Mendengarkan Keresahan Warga Tumpang Pitu, Banyuwangi
Jumat, 28 Mei 2021, tim ahli Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memaparkan hasil kajiannya yang bertajuk “Kajian dan Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami di Jawa Timur.” Dalam kajiannya tersebut, BMKG menyampaikan bahwa terdapat potensi gempa berkekuatan 8,7 SR dan bencana tsunami setinggi 26-29 meter di perairan selatan Jawa Timur.
Seperti dilaporkan oleh kompas.com (04/06), Kepala BMKG, Daryono, mengingatkan masyarakat agar tidak panik. Namun, faktanya informasi dari BMKG tersebut telah menyebar secara luas ke publik dan seminggu kemudian menjadi pemberitaan utama di sejumlah media.
Masyarakat Jawa Timur, khususnya pesisir selatan Banyuwangi yang mendapatkan informasi ini juga mulai menunjukkan kegelisahannya, sembari mengingat kembali bencana tsunami di kampung mereka yang terjadi 27 tahun silam. Patut diketahui pada 3 Juni 1994 gelombang besar tsunami menyapu kawasan pesisir Desa Sumberagung, Pesanggaran, Banyuwangi, dan pesisir selatan Banyuwangi sekitarnya. Bencana tersebut telah merenggut korban lebih dari 238 jiwa.
Sebagaimana yang diceritakan oleh Ahmad, seorang nelayan yang tinggal di Dusun Pancer, Desa Sumberagung, bahwa pada tahun 1994 pernah terjadi tsunami di wilayah Banyuwangi. Bencana tersebut melahap sebagian wilayah desa, tak terkecuali tempat ia tinggal sekarang. Saat itu Ahmad menuturkan bahwa banyak orang berhamburan dan mencari tempat tinggi untuk berlindung dari ganasnya ombak tsunami.
“Seringnya pemberitaan dari pihak BMKG belakangan ini mengenai akan terjadinya peristiwa tsunami setinggi 27 meter di pesisir pulau Jawa bagian selatan, dan ditambah lagi pemberitaan beberapa media wilayah yang berpotensi gelombang tsunami setinggi 27 meter adalah di Banyuwangi selatan, seperti Muncar, Grajagan, Pancer, dan sekitarnya,” jelas Ahmad di rumahnya yang hanya berjarak beberapa meter dari laut.
Hal ini pun diperkuat dengan catatan BNPB tahun 2012, yang menyebutkan bahwa bencana tsunami itu dipicu oleh gempa bumi tektonik berkekuatan 7.8 Skala Richter (SR) yang berpusat di Samudera Hindia. BNPB menambahkan bahwa selatan pulau Jawa masuk dalam kategori Kawasan Prioritas dengan Resiko Tsunami Tinggi di Indonesia. Tercatat tiga gempa bumi besar pernah terjadi di zona ini pada tahun 1840, 1867, dan 1875.
Banyuwangi menurut kajian dari BNPB tahun 2011 menempati urutan ke sembilan dengan nilai kerentanan tinggi untuk wilayah dengan indeks kerentanan wilayah terhadap gempa bumi dan tsunami. Pada bencana lainnya seperti gempa bumi dan angin topan juga menempatkan Banyuwangi, terutama kawasan pesisir selatan dengan nilai indeks kerentanan tinggi.
“Apakah pernyataan-pernyataan pihak BMKG mengenai kemungkinan akan terjadi tsunami setinggi 27 meter di pesisir selatan pulau Jawa? Berdasarkan analisa apa pihak BMKG membuat pernyataan seperti itu?” Ujar Ahmad.
Tidak hanya Ahmad, Heri Budiawan, seorang petani buah naga menjelaskan keresahannya akibat kabar tentang santernya gempa bumi dan tsunami. Ia mengatakan pesisir selatan ini rawan. Sebelumnya di wilayah Malang Selatan kemarin terjadi gempa, tidak menutup kemungkinan situasi serupa juga akan terjadi di wilayah tempat ia tinggal. Apalagi di tahun 1994 gempa dan tsunami pernah menghampiri kampungnya.
“Beberapa hari ini kami melihat dan mendengarkan berita pernyataan dari BMKG bahwa akan terjadi gempa dan tsunami di wilayah pantai selatan Jawa Timur. Saya sangat resah, ingatan lalu itu masih terekam jelas kala tsunami terjadi di desaku,” kisah Heri di sela-sela aktivitasnya sebagai petani buah naga.
Pertambangan Memperbesar Ancaman Bencana Gempa dan Tsunami
Awal beroperasinya kegiatan industri pertambangan di Gunung Tumpang Pitu dan sekitarnya dilakukan oleh PT. Bumi Suksesindo (PT. BSI) dan PT. Damai Suksesindo (PT. DSI), keduanya anak perusahaan PT Merdeka Copper Gold Tbk (MCG). Pertambangan menimbulkan beragam krisis sosial-ekologis dan sejumlah persoalan keselamatan ruang hidup rakyat terus meningkat di Desa Sumberagung. Salah satu di antaranya yang masih membekas cukup kuat dalam benak warga adalah bencana lumpur yang terjadi pada Agustus 2016 silam.
PT BSI sendiri mengantongi izin IUP Operasi Produksi di Gunung Tumpang Pitu dan sekitarnya, berdasarkan Keputusan Bupati Banyuwangi No.188/547/KEP/429.011/2012 tanggal 9 Juli 2012. Izin tersebut seluas 4.998,45 Ha, dan berlaku hingga 25 Januari 2030. Sementara IUP Eksplorasi PT DSI diterbitkan berdasarkan Keputusan Gubernur Jawa Timur No. P2T/83/ 15.01/V/2018 tanggal 17 Mei 2018.
Atas putusan tersebut, PT DSI telah memperoleh penambahan jangka waktu atas IUP Eksplorasi untuk melakukan kegiatan eksplorasi dan studi kelayakan dalam IUP yang berlokasi di Desa Sumberagung, seluas 6.558,46 Ha. IUP Eksplorasi DSI berlaku tersebut sampai dengan tanggal 25 Januari 2022.
Selain telah merusak sebagian besar kawasan pertanian warga, bencana lumpur tersebut juga telah menimbulkan beberapa persoalan penting lainnya. Yakni, telah membuat kawasan pesisir Pantai Pulau Merah dan sekitarnya berada dalam kondisi yang sangat mengenaskan. Bahkan, karena kerusakan tersebut, ditemukan sejumlah fakta bahwa beberapa jenis kerang, ikan dan beberapa biota laut lainnya mulai menghilang dari pesisir Sumberagung.
Warga menduga bencana lumpur itu bersumber dari rusaknya kawasan Gunung Tumpang Pitu akibat hadirnya kegiatan pertambangan grup MCG. Seperti yang dikisahkan oleh Heri, bahwa semenjak keberadaan tambang ia merasakan beberapa perubahan. Seperti bertahun-tahun jalan rusak juga tidak ada perbaikan.
Heri mengatakan kala hujan tiba, jalan di tempat tinggalnya menjadi kubangan. Saat kemarau, debu berterbangan dan menganggu kesehatan, padahal sebelumnya tidak pernah terjadi. Belum lagi dua tahun terakhir sumur-sumur sudah mengalami kekeringan, ini juga mengancam pertanian masyarakat.
“Keluh kesah warga di wilayah tambang, berbagai persoalan tidak pernah ada penyelesaian. Kami adalah korban dari kebijakan yang tidak sesuai dan tidak mau melihat kenyataan bahwa wilayah kami ini sudah kaya tanpa tambang. Lalu untuk siapa tambang itu? Rakyat kecil yang dirugikan dijanji-janjikan, sementara para yang kaya ya orang-orang itu. Ketika terjadi bencana mereka yang aman, sementara kita yang merasakan,” keluh Heri sembari menyeka keringatnya.
Ahmad lalu menceritakan bahwa keberadaan Tumpang Pitu sangat penting bagi dia dan juga nelayan lainnya. Tetapi semenjak adanya tambang yang perlahan menganggu hidup nelayan, pernah terjadi banjir lumpur yang merusak laut sekitar sehingga mengakibatkan ikan susah didapatkan. Belum lagi, semenjak ada pertambangan entah mengapa ikan semakin susah, dia pun tak tahu mengapa. Sementara kata dia, orang-orang pintar itu tidak mau memihak kebenaran dan terlalu mementingkan dirinya sendiri.
Ahmad menambahkan bahwa di lautan tempat untuk mencari rejeki dan di daratan Gunung Tumpang Pitu adalah tameng bencana atau tempat berlindungnya apabila ada tsunami datang. Tentu, sebagai warga pesisir ia tidak ingin terulang kembali kejadian gelombang tsunami seperti tahun 1994 yang menelan korban kurang lebih dua ratusan jiwa manusia. Kini, dengan potensi tingginya tsunami di wilayah mereka, serta adanya alih fungsi Gunung Tumpang Pitu untuk pertambangan, menurutnya semakin meningkatkan resiko ketika terjadi tsunami.
“Sungguh itu semua membuat hati kami resah dan gelisah. Ke mana kita akan lari dan ke mana kita akan berlindung? Sedangkan kampung kami di kelilingi oleh pertambangan dari PT BSI, Merdeka Copper Gold. Masyarakat Sumberagung khususnya di pesisir Pancer dan Pulau Merah bukan gila. Menolak pertambangan di kawasan Gunung Tumpang Pitu dan sekitarnya bukannya apa? Di situlah dua aset yang sangat berharga di daratan dan di lautan,” kata Ahmad geram.
Manusia, lanjut Ahmad, boleh merencanakan dan mengatakan sesuatu yang baik, khususnya yang membela pertambangan. Tetapi, bencana tidak bisa dihindari dan yang dirugikan adalah masyarakat. Apa pun yang telah dibuat oleh Tuhan secara alami tidak akan mungkin bisa digantikan, jika rusak maka celakalah manusia tersebut. Bencana itu membuat masyarakat resah dan takut.
“Jika semua itu terjadi, dan warga mendengar berita tentang tsunami tidak enak tidur. Tiap sore selalu gelisah dan kalau sore hari tetangga dan teman-teman membicarakan ke mana kita akan mengungsi kalau terjadi bencana? Ke mana kita akan berlindung? Selalu, sehari-hari hal itu saja dibicarakan,” cetus Ahmad dengan raut muka cemas.
Gunung Tumpang Pitu dan Gunung Lainnya Memiliki Nilai Penting
Berdasakan cerita yang dikumpulkan, Gunung Tumpang Pitu itu penting sekali, karena bagi masyarakat yang berprofesi sebagai nelayan dikatakan sebagai ‘tetenger’ (penanda) saat melaut. Setiap pagi, ketika mereka berada di laut lepas, titik yang mereka cari untuk menentukan arah adalah pulau Nusa Barong di sebelah barat, Gunung Agung di sebelah timur dan Gunung Tumpang Pitu di tengah-tengahnya. Maka jika Gunung Tumpang Pitu menghilang akibat pertambangan, bisa dipastikan mereka akan kehilangan salah satu penanda daratan yang menjadi acuan arah.
Rere dari Walhi Jawa Timur, selaku pihak yang terlibat dalam advokasi masyarakat di Tumpang Pitu, mengungkapkan jika Gunung Tumpang Pitu dan gunung-gunung di sekitarnya adalah benteng alami bagi perkampungan komunitas nelayan yang tinggal di pesisir teluk Pancer dari ancaman angin tenggara yang terkenal ganas pada musim-musim tertentu. Selain itu, gunung-gunung juga berfungsi sebagai benteng utama terhadap bahaya ancaman tsunami. Sebagaimana pernah dicatat, saat gelombang tsunami menyapu kawasan pesisir Sumberagung pada tahun 1994.
“Keberadaan Gunung Tumpang Pitu dan gunung-gunung sekitarnya, dikatakan mampu meminimalisasi jumlah angka korban karena melindungi kawasan pemukiman. Sehingga dipastikan jika Gunung-gunung tersebut menghilang karena hadirnya pertambangan MCG, potensi ancaman tsunami ini akan semakin membesar dalam merenggut jumlah korban yang lebih banyak pada masa mendatang. Terlebih potensi ancamannya telah dijelaskan oleh kajian BMKG di atas,” kata Rere saat dikonfirmasi.
Rere menambahkan, selain berfungsi sebagai pusat mata air yang mampu mencukupi kebutuhan pertanian dan konsumsi rumah tangga, di Tumpang Pitu sebagian besar penduduk Sumberagung, khususnya kaum perempuan, mencari beberapa tanaman obat-obatan untuk memenuhi kebutuhan kesehatan secara turun temurun. Tetapi itu semua terancam dengan keberadaan pertambangan emas di wilayah itu.
“Kini dalam perkembangannya, perluasan industri pertambangan yang dilakukan oleh grup PT Merdeka Copper Gold Tbk tersebut terus menuai protes dari warga Sumberagung dan sekitarnya, karena dianggap akan terus merusak kualitas lingkungan hidup, sosial, dan perekonomian mereka,” terang Rere.
Merespons informasi dari BMKG yang beredar, warga Sumberagung menyatakan bahwa dalam rangka untuk meminimalisasi potensi ancaman gempa dan tsunami tersebut, jalan keluarnya adalah dengan menutup dan mencabut seluruh izin pertambangan yang ada di pesisir selatan Banyuwangi dan Jawa.
“Ya harus ditutup karena lebih banyak masalahnya daripada manfaatnya. Kalau terjadi bencana siapa yang harus bertanggung jawab? Mereka datang mengeruk dan merusak gunung, tentu resiko bencana yang menghampiri kami semakin besar,” tandas Ahmad.