Ini opini saya tentang branding Trenggalek, yang menurut sumber-sumber dekat saya, akan mengambil slogan SOUTHERN PARADISE. Kira-kira kalau bahasa Indonesianya, Surga di Selatan. Ehmmm…istimewa. Tapi apakah Southern paradise ini mempresentasikan Trenggalek secara keseluruhan? Berikut analisa saya sebagai seorang priyayi Jawa partikelir.
City branding menjadi keniscayaan bagi kota-kota dunia untuk meningkatkan pendapatan asli daerahnya. Baik peningkatan jumlah kunjungan wisata atau untuk tujuan investasi. Berani mengambil keputusan politik untuk melakukan city branding merupakan sebuah lompatan besar bagi sebuah kota kecil dengan tujuan meningkatkan PAD sekaligus mempromosikan sebuah kota menjadi lebih gampang.
Kita mulai dengan kenapa sebuah kota harus memiliki branding? Kota merupakan sebuah organisme hidup yang kompleks. Artinya, kota terus berkembang entah berkembang menuju kota layak atau menjadi kota yang malah memakan penduduknya. Apalagi hari ini persaingan global merupakan sebuah keniscayaan. Tinggal bagaimana sebuah kota bisa menyampaikan pesan untuk kota layak dikunjungi. Di zaman globalisasi, kota-kota bersaing untuk mendapatkan kunjungan wisatawan, investasi, pasar dan sebagainya. Trenggalek memiliki sebuah kekuatan yang biasa kita sebut dengan kekuatan kearifan lokal. Dan kearifan lokal Trenggalek berada di dua tempat yaitu gunung mewakili kelompok masyarakat agraris dan pesisir mewakili kelompok masyarakat maritim.
Bagaimana city branding? City branding bukan saja sebuah slogan atau logo yang digunakan untuk mempermudah promosi semata, tetapi city branding lebih dalam dari soal untuk promosi. City branding merupakan representasi dari kondisi sebuah kota. Banyak kota yang mengeluarkan dana milyaran untuk melakukan city branding, tetapi hasilnya juga belum sesuai dengan yang diharapkan. Bukan sebab kajiannya yang salah atau semboyan yang kurang menarik, tetapi juga disebabkan oleh kondisi kota yang belum siap menerima arus kedatangan, baik wisatawan atau kunjungan bisnis. Kenapa saya sebut kondisi kota karena pada proses ini bukan saja peran pemerintah, tetapi juga peran masyarakat dan stakeholder agar sebuah kota menjadi tuan rumah yang baik bagi pendatang.
Selain itu city branding juga harus memiliki keuntungan bagi masyarakat lokal maupun pendatang, tidak hanya menjadi tuan rumah yang baik tetapi juga harus memperlakukan mereka dengan baik dan menyediakan rumah yang nyaman bagi mereka, tiga hal tersebut merupakan apa yang Michael Potres (Hermawan Kertajaya, 2005: dalam Muchammad Nurif dkk, 2015) sebut sebagai 3 langkah strategis agar city branding berhasil. Bagaimana dengan peran stakeholder untuk branding kota? City branding adalah kerja sebuah organisasi besar artinya pemerintah, masyarakat, dunia usaha dan lain-lain, harus ikut untuk mewujudkan seperti apa yang disampaikan oleh Michael Potres.
Dalam globalisasi, arus informasi harus didapatkan dengan mudah. Semua urusan untuk wisata dan investasi harus dilakukan oleh satu badan untuk mempermudah calon customer mendapatkan informasi apa saja keuntungan bagi mereka jika datang ke sebuah kota. Bagaimana aksesnya dan masih banyak lagi yang akan ditanyakan. Stakeholder terkait juga harus menciptakan sebuah icon akan kota yang mudah dikenang. Icon tersebut tidak harus sebuah monumen layaknya “simpang lima gumul” di Kediri, tetapi juga bisa kisah-kisah heroik dari masyarakatnya seperti Blitar yang identik dengan presiden Sukarno. Selain kisah-kisah tersebut icon juga dapat dimunculkan dari even-even yang dilaksanakan secara regular dan berkelas dunia seperti Jember Fashion Carnival dan sebagainya.
Bagaimana dengan Trenggalek? Dahulu kita mengenal Trenggalek dengan sebutan “Trenggalek Berteman Hati”, setidaknya itu yang kita kenal hingga saat ini. Bagi saya, slogan berteman hati sangat mendalam filosofinya, dan ini yang seolah menjadi tautan antara para diaspora Trenggalek untuk pulang ke Trenggalek, sekadar untuk singgah beberapa hari saja. Adanya ikatan dengan hati dengan para penduduknya atau yang pernah tinggal membuat Trenggalek selalu membekas di hati.
Sekarang bagaimana dengan statemen pemerintah daerah yang ingin menggunakan Southern Paradise, ini analisa saya pribadi penggunaan slogan Southern Paradise tersebut identik dengan daerah pesisir. Padahal kota ini memiliki dua kultur yang unik, yang masing-masing mewakili kelompok masyarakat tertentu. Southern Paradise menurut saya kurang holistik dengan masyarakat Trenggalek, memang sebenarnya penggunaan Southern Paradise masih menjadi wacana, atau sudah masuk dalam pembahasan di RPJMD Trenggalek, saya tidak tahu, tetapi bagi saya penggunaan Trenggalek Berteman Hati lebih memiliki makna filosofi bagi masyarakat Trenggalek.
Jika berteman hati dianggap kurang keren karena kurang keminggris, caranya gampang ubah saja menjadi bahasa Inggris: Trenggalek Friends of Heart. Keren, to. Tapi ingat city branding juga jangan sampai membuat kita justru menjadi inlander modern seperti kasus Kopi Van Ndilem. City branding pada dasarnya harus membuat kita memiliki harga diri, kebanggaan atas kotanya. Trenggalek memiliki sejarah panjang dalam catatan sejarah Nusantara. Trenggalek pernah menjadi perlintasan penting bagi para tokoh penting sejarah nusantara, mulai Empu Sindok, Airlangga, Jenderal Soedirman, Supriyadi, Muso, Sukarno dan seterusnya.
Untuk itu, harapan saya sesuai dengan janji politik Bupati dan Wakil Bupati kita, untuk membuka akses informasi agar masyarakat Trenggalek tidak minder dengan masyarakat kota lain. Untuk itu, kesalahan branding Kopi Van Ndilem supaya tak lagi terjadi.