Agustus adalah bulan penuh kesibukan hampir di semua tempat, khususnya di Kadipaten Trenggalek. Bulan Agustus merupakan bulan perayaan. Perayaan dari dan untuk anak-anak usia taman kanak-kanak hingga untuk usia tua. Jika hari-hari biasa ruas jalanan di Trenggalek biasa diisi oleh para penguna mesin bermotor, pada bulan Agustus orang-orang turun ke jalan. Mereka menyaksikan aneka hiburan yang digelar oleh pemerintah kabupaten maupun kecamatan, memamerkan lenggak-lenggok para peraga kostum.
Jika ada yang ingin menyaksikan keramaian Trenggalek, datanglah pada saat Lebaran Ketupat dan bulan Agustus, karena dua momen inilah yang paling tepat untuk menyaksikan keramaian Trenggalek beserta berbagai macam hiburan. Mulai hiburan gerak jalan, etnic carnival, serta perlombaan lain yang sifatnya “menghibur”.
Bukan hanya dari golongan pelajar, masyarakat umum dan SKPD juga ikut berlomba. Mereka bersaing memamerkan peragakan custom palsu yang kabarnya memakan biaya mahal. Semuanya hanyut dan larut dalam hingar bingar karnaval yang sebenarnya dimulai dari surat edaran pemangku kebijakan kabupaten ini.
Meski banyak sekali pengorbanan untuk mensukseskan acara demi acara tersebut, namun itu tidak lagi “menjadi beban” setelah mengetahui bahwa masyarakat senang, masyarakat riang gembira dan masyarakat puas. Minimal bisa meningkatkan indeks harapan hidup dan indeks kebahagiaan masyarakat Trenggalek. Tapi apakah benar seperti itu?
Perihal pergelaran acara karnaval, pihak-pihak penyelenggar selalu membawa dalih yang kebangetan baiknya, misalnya: karnaval adalah ajang memperkenalkan potensi Trenggalek keluar daerah. Karnaval merupakan agenda untuk memutar uang dan ekonomi, karnaval menyuguhkan berbagai kreativitas putra daerah kendati SKPD tak mau ketinggalan, dan tidak ada yang menyatakan bahwa karnaval merupakan ajang pembebanan biaya tambahan orangtua kepada anak-anaknya yang sekolah, selain dari orangtua itu sendiri.
Seperti yang terjadi pada tahun-tahun sebelumnya, ketika perhelatan karnaval ini digelar, banyak orangtua yang mengeluhkan biaya yang biasa dikeluarkan untuk bisa menampilkan anak atau cucunya bisa nangkring manis di atas kuda atau mobil hias. Jika acara ini memang diniatkan untuk memutar uang supaya ada perkembangan ekonomi, saya rasa sangat tepat sekali.
Katakanlah para peserta ingin berpenampilan sesuai yang diinginkan, dengan memakai custom maskot tertentu. Ia harus memikirkan berbagai persiapan, mulai dari custom yang perlu ia kenakan, make up profesional yang harus ia bayar, kendaraan yang akan ia tumpangi, dan berbagai persiapan lainnya. Pasalnya, persiapan tersebut tidak banyak yang bisa dilakukan sendiri. Pada akhirnya mereka harus menyewa custom tertentu kepada jasa penyewaan. Menghubungi perias supaya bisa memberikan polesan cantik kepadanya, menyewa tukang hias mobil, dan membeli maskot yang akan ia gunakan. Jadi perputaran uang ini dimulai sejak dari siapa orang yang akan mengikuti karnaval, kepada orang yang menyediakan jasa-jasa tersebut.
Uang yang dikeluarkan mungkin sudah sebanding dengan hasil yang mereka terima, atau malah akan menuai kekecewaan ketika misalnya, tidak mampu menggondol juara 1, 2 atau 3. Meskipun ada juga yang rela mengikuti acara ini karena dalih partisipasi saja tanpa mengharapkan penghargaan apapun. Ketika para peserta ini sudah mulai memerankan penampilannya menyusuri jalan yang sudah ditentukan panitia, di situlah peran sebenarnya para peserta karnaval, yakni membuat senang para penoton yang bertebaran di pinggir-pinggir jalan dan trotoar. Tak peduli meski kaki-kaki para peraga ini lelah karena berjalan sekian kilometer dan keringat bercucur di seluruh tubuh.
Karnaval di Kabupaten Trenggalek tahun ini melibatkan berbagai unsur, mulai dari SKPD, lembaga pendidikan serta umum. Pun dengan penjurian, juri mencampur-adukkan nilai antara SKPD dengan lembaga pendidikan. Jika boleh berpendapat, apakah adil kira-kira mengadu nilai antara SKPD yang cenderung (berbiaya besar, meski kita tak tahu dari mana) diyakini sebagai lembaga pemasilitas masyarakat dengan nilai yang dikumpulkan oleh para pelajar (yang kabarnya sebagian biaya dari kantong orangtua). Ini akan menyakitkan jika SKPD terbukti memenangi perlombaan karnaval mengalahkan para pelajar yang ikut memeriahkan acara. Di mana letak pengayoman pemerintah jika nilai yang tak juga bisa meningkatkan kinerja SKPD itu pun mereka embat dari para pelajar. Harusnya mereka ikut saja, tidak perlu ambil bagian merebut nilai.
Orang tua yang sudah mengeluarkan fulus demi bisa mengikutsertakan putra-putrinya, selain ingin membahagiakan mereka (nota bene tak tahu dari mana uang didapat) juga menginginkan anaknya menjuarai sesuatu. Karena semenjak awal kita selalu yakin, pemenang lomba merupakan peserta terbaik. Jika ini disebut sebagai perputaran uang, lantas apa yang didapat para orang tua yang telah ikut mendanai acara ini? Juara kah? Kembalinya uang kah? Atau hal apa yang dianggap menguntungkan bagi para orang tua. Atau memang ini bukan bagian dari perhitungan untung dan rugi? Lantas apa?
Coba tanyakan kepada SKPD, dari mana asal uang yang telah mereka gunakan untuk mengikuti karnaval, dari APBD atau urunan pribadi? Kalau dari APBD itu sungguh tak berhati nurani karena APBD bukan untuk ajang kalah-kalahan. Dan semoga saja biaya karnaval ini didapatkan dari kantong-kantong pribadi mereka. Tapi meskipun begitu, mbok yao tidak usah terima kalau juri memberikan nilai kepada mereka. Ini masih tidak etis sekali loh.
Sudah bertahun-tahun lamanya acara semacam ini digelar di Trenggalek, sehingga sudah memberikan keyakinan bagi masyarakat sekitar bahwa setiap bulan Agustus selalu ada karnaval. Jangan kira acara ini disaksikan oleh para turis seperti halnya yang terjadi di Jogja atau di Banyuwangi. Para penonton yang menyaksikan di sini didominasi oleh masyarakat sekitar jalur, itu saja. Saya sendiri paling suka melihat gambar-gambar para peraga ethnic carnival nonggol di akun-akun instagram para fotografer Trenggalek, karena terkesan lebih baik dari kondisi sebenarnya.
Berdasarkan riset yang tidak matang, saya menyimpulkan, pihak-pihak yang paling dapat untung dari agenda besar ini adalah: 1). Jasa perias, 2). Jasa persewaan custom, 3) Jasa rias mobil, 4). Jasa persewaan kuda, 5). Pedagang keliling, 6). Penjual alat-alat make-up, 7). Jasa persewaan mobil. Ke-7 bagian ini saya asumsikan mendapatkan keuntungan paling ramai jika dibanding hari-hari biasa. Seperti pengakuan seorang pemilik salon rias dan sewa custom asal Trenggalek, ia mengatakan jika selain saat musim pengantin, bulan Agustus adalah bulan panen karena banyak pihak yang membutuhkan jasanya.
Lantas sebenarnya apa efek dari penyelenggaraan karnaval ini selain dari perputaran ekonomi? Bagi pendidikan apakah karnaval mampu mendobrak potensi sumber daya pelajar (jika semua yang disajikan hasil dari sewa)? Yang pasti, bagi para penonton, mereka senang sekali menyaksikan dedek-dedek gemes berkemben ala putri keraton atau ala wonder women yang sering manampilkan senyum saat kamera mengarah padanya, padahal sebenarnya ia lelah berjalan dan lelah mendengar beberapa keluhan orangtua lantaran karnaval itu ternyata biayanya selangit.