Mpu Sindok

Ia punya nama abhiseka (semacam gelar resmi raja melalui penobatan) Sri Isana Wikrama Tunggadewa. Raja (Medang-)Mataram pasca Dyah Wawa dan Dyah Tulodhong ini berkuasa sekitar tahun 929-947 M (851-869 Saka). Ia adalah tokoh ketika Dyah wawa berkuasa pada akhir kerajaan Medang Mataram di Jawa Tengah, menduduki jabatan Rakai Mahamantri  Hino-nya Dyah Wawa (prasasti Sangguran/Batu Minto). Rakai Wawa, merupakan pengganti kekuasaan singkat dari Raja Tulodhong, yang pada saat itu ia juga punya jabatan—sebelum menjadi Mahamantri Hino—sebagai Rakryan I-Halu-nya Tulodhong. Jadi, dari rekam jejaknya, Ia termasuk sudah sangat berpengalaman memegang jabatan dan memimpin. Dia adalah Mpu Sindok (Pu Siṇḍok).

Masa ketika Dyah Balitung berkuasa (raja Mataram ke-9), terpampang dalam prasasti  Mantyasih (Kedu), bahwa pada masa pemerintahannya, kita sudah diperkenalkan dengan tiga bentuk jabatan penting dalam struktur pemerintahan di bawah raja (Rakryan Mahamantri Katrini) tersebut, yakni: Rakryan I-Hi-no (pejabat tertinggi di bawah raja yang menerima perintah langsung dari raja, lantas dapat mengeluarkan prasasti dan berbagai jenis piagam lain), lalu Rakryan I-Halu (pejabat yang dekat dengan raja tapi tidak berhak mengeluarkan prasasti), serta Rakryan I Sirikan (pejabat dekat dengan raja tapi juga tidak berhak mengeluarkan prasasti). Ketiga jabatan ini merupakan tri-tunggal, dengan pengisi jabatan biasanya anak-anak raja atau saudara-saudaranya. Mpu Sindok sendiri kalau dirunut merupakan raja ke-13 dari kerajaan Mataram di Jawa Tengah dan ia kabarnya adalah anak mantu dari Dyah Wawa.

Secara singkat, penataan wilayah administrasi kerajaan Mataram Kuno saat itu terdiri dari lingkungan rajya, watak dan wanua yang kelak masih berlaku hingga zaman Sindok. Wanua adalah satuan wilayah terkecil yang di dalamnya berdiam kelompok sosial masyarakat. Biasanya mempunyai sawah dan hak-hak mengelola tanah. Karena rata-rata selain pedagang, mereka juga petani. Barangkali satuan wilayah itu serupa ”desa” kini. Dan di antara mereka terdapat kelompok pejabat desa yang disebut rama atau ramanta yang juga terdiri atas dua kelompok, yakni rama magman atau managam kon (para pemegang pemerintah) dan rama marata (dewan penasehat desa) yang terdiri atas para rama yang telah pensiun (de Casparis, 1983: hlm 5; dalam Ninie Susanti, 2010: hlm.127-128).

Menurut informasi, sistem pemerintahan pada masa kuno bukan melulu sentralistik seperti yang kita bayangkan. Sebab wilayah kekuasaan raja masih terbagi ke dalam beberapa daerah yang seolah-olah merupakan daerah otonom. Beberapa daerah itu masing-masing diperintah oleh seorang “raja daerah” yang termasuk anggota keluarga raja. Daerah-daerah itu disebut daerah watek dan kepalanya bergelar rakryan atau rakai. Meski kadang-kadang (di zaman Kadiri), mereka, raja daerah ini, juga bergelar samya haji (haji), yang di zaman Majapahit kelak berganti gelar lagi menjadi Bhre atau Bhra/ bhatara.

Daerah watek itu masing-masing tentu punya wilayah yang membawahi beberapa wanua atau banua. Di mana tiap wanua juga mempunyai beberapa punduh. Sementara kepala atau pemimpin tiap wanua atau punduh itu mempunyai gelar tuha atau rama; tuha wanua atau tuha punduh. Biasanya para rakai atau rakryan ini selalu menyebut nama daerahnya mengikuti nama gelarnya, misalnya rakryan kanuruhan (raja daerah Watek Kanuruhan), bhre wengker (raja daerah Watek Wengker); rakryan walaing (kepala Watek Walaing) dan seterusnya (Team Sejarah Daerah Jawa Timur, Tanpa Tahun: hlm. 43-44).

Menurut informasi sejarah, Ketika Gunung Merapi di Yogyakarta meletus, kerajaan Mataram Hindu berpindah ke wilayah timur (Jawa Timur), saat itu kebetulan Mataram dirajai oleh Mpu Sindok. Perpindahan atau hijrah besar-besaran itu melalui selatan dan pada saat itu melewati atau menyeberangi daerah Kampak. Di situlah Mpu Sindok beristirahat dan sepertinya cocok dengan wilayah Kampak, yang membuatnya—sebelum mendirikan kerajaan baru di Jawa Timur—kemudian berpikir untuk menyusun kekuatan dengan mempersiapkan konsolidasinya di wilayah Kampak. Bisa dikatakan bahwa Kampak kala itu dijadikan barak. Kelak dari Kampak itu kerajaan baru terusan Mataram Jawa Tengah lahir dengan ibu kota di Tamwalang (Tamwalang-Kahuripan) yang kira-kira berada di sekitar Jombang (Jawa Timur).

Karena bantuan penduduk setempat (Kampak) yang besar pada rombongan kerajaan Mpu Sindok ini, maka dianugerahkanlah kepada penduduk (wanua, kademangan) Kampak, sebuah prasasti sebagai penanda daerah di Kampak—yang mulanya mungkin berstatus kesatuan desa biasa (wanua) yang tentu sudah membentuk pemukiman semacam kademangan, desa atau semacam wanua (komunitas desa kuno) tadi, menjadi status desa perdikan (sīma). Prasasti berupa batu (linggapala) dari jenis batu andesit (upala prasasti) di Kampak yang diresmikan sekitar tahun 929 M (851 Saka) atau sekitar abad ke-10, menjadi bukti perubahan status administrasi Kampak dari wanua (desa agraris biasa) menjadi sīma (desa agraris berstatus perdikan/bebas pajak dan bebas kerja bakti ke pusat kota). Jadi, ketika telah menjadi status swatantra/sīma, maka hasil pertanian desa (income desa) penduduknya sejak saat itu digunakan untuk membangun desanya sendiri.

Prasasti ini berukuran cukup besar. Dulu sebelum ditetapkan oleh petugas yang mengurusi sīma zaman dulu, biasanya prasasti tersebut akan diletakkan di desa yang ditetapkan sebagai swatantra (in situ). Kata Brandes, batu tersebut berbentuk besar yang ujung atasnya bulat, kiri kanannya lebar berwarna abu-abu terbuat dari batu andesit (upala prasasti) dan telah rusak. Beraksara Jawa Kuno langgam Jawa Timur. Tinggi prasasti sekitar 89 cm, ketebalan 22 cm, dan lebar 93 cm (Team Sejarah Trenggalek, 1982: hlm. 23-24). Kerusakan pada Prasasti Kampak cukup parah sehingga tahun sebenarnya dari dikukuhkannya Prasasti Kampak tersebut, saat itu (ketika diteliti Brandes) tak terbaca. Dan, prasasti ini adalah prasasti persembahan Dapungku i Manapujanma, berupa sebidang tanah untuk dijadikan Sima bagi Sang Hyang Prasada Kabhaktyan di daerah Pangurumbigyan di Kampak (Marwati Djoened Poesponegoro, dkk. 2008: hlm. 191).

Menurut informasi tambahan, selain karena disebabkan oleh bencana letusan gunung, sebenarnya perpindahan kerajaan itu juga ada sekian banyak sebab. Sebagaimana diketahui, perkembangan kehidupan perekonomian pemerintahan saat itu sangat memerlukan sarana dan sumber daya yang lebih memadai. Letak Mataram yang semula ada di daerah pedalaman dengan sumber daya alam terbatas sangat mengganggu proses pengembangan perekonomian. Jauhnya pusat kerajaan dengan pusat perdagangan yang umumnya terletak di tepi pantai (bandar) menjadi kendala dalam menjawab tantangan pola dagang emporia, yang berskala internasional dan tengah berkembang kala itu (sekitar abad ke-10). Kendala berikutnya, kata Ninie Susanti, sebagaimana juga yang diyakini Nastiti, adalah tidak banyak sungai-sungai besar yang dapat dilayari untuk membawa barang dagangan dari bandar di pelabuhan ke daerah pedalaman atau sebaliknya; untuk membawa barang dagangan dari pedalaman untuk ditukar-perdagangkan pada pasar internasional di pelabuhan. Perpindahan pusat pemerintahan yang terjadi jelas telah direncanakan dengan matang. Namun demikian, apabila terjadi letusan gunung berapi yang merusak, ini hanya suatu pemicu supaya lekas, adanya peristiwa perpindahan tersebut (Ninie Susanti, 2010: hlm. 125).

Seperti diketahui, Jawa Timur dengan Sungai Brantas-nya sangat memungkinkan untuk meningkatkan jalur-jalur perdagangan ke seluruh wilayah Nusantara maupun jalur-jalur internasional. Hal ini, menurut Jones (1984: hlm. 6-7), tampak dalam prasasti-prasasti dari periode Jawa Timur yang lebih memperhatikan persoalan-persoalan perdagangan dan ekonomi, yang terlihat dari seringnya penyebutan pajak yang dikenakan pada para pedagang, perajin, orang-orang asing, dan kapal-kapal. Dengan alasan tersebut, maka dapat dipahami mengapa Pu Siṇḍok tidak merasa perlu mengganti nama kerajaannya. Mungkin kepindahan itu sudah direncanakan, akan tetapi karena ada bencana alam maka kepindahannya terburu-buru sehingga tidak sempat membangun istananya lebih dahulu sebelum pindah.

Oleh karena itu, jelas mengapa dalam Prasasti Guluŋ-Guluŋ yang bertitimangsa 20 April 929 M, tidak menyebut nama keratonnya. Dan baru tiga bulan kemudian tepatnya pada tanggal 24 Juli 929 M, Siṇḍok baru mengumumkan kepada masyarakat Desa Turyyān (sekarang Turen, Malang) dan sekitarnya bahwa ia berkeraton di Tamwlaŋ (Tamwalang). Mungkin pendapat ini, ungkap Nastiti, dapat memperjelas pendapat de Casparis yang menyebut bahwa Siṇḍok tidak seperti pendahulunya, pindah ke Jawa Timur sebelum keratonnya dibangun. Sebelum pindah ke keratonnya yang baru, mungkin ia tinggal di bangunan sementara (kuwu) atau semacam barak militer (de Casparis, 1987: hlm. 41; dalam Nastiti, 2003: hlm. 26-27). Ini tentu ada kaitannya dengan Prasasti Kampak, bahwa kuwu itu pernah dibangun Sindok di Kampak (Trenggalek) sebelum ia kemudian berkeraton di Tamwlaŋ (keraton pertama di Jawa Timur) kelak, sebagaimana tertera pada akhir Prasasti Turyyān (24 Juli 929 M).

Bahwa biasanya sebuah sīma ditandai oleh adanya candi-candi, atau setidaknya oleh prasasti, semacam ada kesatuan teritorial. Maka perlu dipertimbangkan pencarian hal-hal yang merupakan bagian dari sīma tersebut di daerah Kampak. Misalnya mencari lokasi sawah, ladang, kebun juga taman-taman di masa lalu dari tinggalan sīma, yang juga merupakan bagian dari candi. Dari keterangan di prasasti Kampak, tergambar—meski secara samar—bahwa selain bertani, sebagian masyarakat di Kampak juga aktif mengembangkan industri kerajinan rumah tangga: barangkali semisal anyaman-anyaman besek, tampah, kalo, pithi, krembu, cikrak, pembuat kandang ungas juga membuat tembikar dan pewarna. Selain itu mereka juga membuat produk minyak jarak dan lain sebagainya.

Mpu Sindok sendiri bukanlah tokoh lokal yang berdiam di Kampak, ia hanya raja yang kebetulan mampir di Kampak yang disambut dengan suka cita dan menjalin hubungan yang dekat dengan penduduk Kampak kala itu. Dan berkait dengan keterangan geografis (geopolitik Trenggalek) sebagaimana keterangan di muka, Mpu Sindok sendiri membutuhkan lokasi Trenggalek (dalam hal ini Kampak) untuk kebutuhan menyusun kekuatannya sekaligus sebagai tempat yang dianggap strategis untuk mempersiapkan (barak) pasukan, karena lokasi Trenggalek (Kampak) yang saat itu sangat terlindungi. Selain kepentingan geopolitik, tentu saja ada kontribusi besar penduduk/masyarakat Kampak dalam membantu Mpu Sindok mendirikan kerajaan barunya di Jawa Timur. Di sini tampak kalau kita baca dalam alur sejarah, Kampak menjadi pintu masuk peradaban besar dari arah barat yang kelak menjadi pioner bagi berkembang peradaban-peradaban besar di Jawa Timur. Demikian.


Diambil dari naskah Misbahus Surur, Seribu Tahun Sebelum Trenggalek Kini: dan Remah-remah Sejarah Agraris-Pesisir Jawa.

Artikel Baru

Artikel Terkait