Mungkin tulisan ini merupakan tulisan kesekian yang mendeskripsikan wilayah di Kecamatan Watulimo. Mungkin para pembaca setia sudah mulai ada jengah sambil menggerutu, “Watulimo maning… Watulimo maning…”. Tak apalah, karena kebetulan saya dilahirkan di kecamatan yang konon menurut sejarah yang pernah saya dengar, wilayahnya dibabat oleh tokoh legendaris Yudha Negara. Saya sangat bangga menjadi orang Trenggalek, khususnya menjadi Watulimoensis, jauh melebihi kebanggaan saya saat Arema menjuarai Liga Super Indonesia atau saat Chelsea meraih gelar Premier League—kebetulan kedua klub biru ini favorit saya. Walaupun klub yang saya sebut terakhir (dalam game PES) beberapa kali sempat dikalahkan Mas Trigus (salah satu kontributor portal ini, yang juga menggawangi mastrigus.com), si penggila klub Jerman, Bayer Munchen.
Tulisan ini mengisahkan perjalanan saya pada musim kemarau beberapa tahun lampau. Tepatnya pada saat musim kemarau tahun 2010. Saat itu saya bersama tim LP2M PAMA—sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat, Trenggalek—yang konsisten di pemberdayaan masyarakat. Pada saat itu kebetulan tengah menjalankan program PIDRA (Partisipatory Integrated Development in Rainfed Areas)–sebuah program pendampingan masyarakat di area lahan kering, bekerjasama dengan funding asing IFAD (International for Agriculture Development). Karena masih berhubungan dengan lahan kering, misi kami ketika itu adalah mencari lokasi yang memiliki persoalan kekurangan air bersih. Dan tujuannya adalah… jreng jreng…. Desa Dukuh (Dukuh maning…Dukuh maning…!). Desa Dukuh yang kondang dengan tanaman MADUSA (Manggis, Durian dan Salak), bahkan memiliki induk durian nasional dan durian unggulannya—Durian Ripto juga Durian Kunir Jiman, lagi peraih penghargaan kedua durian terbaik Jawa Timur—ternyata juga memiliki wilayah yang minim air bersih.
Di Dukuh Tourang—nama lokasi tersebut. Sebuah dusun di Desa Dukuh yang berbatasan dengan Dusun Ngrancah, Desa Sawahan, Kecamatan Watulimo—yang jika kita berjalan ke arah barat, sekira 5 km lagi akan berbatasan dengan Desa Bangun, Kecamatan Munjungan; dan sebelah Utara berbatasan dengan sebuah desa di Kecamatan Kampak. Lokasi Dukuh Tourang ini berada di dekat Gunung Ngrancah, dengan ketinggian kurang lebih sekitar 600 meter di atas permukaan laut. Sebuah daerah yang cukup tinggi, sebagaimana pernah ditulis oleh Kang Roin, aktivis pecinta alam NIPONK, asal Desa Slawe, saat beberapa waktu lalu berkemah di sekitar lereng Gunung Ngrancah. Dari lokasi memang bisa melihat sebagian besar wilayah Watulimo bagian Selatan.
Di luar musim kemarau panjang, wilayah ini sudah bisa dipastikan akan tertutup kabut hampir setengah hari penuh. Sinar matahari serasa enggan menembus ketebalan kabut. Kabut akan menyelimuti wilayah yang banyak ditumbuhi tanaman Enau/Aren ini. Wilayah ini memiliki suhu yang sangat dingin. Kalau boleh dibandingkan: jika di Kecamatan Dongko, Wilayah Sumber Bening memiliki suhu dingin yang cukup ekstrim; Malang memiliki Batu sebagai kota dingin; Tulungagung memiliki Sendang sebagai daerah sejuknya; Magetan dengan Sarangan sebagai daerah yang bersuhu dingin, maka tidak berlebihan jika saya tunjuk Dukuh Tourang sebagai reprentasi dari daerah terdingin di Kecamatan Watulimo. Yang tidak percaya, silakan dibuktikan!
Perjalanan dimulai…
Tujuan pertama yang kami tuju adalah rumah Ketua RT setempat. Ketua RT ini adalah seorang tokoh di lingkungan tersebut. Usianya separuh baya, orangnya sumeh dan grapyak dalam soal menyambut tamu. Dan yang paling membuat kami terkesan, ia sosok yang unik dan humoris, lagi tipe lelaki cool man. Sekedar basa basi untuk mencairkan suasana, kami memperkenalkan diri dan menjelaskan tujuan kedatangan kami. Ketika giliran Pak Ketua RT memperkenalkan diri, ada hal menarik yang cukup membuat saya mengernyitkan dahi: ia memperkenalkan namanya dengan panggilan “Idris Abudi”. Ini nama yang kurang lazim, menurut kuping saya. Karena umumnya di daerah tersebut, kebanyakan orang menyandang nama yang berbau Jawa deles: misalnya Suto, Noyo, Kiman dan sejenisnya.
Kesan pertama yang saya dapat memang orang tersebut unik, seunik namanya yang kurang lazim tadi. Suatu hal yang memaksa saya untuk menyebut orang ini unik lagi adalah bahwa di rumahnya yang lumayan besar, hidup puluhan nyawa dari jenis anggota keluarganya dan dari jenis binatang. Beliau adalah pecinta binatang. Hewan-hewan yang langsung bisa dilihat ketika kami bertamu di antaranya beberapa species burung dalam berbagai kurungan yang terletak di emperan rumah. Di halaman rumah berbentuk “L” itu juga terdapat kandang kambing, kelinci juga monyet.
Masih di sekitar halaman, saya melihat ayam dan menthok (itik) yang mondar-mandir menunggu jatah makan dari sang majikan. Tidak ketinggalan 2 ekor kucing turut nimbrung di ruang tamu, seolah tidak terganggu dengan kemeriahan obrolan kami. Di sela-sela percakapan, Pak Idris Abudi menjelaskan bahwa ia juga gemar memelihara ular jenis python dengan berbagai ukuran. Bahkan yang membuat saya tercengang adalah saat mendengar ceritanya bahwah ia pernah memelihara ular seukuran betis orang dewasa. Karena sudah jinak, ular dengan ukuran besar tersebut dilepaskan begitu saja: dibiarkan berkeliaran di dalam rumah. Membayangkan saja membuat bulu kuduk saya merinding… Dan benar adanya, pak ketua RT ini memang dikenal sebagai pawang ular di lingkungan tersebut. Pak Ketua RT yang cukup unik, bukan?
Sekitar 30 menit kami hanyut dalam “ice breaking” sambil minum kopi yang disuguhkan kepada kami. Sesekali kami mengorek keterangan tentang permasalahan air di daerah tersebut. Menurutnya, ketika musim kemarau panjang melanda, masyarakat di Dukuh Tourang mengalami kesulitan mendapatkan air bersih. Padahal daerah ini merupakan daerah yang sangat subur, tetapi di saat kemarau panjang, kenapa debit air pada sumber air yang biasa di-selang oleh masyarakat tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Selama musim kemarau, masyarakat Dukuh Tourang yang terdiri dari dua RT itu, menggantungkan pada satu mata air yang lokasinya berada di bawah pemukiman. Karena letaknya yang berada di bawah inilah yang tidak memungkinkan warga membawa air naik ke pemukiman, sekadar menggunakan selang, sebagaimana yang biasa mereka lakukan di luar musim kemarau. Untuk bisa memanfaatkan air dari sumber, warga harus mewadahinya dengan timba ataupun jurigen lantas dipikul ke rumah mereka masing-masing. Beberapa warga sekitar menyebut sumber mata air ini dengan sebutan “sumber mata air abadi”. Disebut demikian, karena debit airnya tidak begitu terpengaruh, sekalipun pada musim kemarau.
Hal inilah yang membuat kami semakin penasaran mengetahui letak mata air tersebut. Kami meminta Pak Idris Abudi untuk mengantarkan ke lokasi mata air. Kebetulan saat itu waktunya beliau mengambil air. Sambil membawa jurigen dan pikulan, Pak Idris melangkah lincah di depan kami menyusuri jalanan setapak yang menurun melewati perkebunan dan ladang warga sekitar. Sekitar 10 menit perjalanan akhirnya kami sampai di sumber air yang dimaksud.
Wauw…. Pemandangan di sekitar sumber mata air sungguh memanjakan mata. Pemandangan khas pedesaan di sana sangat terasa, membuat hati sejuk dan tentram.
Tiba di lokasi, kami benar-benar membuktikan bahwa semua yang dituturkan Pak Idris Abudi benar adanya. Pada sumber air tersebut telah disiapkan semacam bak mandi yang sangat terbuka terbuat dari semen, hasil swadaya warga sekitar. Tak hanya digunakan untuk makan dan minum, sumber air tersebut digunakan warga di Dusun Tourang secara serba guna: dimanfaatkan untuk mandi dan mencuci pakaian. Terbukti dengan adanya aktivitas warga yang sedang mencuci pakaian ketika kami tiba di lokasi. Bekas bungkus sabun yang berserakan di sekitar sumber menguatkan bukti bahwa memang sumber air ini menjadi penting bagi keberlangsungan hidup sehari-hari masyarakat dusun tersebut. Debit airnya yang melimpah, cukup untuk kebutuhan makan minum, mandi, dan juga mencuci pakaian. Sumber ini juga dimanfaatkan untuk mengairi persawahan dan ladang. Ketika musim kemarau seperti saat itu, terkadang warga (baik laki-laki maupun perempuan) yang hendak mengambil air harus rela mengantri untuk menunggu giliran. Mengingat pancuran yang mereka buat hanya berjumlah 2 buah.
Lama saya tetegun dan girang menikmati suasana indah di sekitar sumber. Aneka pohonan yang tumbuh di atas mata air, sawah yang menghampar di bawahnya, hembusan angin sepoi-sepoi serta kicauan burung yang saling sahut menyahut sambil beterbangan ke sana kemari semakin melengkapi suasana indah dan nyaman tempat itu. Suasana itu membuat saya tidak kuasa untuk menutupi kekaguman akan kebesaran Tuhan Semesta Alam. “Subhanallah,” tiada ungkapan yang tepat untuk mengekspresikan kegirangan saya selain ungkapan tersebut.
Sambil menunggu jurigen penuh, kami menyibukkan diri dengan beberapa kegiatan: jalan-jalan di sekitar lokasi sambil memanjakan mata, memotret ke sana kemari, bermain-main dengan air, dan besenda gurau. Dan ketika matahari mulai merangkak naik, barulah kami beranjak. Dengan memikul 2 jurigen penuh yang masing-masing berkapasitas 25 liter, Pak Idris Abudi memimpin langkah kami menyusuri jalanan yang tadi menjadi rute perjalanan kami. Perjalanan pulang terasa cukup melelahkan, karena harus menyusuri jalanan setapak yang menanjak. Padahal kami tidak membawa beban berat. Bagaimana dengan Pak Idris Abudi yang harus berjalan dengan membawa beban di pundaknya? Dua Jurigen berkapasitas 50 liter yang penuh berisi air. Perjuangan yang dilakukan Pak Idris Abudi bersama warganya demi mendapatkan air bersih sangat patut untuk diapresiasi. Salut saya untuk beliau.