Kreator Tari Turangga Yaksa Itu Bernama Pamrih

Nada gamelan berbunyi rancak dibarengi suara gendang. Ditabuh bertalu-talu bersahutan dengan lengkingan terompet. Paduan suara menciptakan alunan nada khas berbau mistik tapi indah. Peluh sudah bercucuran, namun tak kenal nyerah sebelum skenario pertunjukan berakhir. Energi kehidupan yang tertuang dalam kisah kolosal jaranan, selalu menyimpan keunikan di setiap bunyi cetar pecut yang dihempaskan sang penunggang jaran.

Bayang masa kecil dari pecahan-pecahan mozaik mengantarkan saya pada ingatan tentang seni jaranan. Masih teringat dengan jelas, bagaimana dulu Mbah Japar, sang ahli gambuh yang juga merangkap sebagai kepala sanggar, memukau anak berusia 10 tahun dengan aksi njaran dan ndadi-nya di hadapan ratusan penonton. Penonton tersebut adalah tamu undangan dalam hajat mantenan. Mbah japar beserta anak buahnya melenggak-lenggok, menghayati perannya sebagai tukang gambuh. Mengawasi penari jaran yang sewaktu-waktu hilang kesadaran mungkin terhinggapi makhluk astral. Saat itu peran Mbah Japar sebagai tukang gambuh nyaris tak tertandingi.

Sebagai anak kecil, saat itu tentu saya tidak mengetahui segala macam jenis tari jaranan. Dalam pikiran sederhana saya, hanya menyimpulkan bahwa jaranan adalah kreasi seni yang memadukan antara seni rupa, seni musik dan seni tari. Untuk urusan mistik, itu bukan tujuan utama, namun tetap memberikan pengaruh terhadap kesakralan. Pandangan anak berusia 10 tahun terhadap konsep seni dan makna dari tari jaranan itu sendiri bukan hal penting. Lebih dari itu, pikiran hanya terfokuskan pada kolaborasi antara musik dan tari sehingga menjadi sebuah pertunjukan yang asik untuk dilihat. Dan terkadang menghipnotis anggota badan untuk sekadar bergerak mengikuti alunan nada. Yang  saya percaya, bahwa mozaik kehidupan itu suatu saat pasti akan muncul kembali.

***

Bada Dhuhur, dimulai dari Watulimo, saya dan Misbahus Surur berangkat menuju kediaman Pak Pamrih (nama lengkapnya Pamrihanto). Konon, menurut buku yang ditulis Misbahus Surur: Turonggo Yakso, Berjuang untuk Sebuah Eksistensi, Pak Pamrih adalah sosok pencipta tari jaranan turangga yaksa. Melewati jalur Watulimo-Kampak tembus pasar Dongko, kami bersepeda berdua, menelusuri jalanan yang, kata Mas Surur, tidak lagi sulit untuk dilalui dibanding beberapa tahun lalu ketika dia masih penelitian di Desa Dongko. Kendati demikian, jalanan pada jalur ini tetap tidak bisa membuat orang gegabah dan sembarangan mengendarai sepeda motor. Harus ekstra hati-hati supaya tidak terguling ke jurang atau menemui sial jika motor tidak kuat menapaki tingginya tanjakan jalan. Saya mengatakan, jika jalan menanjak maka tanjakannya tinggi sekali, jika jalanan menurun maka turunnya sangat curam.

Baru pertama saya melalui jalur ini selama hidup. Maka, ada pandangan nggumun ketika menyaksikan aspal-aspal yang menyelimuti jalan tertata rapi mengikuti relief tanah. Pohon-pohon pinus yang menjadi peneduh serta pelindung bagi burung kutilang ikut menambah keasrian serta keindahan pemandangan. Setidaknya indah bagi orang yang baru pertama kali melihat, apa yang tampak terlihat indah.

Saat itu lebaran kurang 2 hari lagi, namun di sepanjang jalan yang terlewati sudah banyak hiasan warna warni (umbul-umbul) terpasang rapi di pinggir jalan. Sesekali kami juga melihat masjid-masjid yang ramai dengan pernak-pernik kreasi warga desa. Pemandangan seperti ini tersebar hampir di seluruh pelosok Kabupaten Trenggalek. Saat lebaran tiba, Trenggalek tampak seperti kota sejuta warna, indah dan penuh dengan pesona. Tulisan ini setidaknya dapat dijadikan saksi bahwa saya pernah melalui perjalanan ini.

Memasuki pasar Dongko, Surur mengarahkan untuk melihat sanggar tari jaranan turangga yaksa di pinggir jalan. Terlihat bahwa sanggar tersebut baru saja dibuat, ikon dua kuda dengan kepala buto berdiri berhadapan, memperlihatkan keperkasaan. Seakan menjadi penjaga sanggar, kendati ia hanya terbuat dari triplek. Surur ngungun atau entah melongo. Seperti sedang detail mengamati. Mungkin ia sedang melakukan ritualnya, memandang sekeliling untuk melakukan pengenalan tempat serta mencoba mengingat kembali sudut-sudut yang pernah ia singgahi, sewaktu mengumpulkan data untuk bukunya dulu.

Dan inilah apa yang saya sebut sebagai pecahan mozaik yang bakal muncul kembali, apa yang terpikirkan dahulu (mengenai jaranan). Saat ini pula, saya sedang mengumpulkan pecahan mozaik tersebut untuk bisa dikisahkan. Seperti kisah Surur yang barangkali sudah mempunyai tanda-tanda kepikunan dini. Itu terbukti karena dia beberapa kali salah menunjukkan lokasi rumah yang sebenarnya pernah ia singgahi. Tujuan perjalanan ini adalah rumah Pak Pamrih, namun dia malah menunjukkan rumah adiknya pak Pamrih, yakni Pak Muan. Atau barangkali karena ia ingin menunjukkan dulu rumah adiknya Pak Pahmrih yang merupakan kreator media seni jaranannya. Namun dari salah alamat ini, saya jadi tahu bahwa di rumah inilah prototipe turangga yaksa pertama kali dibuat. Ide kreatif memadukan antara kuda dan buto sehingga menjadi tunggangan penari jaranan itu tercipta dari sentuhan tangan adik Pak Pamrih.

Kami baru tahu di mana letak tempat tinggal Pak Pamrih saat iparnya memberitahu, rumahnya tidak jauh dan hanya terhalang jalan raya. Kami keblacok, namun dari perkara itulah saya menemukan pecahan-pecahan cerita yang sebelumnya pernah dikisahkan oleh Misbahus Surur.

Pak Pamrih, wajahnya telah mengukir ciri-ciri penuaan. Meski begitu, semangatnya untuk mengibarkan seni masih terasa. Baru kali ini saya bertatap muka dengannya. Namun pertemuan Pak Pamrih dengan Mas Surur, merupakan bentuk dari nostalgia yang beberapa tahun sebelumnya telah mereka rajut. Kemistri yang sempat terpenggal beberapa purnama itu bisa saya rasakan sedikit demi sedikit nyambung. Asyik mendengar penggalan-penggalan kenangan dan rangkaian cerita dari mereka berdua. Dahulu, atas kerja sama yang telah mereka rajut itu, nyata-nyata berhasil membuat karya dalam bentuk buku tentang jaranan.

Kreasi tokoh pewayangan yang tertempel di dinding rumah, sedari kehadiran kami telah menjadi saksi bisu atas pertemuan kami. Tokoh itu beserta tokoh wayang yang lain tertempel di dinding lengkap dengan bingkai unik karya Pak Pamrih sendiri. Pun dengan kepala buto yang tampak angkuh menyeringai, menunjukkan taring. Pak Pamrih masih menceritakan bagaimana ia mendapatkan energi untuk menciptakan gerak tari jaranan. Ceritanya runut dan jelas. Kumisnya seolah ikut menari seirama gerak bibirnya.

Sekitar tahun 1987, Dinas Poraparibud Kabupaten Trenggalek menggelar lomba kesenian tingkat kabupaten. Pada saat itulah Pak Pamrih mendengar perlombaan dan berkeinginan untuk menampilkan tari turangga yaksa yang sebelumnya pernah ia buat. Alhasil, karena tarian turangga yaksa saat itu masih tergolong baru, namun memiliki kualitas bagus, Pak Pamrih beserta rombongan berhasil menggondol juara satu. Kegembiraan Pak Pamrih masih terasa, bahkan saat dia menuturkan cerita tersebut kepada kami. Dengan wajah sumringah serta nada suara yang agak ditinggikan, beliau terus melanjutkan ceritanya.

Dinas Poraparibud mendapatkan angin segar setelah menyaksikan tarian turangga yaksa. Karya tersebut merupakan karya seni otentik, bukan jiplakan. Ia dibuat oleh warga Trenggalek sendiri. Pada masa itu, kebanyakan masyarakat  Trenggalek masih melakonkan jaranan senterewe. Dengan keyakinan bulat, Dinas Poraparibud akhirnya mengutus Pak Pamrih untuk mengajari guru-guru seni se-Kabupaten Trenggalek supaya jaranan turangga yaksa dapat dikenal di seluruh pelosok Trenggalek. Pada saat itu, menurut cerita Pak Pamrih, latihan diadakan di Desa Ngantru, Kecamatan Trenggalek.

Sesi pertama latihan sudah dilakukan, para guru seni berhasil menirukan gerak jaranan turangga yaksa dengan baik. Semua berkat didikan tangan lembut Pak Pamrih. Setelah beberapa tahun kemudian, Pak Pamrih mendapatkan tugas lagi untuk mengajari para dosen. Sesi latihan kedua ini dilakukan di Desa Sumbergedong. Dari kronologi ini bisa dijadikan jawaban mengapa jaranan turangga yaksa dapat dikenal sampai pelosok-pelosok desa di Kabupaten Trenggalek.

Tahun berganti tahun, Pak Pamrih beserta saudaranya tetap berkiprah pada seni jaranan. Dia mengembangkan jenis tarian dan juga mengembangkan rupa prototipe (media) jaranan. Saat kami di sana, beliau menunjukkan hasil kreasi rupa (media) turangga yaksa dengan beberapa kreasi baru. Jika sebelumnya turangga yaksa tidak mempunyai ekor misalnya, kini ada juga yang sudah berekor.

Tari turangga yaksa sampai saat ini masih diajarkan di sanggar-sanggar dan di sekolah-sekolah. Kisah tari jaranan ini berjalan dituntun waktu hingga kemudian menemukan jati diri sebagai tarian asli Trenggalek, berkembang sesuai hasil kreasi seniman tari Trenggalek. Namun eksistensi sang kreator tari ini ternyata tidak se-eksis tariannya. Fakta lain berkata bahwa Pak Pamrih tidak terlalu dikenal masyarakat Trenggalek sebagai pencipta tari turangga yaksa.

Bahkan beberapa saat yang lalu, ketika ia berniat untuk mendapatkan paten, ada orang yang tidak terima dengan upayanya. Ada orang lain yang mengaku bahwa turangga yaksa adalah hasil karya mereka. Mengetahui fakta ini, Pak Pamrih tidak mau memusingkan. Dengan wajah tenang, ia berkata kepada kami, “tidak saya pedulikan bahwa turangga yaksa di-aku-aku sebagai karya orang lain, asalkan ia masih orang Trenggalek. Namun jika yang mengakuisisi adalah orang dari kabupaten lain, saya akan angkat bicara” ungkapnya, di sela-sela obrolan gayeng kami.

Artikel Baru

Artikel Terkait