Kisah-kisah yang Dianyam di Sepanjang Jalur Kampak-Munjungan

Saya tidak tahu bagaimana orang dari luar Munjungan merasakan pertama menginjakkan kakinya di Munjungan. Setelah menelusuri jalanan naik-turun dan berkelok di pegunungan-perbukitan di sebelah utaranya: melalui Kecamatan Kampak. Bagi mereka yang biasa melewati jalanan naik-turun di pegunungan, mungkin menjadi hal biasa. Namun akan menjadi hal berbeda serta lain cerita, bagi yang tak pernah melewati jalan naik-turun di pegunungan. Lebih lagi, dengan tujuan Munjungan. Sebuah kecamatan di balik gunung, dengan jalanannya yang terkenal—meski sudah diperkeras dengan aspal, tapi tetap—terjal, curam, landai lagi terhitung sempit, dengan tingkat kemiringan yang bisa Anda coba sendiri.

Zaman dahulu, barangkali jalan Kampak-Munjungan adalah jalan setapak (semacam jalan kecil) yang dibuat oleh penduduk sekitar Kampak-Munjungan, untuk bisa saling terhubung satu sama lain. Jalan setapak ini lalu, di masa Bupati Soetran, diperlebar dengan cara pengeprasan bukit dan pemotongan batu-batu besar, dengan peralatan yang tak se-canggih kini. Pelebaran jalan tersebut melibatkan serangkaian kerja bakti-kerja bakti masif yang dilakukan oleh lapisan penduduk dari seluruh desa-desa terdekat. Kita tahu, di masa Bupati Soetran, masyarakat desa-desa di Trenggalek memang dikenal sangat akrab (dan rajin) bergotong-royong. Kerja-kerja komunal—sebagaimana yang saya baca dari berbagai buku yang ditulis di masa-masa ketika Soetran menjadi bupati—sering dilakukan, tidak hanya pada saat membuat jalan, tetapi kerap juga dilakukan di hampir semua lapangan, pada sektor-sektor kepentingan umum.

Perlu diketahui, bahwa karakter jalanan di pegunungan yang dibikin oleh penduduk setempat (pribumi), memang cenderung menerabas. Sementara karakter jalanan di pegunungan yang dibikin oleh, sejak kaum kolonial Belanda membuat jalan-jalan di Jawa—dengan mempekerjakan masyakat Indonesia—model dan strukturnya agak berbeda: dengan mengelok-ngelokkannya mengulari bukit. Penduduk pribumi cenderung membuat jalan, pada saat menaiki gunung-bukit dengan menerabasnya (secara vertikal), kendati tanjakan yang akan dibuat naik itu tingginya sungguh-sungguh naudzubilah. Sementara kaum kolonial, akan membuatnya berkelok-kelok secara horizontal, supaya tidak lagi nampak naik meninggi ke atas secara vertikal. Jadi, ketika jalanan menanjak tinggi, oleh bangsa kolonial, cenderung dibikin berkelok secara zig-zag atau berbentuk diagonal barangkali.

Dengan melintasi Kampak-Munjungan hampir tiap bulan, minggu, atau harinya, kita sama tahu, bahwa perlintasan dua kecamatan di pegunungan sebelah selatan Trenggalek ini, memang dibuat oleh penduduk setempat. Di sepanjang jalan Kampak-Munjungan yang naik-turun, berkelok-menikung-memutar tersebut, di bawah-bawahnya dipapaki jurang-jurang yang seolah menyiapkan kuburan hidup-mati bagi para pengendara-pelintas yang tak mau berhati-hati. Dan, apalagi yang bertindak sembrono, ngawur dan ugal-ugalan  di jalan-jalan pegunungan yang berbahaya ini. Kalau hanya cerita terperosok dan kepeleset sepertinya sudah menjadi menu sehari-hari para pelintas jalanan ini.

Sudah banyak berbagai peristiwa yang tercatat dalam ingatan masyarakat setempat, khususnya penduduk Munjungan, ihwal kecelakaan yang memakan korban tidak sedikit, terjadi di masa lalu: mulai dari kecelakaan mobil, truk hingga sepeda motor, mewarnai tahun-tahun suram di sepanjang jalanan Kampak-Munjungan. Dari peristiwa-peristiwa kecelakaan dan kondisi jalanan yang tak stabil lagi tak pernah awet diaspal tersebut, jalur pegunungan curam-nanjak; landai-naik di sepanjang jalur Kampak-Munjungan ini jadi sering dilingkupi mitos dan cerita-cerita muram, sebagai semacam perlintasan maut, yang terpelihara dan tak kunjung hilang riwayatnya. Membuat orang-orang dari luar Trenggalek maupun dari Trenggalek sendiri—dan apalagi yang kebetulan jeri melintasi jalan-jalan pegunungan—tak hendak mencoba-coba pergi ke Munjungan tanpa dibekali keberanian atau kenekatan tertentu. Dan kondisi serta situasi semacam itu pula, salah satu faktor, yang membuat Munjungan tampak seperti ter-anaktirikan dari pusat kabupaten.

***

Jika kita berangkat ke Munjungan dari arah utara, jalan naik pertama yang akan kita lewati adalah sesudah kita melalui jembatan di sisi utara Gunung Manik Oro. Sehabis melewati jembatan tersebut, jalanan akan mengarah ke kanan dan nanjak, sambil memutar ke kiri masih dalam kondisi naik, lalu melintas tepat di muka Gunung Manik Oro, yang pinggir-pinggirnya dicegat  jurang: dipapaki sungai dengan batu-batu hitam cadasnya di bawah sana. Sungai ini berada pada lembah yang memisahkan Gunung Manik Oro dengan bukit di sebelah barat, yang diulari jalan di lereng sisi timur mengarah ke Munjungan yang kita lewati tersebut.

Dari sebuah foto kuno yang dikoleksi oleh sebuah komunitas pecinta sejarah Trenggalek, terlihat pembuatan jalan di masa lalu itu terawetkan dalam bidikan kamera. Bahwa di depan Manik Oro misalnya—sebagaimana yang tampak dari foto lawas itu—masyarakat Trenggalek di zaman Soetran tengah bergotong-royong melebarkan jalan: mengepras bukit, membelah dan memindahkan batu-batu sebesar rumah, menata batu-batu kecil, dengan berbagai peralatan: cangkul, linggis, sekop, godam, palu, gergaji, cikrak, dan barangkali tali-temali seperlunya dan sebagainya. Pada foto hitam putih tersebut, terlihat penduduk membusungkan badan dan punggung yang tanpa baju, sembari mengenakan caping (capil), tengah bekerja. Ada banyak orang, saling bahu-membahu. Berdiri-duduk, bergerak, mengangkut, meletakkan, bekerja-sama melebarkan jalanan menembus Kampak-Munjungan. Yang di masa kini, ikhtiar masyarakat dan bupatinya tersebut, masih bisa dinikmati dan rasakan hasilnya (khususnya oleh masyarakat Kampak-Munjungan).

jalan-leter-s-munjungan

Sehabis melintasi Manik oro di daerah Kampak, jalanan masih akan terus naik dan berkelok menghindari batu-batu sebesar mobil maupun rumah, masih akan naik menerjang bukit dan gunung hingga sampai di puncak perbatasan Kampak-Munjungan. Di sepanjang jalan ini, kita akan melintasi jalan naik dan letter S satu kali: kelak ketika kita telah sampai pada sebuah jembatan di daerah yang bernama Ngemplak, masih terhitung wilayah Kecamatan Kampak. Sebelum memasuki Jedeg, daerah terakhir batas wilayah Kampak sebelum masuk Desa Besuki, Munjungan. Ini adalah jalan naik paling panjang untuk wilayah Kampak pada jalur menuju Munjungan. Ada sedikit kelokan naik, dan berada di lembah di antara dua bukit agak berhimpitan, dirimbuni cukup banyak vegetasi sehingga jurang di samping-sampingnya tak cukup terlihat.

Tapi di pinggir-pinggir jalan di sepanjang jalan Kampak-Munjungan ini, yang sekiranya berbahaya misalnya pada jalan-jalan naik berkelok yang menyerupai huruf S, atau di jalan-jalan yang nyata-nyata miring (landai) atau naik dan di bawahnya jurang menganga, pada pinggir-pinggirnya sudah banyak dibangun Tembok Penahan Jalan, baik dari bahan yang diperkeras dengan semen maupun benda-benda dari jenis logam ringan. Sebagaimana jalan di Kecamatan Bendungan dan juga Pule, jalan perlintasan Kampak-Munjungan ini bisa dibilang sempit bila dibanding jalan Trenggalek menuju Panggul. Jalan di Kampak-Munjungan sepertinya memang sulit untuk dibikin agak lebar karena kondisi topografi tanah dan wilayah: pegunungan-perbukitannya terbilang rapat. Cara melebarkannya dengan mengepras bukit-bukit, yang kerap mengundang longsor.

Jalan melandai lebih parah lagi adalah saat kita sampai pada perbatasan Kampak dan memasuki wilayah Munjungan yang kalau dari arah utara akan menurun terus hingga sampai dataran di kota Kecamatan Munjungan sana. Tepatnya setelah melewati Sekolah Dasar di Desa Besuki (Desa paling utara kecamatan Munjungan), jalan selebihnya akan terus turun, dan yang paling membahayakan di situ terdapat kira-kira dua jalan berkelok membentuk huruf S (letter S), bagi para pelintas mesti cukup ekstra hati-hati saat melewatinya. Selain itu, masih terdapat lagi jalan menurun (kalau dari arah utara) cukup fenomenal, dinamai Rengkek-rengkek: sebuah jalan naik kalau dari arah selatan, begitu cukup panjang dan agak menyerong. Dalam titik tertentu, derajat ”nanjak-landai”-nya kurang-lebih setara dengan jalan baru yang kini bisa kita lalui, berada pada tembusan Pos Polisi Gemaharjo-Prigi melalui Sumber, di Kecamatan Watulimo.

Rengkek-rengkek tepat berada di antara dua jalan berkelok membentuk huruf S: letter S itu satu terletak di atasnya; satunya lagi tepat berada di bawah jalur Rengkek-rengkek. Kecelakan yang pernah terjadi, seingat saya, misalnya, pada sekitar antara tahun 1990-1991, yang menewaskan hampir se-mobil penumpangnya, terjadi di bawah Rengkek-rengkek ini. Tepatnya, ketika jalan mengarah ke kiri sementara di mukanya jurang menganga dipapak sungai. Di situlah mobil yang mestinya berbelok ke kiri malah terjun ke bawah dengan terlebih dahulu menembus Tembok Penahan Jalan. Entah karena rem kendali mobil blong atau memang karena pengemudi tidak cukup hati-hati, saat meluncur dari turunan panjang di lintasan Rengkek-rengkek. Saya tak pernah mendapat cerita detail soal peristiwa kecelakaan maut tersebut. Saya cuma mendengar bahwa seluruh penumpangnya, yang berjumlah puluhan itu tewas di bawah jurang sana. Setelah peristiwa maut cukup besar tersebut, sepertinya belum pernah ada lagi peristiwa serupa dan sebesar peristiwa 1990-1991. Dan, semoga memang tidak akan pernah terjadi lagi.

Jalan panjang bernama ”Rengkek-rengkek” terletak di sebuah bukit, tepatnya di punggung bukit yang kanan-kirinya dipapaki sungai. Dua sungai ini kemudian bertemu di dekat jembatan di bawah sana. Sungai di bawah jembatan ini dikenal masyarakat sekitar sebagai Kali Peteng. Zaman dahulu, sungai ini menjadi salah satu saksi bisu pembunuhan orang-orang yang diduga sebagai anggota atau simpatan partai komunis, pasca peristiwa 1965. Sungai ini di arah selatannya cukup lebar. Barangkali berasal dari mata air pegunungan-pegunungan dari sebelah timur: kemungkinan dari arah Gunung Kambengan dan sekitarnya. Sementara sungai sebelahnya, saya tidak tahu kira-kira mengalirkan sumber air dari bukit-bukit mana saja. Tapi sungai-sungai di Munjungan, jamak mengalir dari utara ke selatan juga dari timur ke barat sebelum kemudian berbelok ke selatan: semua mengarah ke bibir pantai di Teluk Sumbreng. Tak ada sungai-sungai di Munjungan yang mengalir ke utara, sebagaimana banyak diduga orang, terutama oleh orang-orang Trenggalek di utara sana, yang jarang berani ke Munjungan.

Artikel Baru

Artikel Terkait