pada beberapa etape, kadang berhenti sepenungguan antrian di pom bensin untuk mengatur napas, sembari membicarakan pepohanan dan segala vegetasi yang tampak oleh mata. Naik melalui jalan setapak dengan merunut pipa yang terpasang ke atas. Pipa dari paralon itu sebagian ditanam di bawah tanah, namun sebagian juga tampak nyembul begitu saja ke atas. Sepertinya pipa itu memang sengaja dipasang mengulari jalan setapak yang dibikin masyarakat sekitar. Pipa itu beberapa badannya ditanam lumayan cukup dalam sampai tak terlihat; meski sebagian masih tampak menonjol ke permukaan. Di beberapa ruas, bila diperiksa secara lebih teliti, ada pipa yang sengaja dilubangi. Susur pipa ini sengaja ingin mengamati aliran sumber dari pusat, yang di bawah tadi tampak menyusut: debit yang dikeluarkannya mengecil. Dan, benar saja, pipa di hulu tersumpal rumput atau sengaja disumpal, sehingga aliran ke bawah tak lancar.

Kendati terbilang gersang, ada beberapa titik mata air di atas Gunung Sinawang. Salah satunya adalah yang kemudian dipipa oleh Pak Lasimun dkk, yang membentuk mbeji atau kedung. Mbeji itu ditumbuhi tales, rumput-rumputan dan pandan. Sementara di pinggir-pinggirnya, pohon rabuk ijo, pisang dan beberapa jenis rumpun tumbuh mengelilingi. Radius 10-an meter dari mbeji, tumbuh rangkaian pohon jati diselingi pohon pisang dan ketela.
Di tengah perjalanan tadi, Pak Lasimun kerap menyibak semak belukar, oleh karena kami menuju ke sumber dengan menerabas. Sesampai di atas, masuk ke lereng utara, suasana agak terang. Tiba-tiba terdengar suara anjing menggonggong cukup keras. Suara anjing sempat membuat saya merapat ke Pak Lasimun, sebelum kemudian Pak Lasimun mengusirnya dengan cara membuat suara serupa suara anjing dengan nada lebih tinggi dan keras dari suara yang dikeluarkan anjing tadi. Sesudah teriakan Pak Lasimun, rupanya tak terdengar lagi gonggongan anjing yang tadi sempat mengejutkan. Barangkali karena kalah keras dengan suara yang dibikin oleh Pak Lasimun.
Di sekeliling rumah Pak Lasimun terdapat sekitar 25 kepala keluarga. Baru saja sebuah mushola didirikan di sana. Dibikin secara gotong-royong bersama tetangga. Sementara akses air dari sumber ini juga dipakai kira-kira oleh warga se-RT utara jalan raya yang bisa ditembus melalui perempatan lampu merah Bendo ke arah kota Trenggalek lewat utara hingga pertigaan lampu merah di utara terminal. Rumah Pak Lasimun berada di sebelah barat pabrik gondorukem. Tentu saja tak ada gang dari jalan besar menuju rumahnya. Jalan masuk ke rumah Pak Lasimun hanya bisa dilewati melalui gang kecil yang dikempit deretan rumah yang tersebar di sekitar situ.
***
Trenggalek memang banyak disebari mata air yang melimpah karena secara geografi dan topografi, beberapa daerah kecamatannya berada di pegunungan dan perbukitan. Penduduknya hampir sebagian besar menggantungkan air bukan dari air sumur, melainkan dari sumber (mata air). Saya tak menduga saja kalau di Kecamatan Trenggalek (Ndosari, Surodakan) masih ada yang memanfaatkan air dari sumber di gunung untuk kebutuhan sehari-hari. Saya kira hanya masyarakat pegunungan-perbukitan saja yang mengambil air sumber di antaranya seperti masyarakat di Kecamatan Watulimo, Munjungan, Panggul, Dongko, Suruh, Pule, Bendungan, dan Kampak. Vegetasi di Gunung Sinawang tampak lebih menggembirakan ketimbang vegetasi di Gunung Jaaz dan sekitar Gunung Rajekwesi. Meski ya, vegetasinya masih sama-sama didominasi semak, rerumputan dan pinus. Mata air di Trenggalek punya banyak tantangan. Selain tantangan perusakan hutan (deforestasi), berupa penebangan, alih fungsi hutan lindung menjadi hutan produksi, juga kian menipisnya semangat reboisasi. Tentu ini belum hitungan, bahwa kadang-kadang, mata air yang jernih menjadi lirikan perusahaan daerah semacam PDAM juga.
Kita tahu, sumber mata air selain menjadi kebutuhan pokok sehari-hari: mandi, memasak, mencuci sebetulnya juga menjadi kebutuhan pokok lainnya: menumbuhkan berbagai vegetasi. Selain, alam sendiri adalah sumber bagi segala tradisi dan kebudayaan masyarakat sejak awal. Sumber mata air yang baik dan lancar bisa membuat betah dan kerasan koloni di sekitarnya, dari jenis hewan, tumbuhan hingga manusia.
Setelah sekitar dua jam di atas, dari selatan awan gelap mulai menyelimut. Kami pun turun melalui jalur yang berbeda. Sepikul rambanan (rabuk ijo bercampur sedikit sengon) telah terikat dan siap diangkat. Pak Lasimun memikulnya dapat beberapa langkah, sebelum kemudian anak menantunya menawarkan diri untuk menggantikannya memikul. Setelah rambanan berpindah punggung, kira-kira dapat setengah perjalanan, menantu Pak Lasimun tampak mulai keberatan beban. Terlihat dari caranya melangkah yang mulai sempoyongan. Saya ketawa menyaksikan pemandangan di depan mata. Tentu karena ia jarang di rumah juga jarang naik ke sini. Sampai di bawah gunung—sembari menunggu Pak Lasimun yang masih berada di atas turun—kami berdua berhenti, menyalakan rokok dan membakar daun bambu untuk mengusir nyamuk. Menantu Pak Lasimun tersebut adalah teman saya sendiri. Ia adalah suami dari Nefi Dwi Kumalasari, putri terakhir Pak Lasimun. Lelaki itu bernama Trigus D. Susilo :-D.