Allaahu akbar… Allaahu akbar… Allaahu akbar…
Laa ilaaha illallaahu wallaahu akbar.
Allaahu akbar walillaahil hamd.
Takbir berkumandang melalui corong-corong (speaker) masjid, ramai bersahut-sahutan tiada jeda. Kadang keras bersemangat, namun terkadang mengalun santai berirama. Takbir kali sebagai pertanda kemenangan umat muslim sedunia. Masing-masing jamaah merayakan hari kemenangan dengan bertakbir, menyambut suka cita puasa yang telah berakhir. Bisa juga dipahami sebagai bentuk kebahagiaan umat muslim yang selama sebulan penuh telah ikut merasakan penderitaan para fakir dan miskin.
Di Trenggalek tradisi takbir kemenangan selalu mengukir kenangan tersendiri. Dari tahun ke tahun, tanggal 1 Syawal mampu menciptakan kenangan, khususnya bagi orang Trenggalek perantau. Takbir nyata-nyata dapat melelehkan airmata yang tak pernah leleh dalam kurun waktu sekian tahun. Lantunan takbir menjadi perekam memori masa lalu. Airmata itu bisa jadi keluar, misalnya jika tahun lalu mungkin anggota keluarga masih lengkap, namun lebaran kali ini sudah berkurang. Bagi yang tahun lalu bisa merayakan lebaran bersama anggota keluarga, namun tahun ini harus legawa karena masih dalam tuntutan kerja. Bagi perantau yang kehilangan anggota keluarga, takbir Idul Fitri menjadi peluruh jiwa sok kuat nan sombong, menjadi jiwa-jiwa yang serba kangen dan baper, masya Alloh.
Menceritakan takbir Idul Fitri, akan ada banyak hal yang bisa dituturkan. Dari masalah takbir yang berjumlah dua atau tiga, dari yang takbir memakai musik, dari yang takbir secara konvensional, semuanya bersatu dalam lantunan doa dan pujian untuk gusti Alloh. Siapa yang peduli dengan perbedaan ini, susana sudah lebaran, nglebur dosa dan memperbanyak kata maaf sudah menjadi prioritas umat manusia. Suka cita ini bakal menjadi tradisi ketimuran yang luar biasa, karena pada hari inilah banyak orang yang mau mendatangi rumah-rumah untuk meminta maaf dan menunggu kedatangan orang untuk menerima dan meminta maaf.
Adalah Desa Gemaharjo, salah satu desa yang berada di Kabupaten Trenggalek. Pada lebaran kali ini Karang Taruna mempunyai ide hajatan yang bisa dikatakan sudah agak sayup-sayup menghilang. Ide tersebut guna mengangkat kebiasaan yang sudah lama ditinggalkan semenjak ada pengeras suara di masjid-masjid kampung, yakni takbir keliling. Kendati di Jakarta sana sedang terjadi polemik soal larangan takbir keliling, di Desa Gemaharjo, Karang Taruna dan orang-orang desa merasa gembira dengan adanya lomba takbir keliling ini. Menurut saya, ini adalah manifestasi akan kerinduan nabuh kentongan dan mlaku bareng serta melantunkan takbir secara bersama-sama.
Semenjak saya lahir di Desa Gemaharjo, saya mencatat takbir keliling terjadi 2 kali. Suatu ketika desa dipimpin oleh kepala desa, Roni, dan yang kedua pada masa pemerintahan kepala desa saat ini. Untuk takbir keliling yang pertama saya tidak terlalu banyak mengingatnya, karena saya masih benar-benar ingusan.
Digawangi oleh Karang Taruna Desa Gemaharjo, takbir keliling ini dikemas dalam even lomba antar RT (Rukun Tetangga), meskipun sebenarnya lebih menonjolkan sisi kompetisi. Namun sejatinya berniat untuk menunjukkan sisi kolaborasi antarwarga. Bedanya kompetisi takbir keliling dan kompetisi sepak bola terletak pada hegemoni suporter. Jika suporter sepak bola seringkali memunculkan sorak-sorak permusuhan (dan kerap menjadi pertikaian), namun untuk suporter lomba takbir keliling, para suporter larut dalam kegembiraan lebaran. Percayalah, suara takbir yang dikumandangkan oleh para peserta lomba takbir keliling tingkat RT mampu meluluh-lantakkan atmosfir kompetisi antarsuporter.
Yu Paitun adalah warga RT 16, sedangkan Yu Painah adalah warga RT 21, kendati keduanya merupakan suporter yang berkompetisi, namun di malam hari itu mereka mengharu biru dalam khusyuknya memandang ratusan peserta yang masing-masing membawa oncor, kerlap-kerlip oncor yang terlihat saat peserta lomba takbir keliling melewati jalan di tengah semak-semak, ikut menambah syahdu suasana malam itu. Yu Paitun dan Yu Painah saling bertatap mata dan berucap, “Apik yo lek, jan rame.” Kearifan lokal memang lebih banyak memiliki unsur kedamaian bagi masyarakatnya, untuk itulah kenapa saya sangat bersemangat untuk menulisnya.
Andre Moller dalam bukunya “Ramadhan di Jawa” menyebutkan bahwa di Jawa, takbiran diperdengarkan selama kurang-lebih 13 jam. Dan ini memang benar adanya. Suka cita akan hari kemenangan ini bagi orang-orang desa merupakan kemenangan yang sebenarnya, menang karena telah sukses berpuasa selama 30 hari. Dan apa yang dilakukan oleh Karang Taruna Desa Gemaharjo layak untuk diacungi dua jempol, meskipun para pemudanya konon sudah tersentuh modernisasi. Namun untuk lomba takbir keliling, diputuskan tidak diperkenankan untuk membawa peralatan modern semacam sound system dan dilarang pula membawa motor roda dua maupun empat. Jadi, peserta berjalan kurang lebih 15 kilometer. Tentu kegaduhan malam itu hanya disebabkan oleh suara tontongan yang tebuat dari pring (bambu). Atau gaduh oleh suara gamelan serta seruan takbir yang diperdengarkan oleh seluruh peserta lomba. Memang kondisinya jauh dari takbir keliling yang tampak di kota-kota besar, yang lebih menekankan keramaian dan kegaduhan daripada kekhidmatan.
Tercatat dari total 29 Rukun Tetangga, hanya 3 RT saja yang tidak mengikuti lomba ini. Saya tidak tahu pasti alasan kenapa ke-tiga-nya tidak mengikuti lomba ini, yang pasti konsekuensi tetap diberikan oleh panitia bekerjasama dengan perangkat desa. Mereka mewajibkkan bagi RT yang tidak mengikuti lomba takbir keliling untuk melakukan kerja bakti bagi Desa Gemaharjo. Salah satu panitia mengatakan, hukumannya adalah membersihkan parit mulai dari titik ini sampai titik itu.
Saya masih beranggapan bahwa, kemajuan sebuah desa tidak ditentukan oleh seberapa banyak sumber daya alam yang ada di desa tersebut, tetapi kemajuan bisa dicapai asalkan sumber daya manusianya bersatu dalam memajukan desanya. Salah satu contoh adalah keaktifan karang taruna atau organisasi kepemudaan. Jika mereka mau bergotong royong tentu kemajuan mudah diraih. Yah, itu menurut saya.