Jalur perbukitan di selatan Trenggalek kanan kirinya ditumbuhi varietas pohon yang mampu menyamarkan polusi kendaraan. Di sana tergelar lanskap pegunungan dan perbukitan, hamparan sawah yang menguning serta kerumunan rumah warga dan tatanan perahu kecil-kecil yang terparkir di dermaga Pelabuhan Prigi.
Saat saya berada di atas sebuah jalur alternatif, dari arah utara, sedikit mengalihkan sejenak pandangan curamnya jalanan yang saya lalui.
Kabupaten Trenggalek yang akan memiliki slogan Southern Paradise memang seolah tersembunyi di balik kontur jalan yang cukup menantang. Kita tak usah menutup mata, keindahan kabupaten ini terhalang oleh medan dan kontur jalan. Kontur jalan, baik jalan poros (jalur utama) maupun jalur alternatif yang menghubungkan desa satu ke desa lain maupun antarkecamatan, sebagian besar membelah bukit dengan ukuran jalan yang tak terlalu lebar.
Jalur ke Prigi arah timur adalah jalur alternatif yang memiliki tingkat kemiringan cukup lumayan; yang menghubungkan dua desa langsung di Kecamatan Watulimo. Di Kecamatan Munjungan juga memiliki jalur dengan kemiringan dan kecuraman yang lumayan bikin napas berhenti sejenak.
Kabupaten Trenggalek sebagian besar terdiri dari pegunungan dengan luas meliputi 2/3 bagian luas wilayah. Sedang sisa-nya, 1/3 bagian merupakan tanah dataran rendah. Ketinggian tanahnya di antara 0 hingga 690 meter di atas permukaan laut. Sekitar 4 kecamatan yang mayoritas desanya berada dataran, yaitu Kecamatan Trenggalek, Kecamatan Pogalan, Kecamatan Tugu dan Kecamatan Durenan. Sisanya berada di wilayah pegunungan.
Jalur alternatif atau jalan terabasan di sisi selatan Watulimo menghubungkan Desa Gemaharjo pertigaan Kantor Polisi menuju Desa Prigi dari arah utara yang tembus di pertigaan utara Kantor Kecamatan Watulimo, melewati Bukit Apak Broto atau membelakangi Bukit Kendil lewat Dusun Sumber.
Sebagai anak yang lahir dan dibesarkan di balik bukit sekaligus sebagai anak pesisir, jalur-jalur terjal nan meliuk telah jadi santapan tiap hari. Meski demikian, berkendara di jalur ekstrim nan curam sinambi nolah-noleh sekadar memuaskan hasrat atas alam di ujung sana, merupakan tindakan yang membahayakan bagi pengendara. Meski demikian, di antara kita sering abai akan segala kemungkinan yang terjadi saat berkendaraan dengan kontur jalan yang tidak rata dengan kemiringan yang curam.
Satu bulan yang lalu, saya habis atraksi di jalan terabasan ini, di mana saya terpelanting dari motor pada malam hari, sekitar pukul setengah sebelas. Kejadian itu disebabkan karena di sisi kiri aspal berlubang dan banyak pasir kecil-kecil di sekujur jalan. Dengan tenaga yang tersisa dan kondisi sedikit menahan perih atas luka yang ditimbulkan gesekan pasir, aspal, saya angkat motor itu sendiri. Di sisi lain, jalur ini telah banyak menelan korban, baik orang lokal maupun pengendara dari luar kota.
Jalur ini beberapa tahun terakhir baru diaspal dan beberapa meternya dirabat karena memiliki kemiringan 45 derajat atau lebih curam lagi. Kemiringannya yang curam dan prosesnya yang tidak di-gilis secara sempurna. Hanya dirabat dan dilelehi aspal di beberapa meter. Meski begitu, kemiringannya sangat memacu adrenalin.
Selain itu, jalur ini seolah menggeser ke-populer-an atas jalur antarprovinsi yang dipenuhi mitos atau cerita di sepanjang bulak-bulak. Namun bagi sebagian masyarakat lokal, jalur ini tak dilalui dalam kondisi tertentu, misalnya longsor di tahun 2016 kemarin. Pengendara tak bernyali, kendaraanya melebihi muatan, kondisi motor kurang fit.
Terlebih dari itu semua, perbandingan estimasi jarak dan waktu antara jalan antarprovinsi dan jalur alternatif ini jadi alasan lain. Secara matematis hokum kemiringan menyebutkan bahwa usaha yang diperlukan saat melewati medan miring adalah: gaya dan jarak. Bila jarak yang kita tempuh itu pendek, maka gaya yang kita butuhkan cukup besar. Sehingga motor yang kurang fit dan muatan yang berlebihan perlu memutuskan untuk lewat di jalur antarprovinsi—melalui Desa Prigi, Margomulyo, Sawahan, Slawe dan Gemaharjo—yang dari arah selatan jaraknya lebih jauh, tetapi mengerahkan sedikit gaya.
Baik dari arah selatan maupun utara, perbedaan waktu tempuh cukup mencolok antara jalur antarprovinsi maupun jalur alternatif. Bila jalur antarprovisi yang melewati Jurug Bang bisa ditempuh 25 menit, lewat jalur Desa Prigi lewat Apak Broto langsung tembus Desa Gemaharjo (atau sebaliknya) membutuhkan waktu kurang lebih 10 menit. Tetapi butuh motor yang fit dan nyali yang besar untuk menuruni Bukit Apak Broto ini.
Namun jalannya ini akan terus naik dan berkelok bila dari arah selatan dan turun sampai di perempatan ke Plapar atau di daerah Dusun Kocor, begitu pun dari arah sebaliknya, selepas pos polisi Gemaharjo naik lewat beberapa pemukinan warga dan baru turun selepas perempatan di sebelah warung dan memunggungi bukit di sebelah barat Gunung Geger Tengu.
Entah siapa yang pertama kali mencetuskan dan merencanakan bukit di barat Gunung Geger Tengu di Dusun Sumber jadi jalan alternatif. Saya masih ingat, kalau tidak salah sambil menggelar motor dengan sangat pelan karena memang motor tua. Misbahus Surur pernah berujar beberapa bulan lalu di portal ini dalam salah satu tulisannya Kisah-kisah yang Dianyam di Sepanjang Jalur Kampak-Munjungan.
Ia mengatakan bahwa karakter jalanan di pegunungan yang dibikin oleh penduduk setempat (pribumi), memang cenderung menerabas. Sementara karakter jalanan di pegunungan yang dibikin oleh kolonial Belanda strukturnya agak berbeda: dengan mengelok-ngelokkannya mengulari bukit.
Terlepas benar atau tidak anggapan bahwa orang-orang sekarang membuat jalanan lebih suka menerabas dengan kontruksi menanjak dengan kemiringan yang cukup curam, dan mampu melipat jarak dan waktu sepersekian menit, yang lebih penting adalah keselamatan pengguna jalan tersebut. Apalagi sebagaian besar wilayah Kabupaten Trenggalek berada di daratan tinggi atau tanah pegunungan.